TIAP
kali bertemu Anton, Intan selalu melakukan dua hal ini: mengelus pipi Anton dan
memijati pundaknya. Intan melakukan kedua hal itu dengan rela, untuk
menunjukkan rasa sayangnya. Anton bercerita bahwa dia sering kelelahan. Selain
sibuk kuliah dan menulis, Anton juga memberi kursus gitar secara privat kepada
beberapa anak SD dan SMP. Anton mendapatkan murid-murid itu dari ibunya yang
suatu ketika bercerita kepadanya bahwa ada seorang muridnya yang ingin sekali
bisa main gitar tapi tidak tahu harus belajar di mana. Ibunya menawarkan Anton
untuk menjadi gurunya. Anak itu senang sekali diajari Anton. Lalu, dari mulut
ke mulut tersiarlah kecakapan Anton dalam mengajar gitar.
Intan begitu bahagia karena Anton
memperkenalkannya kepada orang tuanya. Ibu Anton menyebut Intan sebagai
"anak manis yang gembira". Ayah Anton tak banyak mengajak Intan
bicara. Intan juga senang karena dia mulai dilibatkan dalam hal-hal kecil yang
ada di dalam keluarga Anton. Pernah, suatu kali dia membantu ibu Anton memasak
untuk acara arisan di rumahnya.
"Kamu datang pada saat yang
tepat, Tan," kata Anton pada suatu sore setelah dia pulang mengajar.
"Saat yang tepat gimana,
Mas?" kata Intan. Dia tengah membaringkan dirinya di pangkuan Anton.
Mereka berdua sedang berada di teras rumah Anton, di atas sofa panjang. Sore
itu hanya mereka berdua yang ada di rumah Anton. Orangtua Anton tengah pergi ke
sebuah acara pernikahan.
Anton menyentuhkan jari-jarinya
dengan lembut ke dahi Intan, lalu ke pipinya. "Maksudnya, kamu datang saat
aku memang perlu banyak dukungan. Kuliah, ngelesi, kadang nulis...." Anton
juga menceritakan bahwa skripsi yang ditulisnya sudah sampai bab ke-3.
Gara-gara penulisan skripsi, penulisan novelnya untuk sementara dihentikan.
"Mas," kata Intan dengan
lembut, tangannya meraih tangan Anton. "Jangan diforsir. Terutama nulis
novelnya, nanti kan bisa disambung lagi kalau udah lebih longgar. Nanti Mas
capek sendiri."
"Iya, Tan."
Anton
mulai menurunkan belaian tangannya -- dari pipi mulai ke leher Intan. Intan
mulai waspada, ia khawatir tangan itu akan bergerak menurun. Hari mulai beranjak
gelap, cahaya matahari makin redup. Cuaca juga agak mendung.
"Mas,"
kata Intan sambil bangkit dari pangkuan Anton. "Udah waktunya lampu-lampu
dinyalakan. Gelap nih."
Anton
terperangah melihat gerakan Intan yang tiba-tiba. "Iya ya. Yuk ke dalam,
kita nyalain lampu."
Intan
mengemaskan beberapa gelas yang ada di ruang tamu. Setengah jam lalu ada tamu
di rumah Anton. Tamu itu menyusul orangtua Anton, lalu mereka pergi ke undangan
pernikahan bersama-sama. Intan membawa gelas-gelas itu ke dapur, menyucinya. Saat
Intan menyuci, Anton melingkarkan kedua tangannya di pinggang Intan, memeluknya
dari belakang. Tindakan ini membuat tangan Intan yang tengah menyabuni sebuah
gelas terhenti beberapa saat. Dia memekik kecil dengan manja.
"Tan,"
bisik Anton dengan lembut. "Kamu kelihatannya cocok jadi ibu yang
baik."
Intan
memejamkan matanya. Dia tak menyangka Anton akan menyatakan hal itu.
"Kamu
rajin, lemah lembut, manis... gembira...," kata Anton sambil mengecup
rambutnya.
"Mas,"
kata Intan. Dia bingung harus melakukan apa. Dia senang dengan pelukan itu,
tapi kata-kata Anton yang baru saja didengarnya membuat angan-angannya mengembara
ke mana-mana. Dia ingin melepaskan pelukan itu, namun Anton tampaknya sedang
ingin mengajak Intan bermesraan. Intan membalikkan badannya setelah dia selesai
mencuci gelas-gelas itu.
"Tan,
ke kamar yuk," kata Anton.
Jantung
Intan segera berdegup kencang. Ia tak kuasa menolak tangan Anton yang
menggenggam tangannya. "Mas, mau ngapain di kamar?" tanya Intan
dengan nada panik.
"Aku
agak capek. Kalau kamu mau, aku ingin dipijati, kayak biasanya," kata
Anton.
Pintu
kamar dibuka. Intan terkesima dengan buku-buku yang berserakan di mana-mana. Di
situ juga ada gitar akustik dan gitar elektrik. Ada poster John Petrucci,
gitaris Dream Theater yang tersohor itu.
Tak
seperti biasanya, Anton membuka bajunya. "Tan, kalau mau, tolong aku
dikerik. Aku kelihatannya masuk angin," katanya sambil menunjukkan balsam di
meja kamar. Ia juga menyerahkan sebuah uang receh kepada Intan.
Intan
mendengus pelan mendengar pemintaan itu. Ia cemberut memandangi punggung pria
yang disayanginya itu. Untuk beberapa saat dia merasa tenang karena Anton tidak
memintanya untuk membuka baju juga. "Makanya, Mas. Jangan
capek-capek," katanya sambil mengambil balsam yang ada di atas meja Anton.
Intan
mulai mengoleskan balsam itu ke punggung Anton di bagian atas, dekat leher. Ia
mengambil uang receh yang tadi diberikan Anton, mulai menggerakkannya pada
bagian yang tadi diolesi balsam.
"Tan,
hangat...," kata Anton.
"Gimana,
Mas, agak enakan kan sekarang?"
"Kalau
yang ngerikin kamu beda, Tan. Hangat dan bikin gembira. Hangatnya sampai di
relung hati."
"Ah,
Mas ini!" kata Intan sambil menepuk pundak Anton.
"Aduh!"
goda Anton.
Intan
tak menyangka, Anton membalikkan badannya, memandang wajahnya.
"Kenapa,
Mas? Sakit ya tadi kupukul?" tanya Intan.
Anton
mendekatkan wajahnya ke wajah Intan. Dag dig dug, jantung Intan berdebar
kencang. Ia merasakan harus menjauhi Anton saat ini, namun dia tak kuasa
beranjak sedikit pun. Apa yang dia rasakan bersama Anton berbeda jauh dengan
apa yang dirasakannya bersama Hendra. Bersama Anton, walaupun jantungnya
berdebar-debar, dia masih bisa merasakan cinta. "Ada kehangatan yang lebih
hangat dari balsam ini, Tan," bisik Anton.
"Mas...."
Anton
mulai menciumi bibir Intan. Intan menyambut ciuman itu dengan rela. Dan, Intan
begitu terkejut ketika ada sentuhan di dadanya. Dan sentuhan itu berubah jadi
remasan yang lembut. Intan hendak menepis tangan Anton yang nakal itu, namun dia
memilih pasrah. Bagaimana pun juga, dia mencintai Anton.
Anton
merebahkan Intan di kasurnya. Tangannya bergerak ke arah lain, ke perut Intan. Anton
menemukan ujung baju Intan. Intan hendak menjerit ketika Anton mulai menarik baju
Intan, hendak melepasnya. Intan hanya memejamkan matanya -- bimbang dan serba
salah. Apakah ia telah menjadi wanita murahan? Tapi, dia sudah pasrah. Paling
tidak, Anton tadi sudah menyatakan bahwa dia "ibu yang baik".
Terserah Anton mau berbuat apa, asal dia menjadi milik Anton selamanya. Namun, dia
tetap mengharapkan keajaiban agar Anton menghentikan semua cumbuannya ini.
Pagar
rumah Anton bergeser, suaranya cukup keras. Anton segera bangkit dari tempat
tidurnya. "Bapak ibuku datang, Tan," katanya dengan gegabah.
Intan
pun merapikan rambutnya dengan sisir yang ada di kamar itu. Ia juga merapikan
bajunya yang belum sempat terlepas dari tubuhnya. "Aku keluar dulu, Mas. Aku
ke dapur," kata Intan.
"Oke,
segera! Kamu pura-pura cuci piring, Tan!"
Anton
mengenakan bajunya lagi. Ia segera menyalakan televisi, menonton sinetron yang
tengah diputar oleh sebuah stasiun televisi.
"Lho,
Ma, kok pulangnya cepat. Katanya tadi mau mampir ke mal?"
"Enggak
jadi, Ton. Pak Sugeng dan Bu Sugeng langsung pulang. Pak Sugeng perutnya
tiba-tiba mules habis kondangan tadi," kata Ibu Anton.
"Oh
gitu."
"Intan
mana, Ton?" tanya bapak Anton.
"Di
belakang, Pa. Masih nyuci gelas."
Ibu
Anton berjalan ke dapur. "Anak manisku yang gembira, tante ada oleh-oleh
nih buat kamu," katanya dengan setengah berteriak.
"Halo,
Tante," kata Intan dengan senyum lebar. "Apa itu, Tante?"
Ibu
Anton menunjukkan suvenir yang dibawanya dari pernikahan itu. Suvenir itu
adalah sepasang cangkir cantik dan mungil yang bertuliskan nama kedua mempelai
yang melangsungkan pernikahan. Ada juga hiasan bergambar hati di situ. Kedua
cangkir itu terbuat dari keramik yang halus, berwarna merah hati.
"Bagus
banget ya," kata Intan sambil menimang-nimang cangkir itu.
"Iya,
ini untuk kamu kok, Nak," kata ibu Anton sambil menyerahkan suvenir itu
kepada Intan. "Tadi ibu dikasih dua biji. Jadi, ini kamu bawa aja."
"Wah,
makasih, Tante," kata Intan. Saat itu debar jantungnya mereda. Betapa dia
bersyukur, kejadian di kamar tadi tidak ketahuan. Ia begitu takut kalau
orangtua Anton mendapatinya lagi bercumbu di kamar. Saat Intan pura-pura
mencuci gelas di dapur tadi, dia sempat menitikkan air mata. Dia merasa dirinya
begitu murahan, mau saja dicumbui Anton. Intan mendengar pembicaraan Anton dan
ibunya soal acara ke mal itu. Kalau mereka memang jadi ke mal, entah apa
jadinya.
ANTON
mengajak Intan makan malam di sebuah warung lesehan. Anton tidak banyak bicara,
Intan juga merasa canggung hendak mengatakan apa.
"Mas," kata Intan sambil
menunggu pesanan makanan datang. "Bolehkah aku meminta satu hal?"
Anton mengusap wajahnya dengan kedua
tangannya. "Aku sudah tahu, Tan, apa yang kamu minta," katanya.
Intan menyipitkan matanya. "Apa
coba, Mas?"
Anton menekukkan jari-jari tangannya
hingga terdengar beberapa suara gemeletuk. "Ya... kurasa soal tadi. Soal
buka-bukaan tadi," katanya.
"Terus, permintaanku?"
"Kurasa... kamu minta agar aku
enggak gitu lagi. Ya kan?"
Intan menggenggam jari-jemari Anton.
"Mas, aku cinta sama Mas. Enggak usah ditanya seberapa besar cintaku ini.
Tapi, mungkin aku orang kuno, Mas. Aku pengen... yang begituan itu kalo kita
udah resmi nikah," kata Intan sambil meremas beberapa jari Anton.
Anton membalas remasan itu. Ia
mengangguk pelan.
Intan melepaskan genggaman Anton,
mengambil suvenir yang tadi diberikan oleh ibu Anton. "Kalau Mas memang
mencintai aku, suatu saat kita akan mengganti kedua nama yang ada di cangkir
mungil ini dengan nama kita, Mas," kata Intan.
Anton mendesahkan napas panjang.
"Aku," kata Anton sambil menggaruk-garuk kepalanya, "enggak bisa
janji, Tan, untuk hal itu."
Intan memajukan bibir bawahnya.
Matanya menerawang ke arah yang tidak jelas.
"Tan, bukan aku enggak mau
berkomitmen. Aku perlu waktu, Tan. Maafin soal tadi ya? Aku
benar-benar...," suara Anton terdengar makin kecil. "Aku benar-benar
lagi nafsu banget tadi."
Intan hendak menyatakan dengan
berteriak kalau semua lelaki memang pembohong dan pendusta, maunya cuma
melampiaskan nafsu saja. Namun, sekuat tenaga ia menahan emosinya. Ia ingin
menjaga hubungan ini sampai akhir. "Jadi, Mas akan mencintaiku sampai
kapan?" tanya Intan.
"Tan, sejujurnya...," kata
Anton sambil memalingkan wajahnya, "aku enggak tahu."
Intan ingin sekali menangis pada saat
itu. Mengapa Anton harus menyatakan bahwa dia seorang calon ibu yang baik
segala? Pesanan makanan datang, sekuat tenaga Intan menyembunyikan dukanya.
Sebentuk kepastian, hanya itu yang dia inginkan. Saat mengunyah makanannya,
Intan menyadari suatu kenyataan bahwa di dunia ini tidak ada yang pasti.
Dia
tidak pasti lulus kuliah.
Ibunya
tidak pasti datang kembali.
Anton
tidak pasti setia kepadanya.
Saat
merenungkan berbagai ketidakpastian itu, tiba-tiba Intan teringat Vina yang
baru saja dikecewakan. Vina, wanita yang serba tidak pasti hidupnya. Ingatan
tentang Vina membuat Intan memandangi wajah Anton lagi. Pandangannya kali ini
membuat Anton tergelak, memundurkan kepalanya.
"Ada
apa, Tan?" tanya Anton dengan cepat.
Intan
diam beberapa saat, memutar-mutarkan sendok yang dipegangnya. "Aku...
teringat seseorang, Mas."
"Siapa?"
tanya Anton sambil meletakkan sendoknya, lalu mengambil gelas yang berisi air
putih di sampingnya. Ia meminum air itu beberapa teguk.
"Dia...
seseorang yang selalu hidup dalam ketidakpastian. Dia baru saja kehilangan apa
yang paling dia harapkan," kata Intan dengan mata yang tidak melihat ke
wajah Anton.
"Tan,
siapa sih? Kok omonganmu jadi ngelantur gini?" kata Anton. Ia minum air
putihnya lagi beberapa teguk.
Intan
menatap wajah Anton. "Vina, Mas. Teman kosku. Masih ingat?"
Anton
tampak kaget begitu nama itu disebut. Ia hampir memuncratkan air yang masih ada
di mulutnya. Intan pun tak kalah terkejut melihat ekspresi itu.
Anton
berdeham beberapa kali sambil mengangguk-angguk dan mengatur napasnya,
"Ya, ya... aku ingat dia. Aku ingat," katanya.
Intan
menundukkan kepalanya. Apa yang baru saja dilihatnya menerbitkan kecurigaan. Ia
pun langsung teringat pada kejadian ketika Anton pertama kali bertemu Vina.
Hatinya pun segera diliputi rasa curiga. Dan, rasa cemburu.