Selasa, 30 Mei 2017

Bab 11: Di Rumah Anton

TIAP kali bertemu Anton, Intan selalu melakukan dua hal ini: mengelus pipi Anton dan memijati pundaknya. Intan melakukan kedua hal itu dengan rela, untuk menunjukkan rasa sayangnya. Anton bercerita bahwa dia sering kelelahan. Selain sibuk kuliah dan menulis, Anton juga memberi kursus gitar secara privat kepada beberapa anak SD dan SMP. Anton mendapatkan murid-murid itu dari ibunya yang suatu ketika bercerita kepadanya bahwa ada seorang muridnya yang ingin sekali bisa main gitar tapi tidak tahu harus belajar di mana. Ibunya menawarkan Anton untuk menjadi gurunya. Anak itu senang sekali diajari Anton. Lalu, dari mulut ke mulut tersiarlah kecakapan Anton dalam mengajar gitar.
            Intan begitu bahagia karena Anton memperkenalkannya kepada orang tuanya. Ibu Anton menyebut Intan sebagai "anak manis yang gembira". Ayah Anton tak banyak mengajak Intan bicara. Intan juga senang karena dia mulai dilibatkan dalam hal-hal kecil yang ada di dalam keluarga Anton. Pernah, suatu kali dia membantu ibu Anton memasak untuk acara arisan di rumahnya.
            "Kamu datang pada saat yang tepat, Tan," kata Anton pada suatu sore setelah dia pulang mengajar.
            "Saat yang tepat gimana, Mas?" kata Intan. Dia tengah membaringkan dirinya di pangkuan Anton. Mereka berdua sedang berada di teras rumah Anton, di atas sofa panjang. Sore itu hanya mereka berdua yang ada di rumah Anton. Orangtua Anton tengah pergi ke sebuah acara pernikahan.
            Anton menyentuhkan jari-jarinya dengan lembut ke dahi Intan, lalu ke pipinya. "Maksudnya, kamu datang saat aku memang perlu banyak dukungan. Kuliah, ngelesi, kadang nulis...." Anton juga menceritakan bahwa skripsi yang ditulisnya sudah sampai bab ke-3. Gara-gara penulisan skripsi, penulisan novelnya untuk sementara dihentikan.
            "Mas," kata Intan dengan lembut, tangannya meraih tangan Anton. "Jangan diforsir. Terutama nulis novelnya, nanti kan bisa disambung lagi kalau udah lebih longgar. Nanti Mas capek sendiri."
            "Iya, Tan."
Anton mulai menurunkan belaian tangannya -- dari pipi mulai ke leher Intan. Intan mulai waspada, ia khawatir tangan itu akan bergerak menurun. Hari mulai beranjak gelap, cahaya matahari makin redup. Cuaca juga agak mendung.
"Mas," kata Intan sambil bangkit dari pangkuan Anton. "Udah waktunya lampu-lampu dinyalakan. Gelap nih."
Anton terperangah melihat gerakan Intan yang tiba-tiba. "Iya ya. Yuk ke dalam, kita nyalain lampu."
Intan mengemaskan beberapa gelas yang ada di ruang tamu. Setengah jam lalu ada tamu di rumah Anton. Tamu itu menyusul orangtua Anton, lalu mereka pergi ke undangan pernikahan bersama-sama. Intan membawa gelas-gelas itu ke dapur, menyucinya. Saat Intan menyuci, Anton melingkarkan kedua tangannya di pinggang Intan, memeluknya dari belakang. Tindakan ini membuat tangan Intan yang tengah menyabuni sebuah gelas terhenti beberapa saat. Dia memekik kecil dengan manja.
"Tan," bisik Anton dengan lembut. "Kamu kelihatannya cocok jadi ibu yang baik."
Intan memejamkan matanya. Dia tak menyangka Anton akan menyatakan hal itu.
"Kamu rajin, lemah lembut, manis... gembira...," kata Anton sambil mengecup rambutnya.
"Mas," kata Intan. Dia bingung harus melakukan apa. Dia senang dengan pelukan itu, tapi kata-kata Anton yang baru saja didengarnya membuat angan-angannya mengembara ke mana-mana. Dia ingin melepaskan pelukan itu, namun Anton tampaknya sedang ingin mengajak Intan bermesraan. Intan membalikkan badannya setelah dia selesai mencuci gelas-gelas itu.
"Tan, ke kamar yuk," kata Anton.
Jantung Intan segera berdegup kencang. Ia tak kuasa menolak tangan Anton yang menggenggam tangannya. "Mas, mau ngapain di kamar?" tanya Intan dengan nada panik.
"Aku agak capek. Kalau kamu mau, aku ingin dipijati, kayak biasanya," kata Anton.
Pintu kamar dibuka. Intan terkesima dengan buku-buku yang berserakan di mana-mana. Di situ juga ada gitar akustik dan gitar elektrik. Ada poster John Petrucci, gitaris Dream Theater yang tersohor itu.
Tak seperti biasanya, Anton membuka bajunya. "Tan, kalau mau, tolong aku dikerik. Aku kelihatannya masuk angin," katanya sambil menunjukkan balsam di meja kamar. Ia juga menyerahkan sebuah uang receh kepada Intan.
Intan mendengus pelan mendengar pemintaan itu. Ia cemberut memandangi punggung pria yang disayanginya itu. Untuk beberapa saat dia merasa tenang karena Anton tidak memintanya untuk membuka baju juga. "Makanya, Mas. Jangan capek-capek," katanya sambil mengambil balsam yang ada di atas meja Anton.
Intan mulai mengoleskan balsam itu ke punggung Anton di bagian atas, dekat leher. Ia mengambil uang receh yang tadi diberikan Anton, mulai menggerakkannya pada bagian yang tadi diolesi balsam.
"Tan, hangat...," kata Anton.
"Gimana, Mas, agak enakan kan sekarang?"
"Kalau yang ngerikin kamu beda, Tan. Hangat dan bikin gembira. Hangatnya sampai di relung hati."
"Ah, Mas ini!" kata Intan sambil menepuk pundak Anton.
"Aduh!" goda Anton.
Intan tak menyangka, Anton membalikkan badannya, memandang wajahnya.
"Kenapa, Mas? Sakit ya tadi kupukul?" tanya Intan.
Anton mendekatkan wajahnya ke wajah Intan. Dag dig dug, jantung Intan berdebar kencang. Ia merasakan harus menjauhi Anton saat ini, namun dia tak kuasa beranjak sedikit pun. Apa yang dia rasakan bersama Anton berbeda jauh dengan apa yang dirasakannya bersama Hendra. Bersama Anton, walaupun jantungnya berdebar-debar, dia masih bisa merasakan cinta. "Ada kehangatan yang lebih hangat dari balsam ini, Tan," bisik Anton.
"Mas...."
Anton mulai menciumi bibir Intan. Intan menyambut ciuman itu dengan rela. Dan, Intan begitu terkejut ketika ada sentuhan di dadanya. Dan sentuhan itu berubah jadi remasan yang lembut. Intan hendak menepis tangan Anton yang nakal itu, namun dia memilih pasrah. Bagaimana pun juga, dia mencintai Anton.
Anton merebahkan Intan di kasurnya. Tangannya bergerak ke arah lain, ke perut Intan. Anton menemukan ujung baju Intan. Intan hendak menjerit ketika Anton mulai menarik baju Intan, hendak melepasnya. Intan hanya memejamkan matanya -- bimbang dan serba salah. Apakah ia telah menjadi wanita murahan? Tapi, dia sudah pasrah. Paling tidak, Anton tadi sudah menyatakan bahwa dia "ibu yang baik". Terserah Anton mau berbuat apa, asal dia menjadi milik Anton selamanya. Namun, dia tetap mengharapkan keajaiban agar Anton menghentikan semua cumbuannya ini.
Pagar rumah Anton bergeser, suaranya cukup keras. Anton segera bangkit dari tempat tidurnya. "Bapak ibuku datang, Tan," katanya dengan gegabah.
Intan pun merapikan rambutnya dengan sisir yang ada di kamar itu. Ia juga merapikan bajunya yang belum sempat terlepas dari tubuhnya. "Aku keluar dulu, Mas. Aku ke dapur," kata Intan.
"Oke, segera! Kamu pura-pura cuci piring, Tan!"
Anton mengenakan bajunya lagi. Ia segera menyalakan televisi, menonton sinetron yang tengah diputar oleh sebuah stasiun televisi.
"Lho, Ma, kok pulangnya cepat. Katanya tadi mau mampir ke mal?"
"Enggak jadi, Ton. Pak Sugeng dan Bu Sugeng langsung pulang. Pak Sugeng perutnya tiba-tiba mules habis kondangan tadi," kata Ibu Anton.
"Oh gitu."
"Intan mana, Ton?" tanya bapak Anton.
"Di belakang, Pa. Masih nyuci gelas."
Ibu Anton berjalan ke dapur. "Anak manisku yang gembira, tante ada oleh-oleh nih buat kamu," katanya dengan setengah berteriak.
"Halo, Tante," kata Intan dengan senyum lebar. "Apa itu, Tante?"
Ibu Anton menunjukkan suvenir yang dibawanya dari pernikahan itu. Suvenir itu adalah sepasang cangkir cantik dan mungil yang bertuliskan nama kedua mempelai yang melangsungkan pernikahan. Ada juga hiasan bergambar hati di situ. Kedua cangkir itu terbuat dari keramik yang halus, berwarna merah hati.
"Bagus banget ya," kata Intan sambil menimang-nimang cangkir itu.
"Iya, ini untuk kamu kok, Nak," kata ibu Anton sambil menyerahkan suvenir itu kepada Intan. "Tadi ibu dikasih dua biji. Jadi, ini kamu bawa aja."
"Wah, makasih, Tante," kata Intan. Saat itu debar jantungnya mereda. Betapa dia bersyukur, kejadian di kamar tadi tidak ketahuan. Ia begitu takut kalau orangtua Anton mendapatinya lagi bercumbu di kamar. Saat Intan pura-pura mencuci gelas di dapur tadi, dia sempat menitikkan air mata. Dia merasa dirinya begitu murahan, mau saja dicumbui Anton. Intan mendengar pembicaraan Anton dan ibunya soal acara ke mal itu. Kalau mereka memang jadi ke mal, entah apa jadinya.

ANTON mengajak Intan makan malam di sebuah warung lesehan. Anton tidak banyak bicara, Intan juga merasa canggung hendak mengatakan apa.
            "Mas," kata Intan sambil menunggu pesanan makanan datang. "Bolehkah aku meminta satu hal?"
            Anton mengusap wajahnya dengan kedua tangannya. "Aku sudah tahu, Tan, apa yang kamu minta," katanya.
            Intan menyipitkan matanya. "Apa coba, Mas?"
            Anton menekukkan jari-jari tangannya hingga terdengar beberapa suara gemeletuk. "Ya... kurasa soal tadi. Soal buka-bukaan tadi," katanya.
            "Terus, permintaanku?"
            "Kurasa... kamu minta agar aku enggak gitu lagi. Ya kan?"
            Intan menggenggam jari-jemari Anton. "Mas, aku cinta sama Mas. Enggak usah ditanya seberapa besar cintaku ini. Tapi, mungkin aku orang kuno, Mas. Aku pengen... yang begituan itu kalo kita udah resmi nikah," kata Intan sambil meremas beberapa jari Anton.
            Anton membalas remasan itu. Ia mengangguk pelan.
            Intan melepaskan genggaman Anton, mengambil suvenir yang tadi diberikan oleh ibu Anton. "Kalau Mas memang mencintai aku, suatu saat kita akan mengganti kedua nama yang ada di cangkir mungil ini dengan nama kita, Mas," kata Intan.
            Anton mendesahkan napas panjang. "Aku," kata Anton sambil menggaruk-garuk kepalanya, "enggak bisa janji, Tan, untuk hal itu."
            Intan memajukan bibir bawahnya. Matanya menerawang ke arah yang tidak jelas.
            "Tan, bukan aku enggak mau berkomitmen. Aku perlu waktu, Tan. Maafin soal tadi ya? Aku benar-benar...," suara Anton terdengar makin kecil. "Aku benar-benar lagi nafsu banget tadi."
            Intan hendak menyatakan dengan berteriak kalau semua lelaki memang pembohong dan pendusta, maunya cuma melampiaskan nafsu saja. Namun, sekuat tenaga ia menahan emosinya. Ia ingin menjaga hubungan ini sampai akhir. "Jadi, Mas akan mencintaiku sampai kapan?" tanya Intan.
            "Tan, sejujurnya...," kata Anton sambil memalingkan wajahnya, "aku enggak tahu."
            Intan ingin sekali menangis pada saat itu. Mengapa Anton harus menyatakan bahwa dia seorang calon ibu yang baik segala? Pesanan makanan datang, sekuat tenaga Intan menyembunyikan dukanya. Sebentuk kepastian, hanya itu yang dia inginkan. Saat mengunyah makanannya, Intan menyadari suatu kenyataan bahwa di dunia ini tidak ada yang pasti.
Dia tidak pasti lulus kuliah.
Ibunya tidak pasti datang kembali.
Anton tidak pasti setia kepadanya.
Saat merenungkan berbagai ketidakpastian itu, tiba-tiba Intan teringat Vina yang baru saja dikecewakan. Vina, wanita yang serba tidak pasti hidupnya. Ingatan tentang Vina membuat Intan memandangi wajah Anton lagi. Pandangannya kali ini membuat Anton tergelak, memundurkan kepalanya.
"Ada apa, Tan?" tanya Anton dengan cepat.
Intan diam beberapa saat, memutar-mutarkan sendok yang dipegangnya. "Aku... teringat seseorang, Mas."
"Siapa?" tanya Anton sambil meletakkan sendoknya, lalu mengambil gelas yang berisi air putih di sampingnya. Ia meminum air itu beberapa teguk.
"Dia... seseorang yang selalu hidup dalam ketidakpastian. Dia baru saja kehilangan apa yang paling dia harapkan," kata Intan dengan mata yang tidak melihat ke wajah Anton.
"Tan, siapa sih? Kok omonganmu jadi ngelantur gini?" kata Anton. Ia minum air putihnya lagi beberapa teguk.
Intan menatap wajah Anton. "Vina, Mas. Teman kosku. Masih ingat?"
Anton tampak kaget begitu nama itu disebut. Ia hampir memuncratkan air yang masih ada di mulutnya. Intan pun tak kalah terkejut melihat ekspresi itu.
Anton berdeham beberapa kali sambil mengangguk-angguk dan mengatur napasnya, "Ya, ya... aku ingat dia. Aku ingat," katanya.
Intan menundukkan kepalanya. Apa yang baru saja dilihatnya menerbitkan kecurigaan. Ia pun langsung teringat pada kejadian ketika Anton pertama kali bertemu Vina. Hatinya pun segera diliputi rasa curiga. Dan, rasa cemburu.

Senin, 22 Mei 2017

Bab 10: Merpati dan Rumah Kenangan


SEBULAN berlalu sejak malam yang tak terlupakan di Pulosari itu. Hujan mulai sering turun di kota Malang. Cuaca sering dingin.
Tentang cerpen yang ditulis Intan, Anton berkata bahwa dia menyukainya. Dia menyarankan agar Intan mengirimkan tulisannya itu ke majalah atau koran, namun Intan merasa masih kurang yakin cerpen itu cukup baik. Anton juga menyatakan bahwa dia suka dengan tokoh pria yang seorang diri membesarkan putrinya itu. "Itu mengingatkan aku tentang nenekmu, Tan. Betul enggak, Tan?" tanya Anton.
"Iya, Mas. Sedikit banyak sosok nenek diwakili lewat tokoh itu."
"Aku jadi makin penasaran dengan nenekmu, Tan. Aku ingin sekali melihatnya. Semoga bisa kesampaian."
Mendengar kata-kata itu, Intan jadi makin yakin bahwa Anton adalah sosok yang bisa diandalkan. Tiada hari yang dilalui Intan tanpa telepon dan pesan pendek dari Anton. Mereka tidak selalu keluar saat malam Minggu karena kadang Intan harus bekerja. Anton sudah mengajak Intan keluar empat kali. Tidak semuanya ke warung atau tempat makan. Mereka juga pernah menghabiskan waktu di perpustakaan kota Malang saat hari Minggu.
Anton sudah menanyakan kesediaan Intan untuk menjadi kekasihnya. Namun, Intan tak langsung memberikan jawaban. Ia ingin melihat sampai sejauh mana Anton memberi perhatian dan rasa sayang buatnya.
            "Tan," kata Anton di telepon. "Ada kabar gembira nih."
            "Oh ya? Kabar apa, Mas?" tanya Intan yang lagi menunggu dosen datang di ruang kelas.
            "Honor cerpenku yang dimuat koran cair." Anton mengucapkan kalimat itu dengan penuh semangat.
            "Wah, keren.... Perasaan Mas belum cerita itu cerpennya tentang apa ya, Mas? Mas kan sering kirim cerpen. Aku udah pernah baca apa belum?"
            "Tan," kata Anton dengan suara yang berubah agak pelan. "Cerpen ini tentang kamu, Tan. Tentang kita."
            Intan tak mengatakan apa pun. Dia terkesima mendengar jawaban itu. Dia memandang ke awan, melihat awan-awan di langit.
            "Aku mau traktir kamu makan bakso kesukaanmu, Tan. Mau ya?"
            Intan tak menjawab pertanyaan itu beberapa detik.
"Tan?" kata Anton dengan nada bicara yang gusar. "Kamu sakit apa enggak?"
Intan berpikir, mungkin, salah satu kebahagiaan terbesar menjadi kekasih seorang penulis adalah ketika seorang penulis mengarang cerita atau puisi tentang kekasihnya, dimuat koran atau majalah, mendapat honor, lalu menraktirnya. "Iya, Mas. Aku dengar. Ini aku lagi sambil jalan. Apa yang Mas ceritakan tentang aku dalam cerita itu?" tanya Intan.
            "Ya, nanti kutunjukin deh. Yang jelas, aku enggak melakukan pencemaran nama baik kok," kata Anton sambil menderaikan tawanya yang riang.
            "Ya udah, Mas," kata Intan sambil tertawa juga. "Aku tunggu Mas jam 3 di kampus, habis kuliah kita ke warung bakso biasanya itu. Gimana?"
            "Oke."
            Sore itu, Anton menunjukkan kepada Intan cerpen yang dibuatnya. Intan menyukai judulnya, Merpati dan Rumah Kenangan. Ilustrasi cerpen yang dibuat oleh ilustrator koran juga sangat baik -- di sana ada gambar sebuah rumah yang kecil dengan pohon kelapa, kebun, dan berpagar kayu. Di pagar kayu, ada seekor merpati yang sedang bertengger. Intan membaca bagian awal cerita itu dengan penuh penghayatan.
            "Emm, ada baiknya kamu baca di rumah aja, Tan. Udah siang sekarang. Kita makan yuk," kata Anton ketika pelayan datang mengantarkan dua mangkok bakso.
            Intan melipat koran itu, lalu memandangi wajah Anton yang ada di depannya. "Mas," katanya.
            "Ya?"
            "Korannya kubawa enggak apa-apa kan?" tanya Intan sambil menuangkan kecap dan sambal ke baksonya.
            "Enggak apa-apa. Asal jangan hilang aja. Aku enggak punya cadangannya," kata Anton.
            Intan sebenarnya ingin menanyakan jumlah honor yang diterima Anton. Tapi, dia selalu menahan niat itu. Dari pembicaraannya dengan Anton tentang tulis-menulis selama ini, dia bisa menyimpulkan bahwa tujuan Anton menulis bukan mendapatkan uang. Anton dibesarkan di keluarga yang cukup mampu, ayahnya pedagang pakaian dan ibunya guru. Intan juga tak pernah mau menceritakan soal keuangan kepada Anton. Dia khawatir Anton akan kasihan kepadanya, dan dia tidak suka dikasihani orang lain.
Hujan turun rintik-rintik. Anton dan Intan sudah menghabiskan bakso mereka. Intan membuka lagi halaman koran yang berisi cerpen Anton. Matanya tertuju ke bagian akhir cerpen itu: Untuk Intan Septianty, yang kini sering hadir dalam mimpi-mimpiku. Salam sayang selalu. Gerakan mata Intan teramati oleh Anton.
"Tan," kata Anton dengan lembut. "Apa ini waktu yang tepat?"
Intan menghadapkan wajahnya ke wajah Anton. Dia pura-pura tidak mengerti ke mana arah pembicaraan ini. "Waktu yang tepat untuk...? Pulang?"
"Masih gerimis, nanti masuk angin, Tan. Tapi, maksudku...," kata Anton sambil mengubah posisi duduknya di bangku panjang yang mereka duduki bersama. "Maksudku... apa ini waktu yang tepat untuk berbicara soal... cinta?"
Intan menutup matanya, menundukkan kepalanya. Dia menghembuskan napas panjang. "Mungkin, ini waktu yang tepat, Mas," katanya sambil mengangkat wajahnya dan merapikan rambut bagian depannya yang menutupi kening dan pipinya.
"Tan, maukah kita menjalin hubungan yang serius?" tanya Anton.
Intan memalingkan wajahnya, mengubah posisi duduknya. Intan memandang jalan di depannya, Anton memandangi pipinya.
"Mas," kata Intan setengah berbisik. "Setelah aku pikirkan... aku tidak punya alasan untuk...."
"Untuk?" tanya Anton sambil meraih tangan Intan.
"Untuk... menolak cinta Mas Anton," kata Intan sambil mengubah posisi duduknya, menghadap Anton. Dia merasa yakin tak merendahkan dirinya sendiri ketika meraih kedua tangan Anton dan kemudian menggenggamnya dengan erat.
Anton berdiri sejenak dari tempat duduknya. Dia melihat penjual bakso yang sedang terlelap. "Tan, hanya kita berdua yang ada di sini," kata Anton sambil mendekatkan wajahnya ke wajah Intan.
"Ada gerimis, Mas, yang menjadi saksi," kata Intan dengan mata yang berbinar-binar dan senyum yang lebar.
Intan menutup matanya ketika bibir Anton itu mengecup keningnya.
Beberapa detik kemudian, dia pun pasrah ketika bibir itu menempel di bibirnya juga. Selama sepuluh detik, Intan merasakan kehangatan yang belum pernah dia rasakan sebelumnya.
Ketika Anton melepaskan ciumannya, Intan pun merangkul lengan Anton. "Mas...," kata Intan.
"Ya?" Anton menatap wajahnya Intan yang begitu dekat di wajahnya.
"Mulai hari ini, 10 November 2010, kita akan menjaga hati kita untuk selalu satu. Aku mau setia sama Mas," kata Intan sambil memegangi pundak Anton.
"Aku juga," kata Anton, lalu mengecup kening Intan.
"Eh," kata Intan dengan suara yang agak mengejutkan. "Tanggal jadian kita nomor cantik lho!"
"Iya ya, cantik. Sepuluh sebelas sepuluh. Dan...," kata Anton, kali ini sambil mengarahkan bibirnya ke telinga Intan, berbisik. "Cantik, seperti dia yang ada di sampingku."
Anton duduk makin rapat di samping Intan. Ia rangkul pundak gadis kesayangannya itu. Intan merebahkan kepalanya di pundak Anton. "Rambutmu wangi, Tan," kata Anton.
"Buatlah puisi nanti malam tentang rambutku, Mas," kata Intan.
"Enggak ah," kata Anton dengan nada menggoda. "Aku mau buat puisi tentang bibirmu saja."
"Kenapa bibir?" kata Intan dengan suara yang lirih.
"Karena bibirmu hangat," bisik Anton di telinganya.
Intan melepaskan rangkulan Anton. "Sekali lagi yuk?" bisik Intan.
Sepasang manusia ini pun mulai menghayati asmara yang terjalin dalam buaian gerimis. Hampir setengah menit mereka menyatukan sepasang bibir mereka. Asmara, kesunyian, dan gerimis -- waktu pun serasa berhenti bergerak ketika mereka berdua merasakan sebentuk kehangatan yang lembut.

MALAM hari, saat hendak tidur, Intan membaca keseluruhan cerita itu. Tokoh wanita dalam cerita itu memang mirip sekali dengan Intan. Dia bernama Mayang. Di dalamnya ada tokoh pria bernama Wahyu yang tampaknya mewakili sosok Anton. Berbeda dari beberapa cerpennya yang lain, kali ini Anton menulis dengan nama lengkapnya sendiri, Anton Setiawan.
            Di dalam cerpen itu dikisahkan bahwa Mayang adalah seorang gadis yang suka mendaki gunung bersama teman-temannya. Suatu ketika dia kelelahan dalam perjalanan turun gunung Semeru. Dia tertinggal rombongannya. Hujan sedang turun, Mayang berjalan sendirian di tanah becek yang bila tidak hati-hati dilalui bisa membuatnya terpeleset. Sebelum turun gunung, kondisi badannya memang kurang baik, merasa agak limbung dan mual.
            Mayang pun akhirnya tiba di sebuah gundukan. Gundukan itu cukup tinggi, tanah cokelat di situ becek semuanya, licin. Dia perlahan-lahan mendaki gundukan itu sambil merayap, namun terpeleset. Bagian yang menarik adalah ini:

Saat Mayang terjatuh, sungguh tak terduga, ada seorang pendaki asing yang muncul di belakangnya. Seorang pria. Ia membantu melepas tas yang Mayang bawa dan mengangkatnya berdiri. Dengan bantuannya, Mayang pun lolos dari maut, tidak jadi masuk jurang. Herannya, pendaki itu sama sekali tak bicara. Ia meninggalkan Mayang setelah melihat keadaannya baik-baik saja. Mayang masih sempat melihat wajahnya walau malam cukup gelap saat itu.
Hingga kini Mayang menganggap kalau pria itu adalah pendaki utusan Tuhan.

Dikisahkan, Mayang sempat bertemu lagi dengan pria itu saat sudah berada di sebuah pos di bagian bawah gunung. Namun, pria itu tampaknya tak melihat Mayang, turun gunung duluan. Dari beberapa orang yang tampaknya serombongan dengan pria itu, Mayang mendapat informasi dia bernama Wahyu.
Pada bagian akhir, Anton mengisahkan Mayang yang akhirnya tiba di rumahnya. Saat kembali, dia disambut oleh merpati biru peliharaannya yang sedang bertengger di pagar depan rumahnya. Hati Mayang begitu bahagia melihat merpatinya itu. Dia pun masuk ke dalam rumah, mengenang semua perjalanannya yang dianugerahi keselamatan dengan cara yang ajaib dan tak terduga.
"Rumah mungil itu tampak teramat damai, sedamai hati yang luput dari maut. Mayang mengenang semua perjalanannya di teras rumah saat senja berakhir, saat merpati biru kembali pulang ke dalam rumah kecilnya," demikian kata-kata penutup yang ada di dalam cerpen itu.

Selasa, 18 April 2017

Bab 9: Kencan Pertama yang Tak Terlupa


SEJAK malam pertemuan dengan Anton itu, Intan merasakan hadirnya sebuah kehidupan yang baru. Anton sering meneleponnya, atau paling tidak mengiriminya pesan pendek dua atau tiga buah sehari. Hampir tiap pagi dia menerima ucapan selamat pagi dari Anton. Hari-hari Intan diwarnai dengan keceriaan yang membuat semangatnya selalu bergelora. Intan kembali merasakan bahwa apa yang dilakukannya selama ini di Malang tidak sia-sia.
      Intan juga selalu mengamati apa yang di-update Anton di Facebook-nya. Anton terhitung jarang menulis status. Ia lebih suka mem-posting foto-foto yang ada kata-kata inspiratifnya. Dan, Intan selalu mengamati status hubungannya. Sejak pertama kali dikonfirmasi menjadi teman, Anton masih lajang.
      Satu minggu berlalu, malam Minggu datang lagi. Kali ini, Anton mengajak Intan pergi ke sebuah tempat yang dijadikan tongkrongan anak-anak muda di Malang, namanya Pulosari. Di sana banyak sekali warung yang menjual berbagai macam makanan dan minuman. Tempat yang cukup digandrungi anak-anak muda adalah warung-warung yang menjual roti dan pisang bakar. Di sana mereka biasanya mengobrolkan apa saja sampai berjam-jam.
      "Udah pernah ke sini, Tan?" tanya Anton saat memarkirkan motornya.
      "Belum, Mas. Dulu pernah sih, tapi cuma lewat aja," kata Intan.
      Mereka berdua masuk ke sebuah toko di ujung jalan Pulosari. Sudah pukul delapan malam saat mereka tiba. Sudah banyak orang yang datang sebelum mereka di tempat itu. Untunglah mereka menemukan meja kecil dan sepasang kursi yang kosong. Entah siapa yang memulai, saat melihat meja dan kursi itu, mereka berdua saling menatap dan tersenyum.
      "Pesan apa, Tan?" tanya Anton.
      "Hmm...," kata Intan sambil mengamati daftar makanan dan minuman yang ada di depannya. "Aku ikut Mas aja deh."
      "Biasanya aku pesan jagung bakar atau pisang bakar. Aku kurang suka roti bakar. Gimana?"
      "Jagung bakar kelihatannya enak juga," kata Intan sambil melihat orang yang ada di depannya. Orang itu tengah memakan jagung bakarnya dengan lahap.
      "Tapi kurasa kamu perlu nyoba roti bakar juga. Ya... mumpung ke sini. Gimana kalo kita pesan tiga-tiganya, nanti kita nikmati bersama?"
      Intan menundukkan kepalanya. Dia pura-pura memandangi daftar menu, padahal dia baru saja begitu menyukai kata "bersama" yang diucapkan Anton. "Mmm... boleh deh, Mas. Kita coba aja semuanya, ide bagus itu."
      Mereka berdua memilih minuman masing-masing. Anton memilih kopi susu, Intan teh panas. Anton memanggil pelayan, menyerahkan secarik kertas pesanan kepadanya.
      Sambil menunggu pesanan datang, Anton berkata, "Tan, waktu kita panjang nih. Kosmu gak ada batasan waktu harus pulang jam berapa gitu kan?"
Intan menggeleng. "Enggak ada, Mas. Kami masing-masing bawa kunci pintu samping rumah. Bebas mau pulang jam berapa."
"Sip. Jadi kita bisa ngobrol banyak nih," nada bicara Anton tampak bersemangat.
Intan melihat jam dinding yang ada di situ. "Ya... sekitar jam 10 kalau bisa udah pulang, Mas."
Anton membalikkan badannya, melihat jam itu. "Masih ada waktu hampir dua jam, Tan," gumamnya.
"Ya, dua jam, Mas. Semoga kita betah di sini."
"Tan," kata Anton sambil melepas jaketnya. "Aku sih bakal betah. Entahlah kalau kamu."
Intan tersenyum. "Betah kok, Mas," katanya pelan.
"Tan," kata Anton sambil menyatukan kedua tangannya di atas meja. "Gimana ceritanya kamu bisa sampai di Malang?"
"Wah, ceritanya panjang, Mas."
"Ceritakan aja. Aku mau dengar."
Intan bercerita tentang neneknya, tentang kesehariannya waktu SMA, tentang impiannya yang tak terpenuhi kuliah di jurusan Bahasa Indonesia. Dia menceritakan kehidupannya dengan penuh semangat. Anton mendengarkan Intan dengan perhatian penuh. Sesekali Anton menyela, menanyakan hal-hal yang ingin dia ketahui lebih banyak. Hampir 20 menit Intan bercerita tentang dirinya kepada Anton.
"Jadi, kamu ini suka nulis ya, dan setelah tamat SMA rencananya mau masuk Bahasa. Wah, wah... bakal cocok nih kita kelihatannya. Sejak kapan suka nulis?"
"Iya, Mas. Sejak kecil aku memang suka membaca. Waktu SD pernah nulis puisi, dikasih nilai 90. Sejak itu mulai lumayan suka nulis-nulis gitu, tapi enggak teratur, lebih mengandalkan mood."
"Oh gitu. Kalau buku yang kamu baca apa aja?"
"Aku suka baca komik, cerita bergambar, kumpulan cerpen, novel, apa aja...."
Anton mengusap-usap keningnya. "Aku juga suka membaca sejak SMA. Waktu itu sebenarnya aku masuk jurusan IPA, tapi aku enggak betah belajar dalam kelas. Aku mulai sadar aku enggak pandai berhitung. Jadi, aku justru lebih banyak membaca buku cerita daripada buku pelajaran. Untungnya, aku bisa lulus SMA," kata Anton sambil geleng-geleng kepala, mengenang masa lalunya.
"Terus, Mas suka nulis sejak kapan?" tanya Intan.
"Sejak awal kuliah. Gara-garanya, kampusku mengadakan lomba cipta cerpen. Aku iseng mengikutkan satu cerpen lamaku ke lomba itu. Nah, dua bulan kemudian, seorang kawanku menepuk pundakku."
"Terus?" Intan menyimak cerita ini dengan perhatian penuh.
"Kawanku itu menyuruh aku pergi ke rektorat, melihat pengumuman di papan dekat situ. Saat kubaca pengumuman itu, aku langsung mengepalkan tinju. Yes! Ternyata aku mendapat juara ke-2, Tan," kata Anton.
Pesanan mereka datang. Intan sangat menyukai aroma yang menguar dari jagung bakar yang terhidang di depannya. "Masih panas, Mas," katanya setelah pelayan meninggalkan mereka. "Terus gimana, Mas dapat hadiah atau apa dari lomba itu?"
"Hadiahnya enggak seberapa sih, cuma piagam dan uang 150 ribu. Tapi, sejak saat itulah aku enggak pernah berhenti nulis, Tan. Aku nulis apa aja -- cerpen, artikel, ulasan film, sampai ulasan buku."  
"Sudah banyak yang dimuat di majalah atau koran gitu, Mas?"
"Masih sedikit sih. Ada tulisanku yang pernah masuk di koran Jawa Pos dan Sindo. Tapi, aku lebih banyak menulis untuk majalah kampus."
"Oh gitu. Kalau sekarang, Mas lagi sibuk nulis apa?"
Anton mendengus. Dia tampak ragu menyampaikan jawabannya. "Aku sedang nulis novel, Tan."
Intan menyipitkan matanya, menatap wajah Anton. "Serius?"
Anton tersenyum, lalu mengangguk.
Tiba-tiba Intan merasa ingin menggenggam jari-jemari Anton. Dia ingin menyatakan bahwa dia mendukungnya. Dia tahu menulis cerita panjang tidaklah mudah, apalagi bagi seorang mahasiswa. Dan, Intan tak pernah melupakan apa yang dinyatakan Anton kepadanya, "Kalau mau, aku minta kamu jadi pembaca pertamanya," kata Anton.
Intan begitu bersemangat mendengar permintaan itu. Namun, dia menyembunyikan perasaannya. Ia malah berkata, "Mas, aku minum tehku ya?"
"Oh iya. Aku hampir lupa. Yuk, kita makan bareng."
Mereka berdua pun mengomentari makanan yang mereka santap. Intan menyukai jagung bakar, sementara Anton lebih sering menyantap pisang bakarnya. "Lho, Mas, roti bakarnya tidak dimakan?" tanya Intan saat jagung dan pisang bakar mereka sudah makin sedikit.
Anton menggeleng.
"Aku boleh nyicipi ya?"
"Ya, makan aja."
Intan mengambil garpu yang ada di atas roti bakar itu. Dia menusuk sebuah bagian roti bakar yang sudah diiris menjadi empat. "Enak kok, Mas," katanya setelah mencicipi seiris roti bakar itu. 
Anton mengambil garpu yang diletakkan Intan di atas roti bakar itu dengan agak malas. "Ya deh, sekali-sekali aku nyicipi juga," katanya.
Intan dan Anton kemudian sama-sama menghabiskan jagung dan pisang bakar mereka. "Tan, roti bakarnya masih banyak. Kamu habisin ya?"
Intan agak terkejut melihat tangan Anton yang mengambil garpu, lalu menusuk sebuah irisan roti bakar. Anton memegang garpu yang di bagian ujungnya sudah ada roti bakarnya. "Mas," kata Intan ragu-ragu.
"Enggak apa-apa kok, Tan," kata Anton setengah berbisik.
Intan sempat melihat sekelilingnya. Tidak ada orang yang memperhatikan mereka. Dia pun membuka mulutnya, lalu Anton menyuapinya.
"Ih, Mas Anton nih ada-ada aja deh," kata Intan setelah selesai mengunyah dan menelan irisan roti itu.
"Tan, masih ada satu nih. Sekali lagi ya?"
Cara Anton melakukan hal ini sama sekali tak membuat Intan tersinggung. Intan bisa mengetahui hal ini dari senyum Anton. Dia tak merasa direndahkan atau dianggap rakus. Entahlah, Intan susah menjelaskan apa yang dia rasakan. Hati kecilnya berkata bahwa dia menyukai momen ini. Dia pun sekali lagi membuka mulutnya.
Setelah makan, waktu menunjukkan pukul 20.50. Intan dan Anton masih melanjutkan obrolan mereka. Intan sempat ingin menanyakan apakah Anton mengenal Vina atau tidak, namun dia memutuskan untuk menunda pertanyaan itu. Intan juga sudah menemukan cerpennya yang minggu lalu terselip di tumpukan diktat kuliahnya, namun masih ragu untuk memberitahukannya kepada Anton.
Pukul 21.30, Anton mengajak Intan jalan-jalan. "Kita cari suasana baru yuk, Tan. Keliling-keliling kota."
"Betul, Mas. Aku juga udah mulai enggak betah duduk nih," kata Intan.
Anton membayar makanan dan minuman yang mereka santap malam itu. Mereka berdua kemudian berjalan-jalan di jalan Ijen yang penuh bunga, alun-alun, Tugu, dan beberapa tempat lainnya di kota Malang. Suasana malam itu begitu menyenangkan. Langit tampak cerah walau masih ada beberapa awan tipis yang berarak di langit. Di belakang motor, Intan begitu bahagia bisa menghirup udara Malang yang dingin sambil mengobrol dengan Anton meskipun dengan setengah berteriak. Intan berjanji akan membuat catatan atau puisi malam ini. Baginya, ini salah satu malam yang terindah semenjak kali pertama dia menginjakkan kaki di kota Malang.
Saat sampai di depan rumah kos, Intan pun akhirnya memutuskan mengambil cerpen yang sejak tadi dibawanya di dalam tasnya. "Mas, cerpen ini baru kubuat beberapa minggu lalu. Kurasa enggak sebaik karangan Mas. Tapi, kalau sempat tolong dibaca ya, Mas. Kalau ada kritikan atau masukan, aku akan senang sekali," kata Intan.
Anton melepas helmnya, membaca sekilas apa yang diterimanya. "Wah, kamu ternyata sudah bikin satu cerpen baru, Tan! Kelihatannya tulisanmu ini udah rapi," kata Anton. Dia tampak takjub menerima beberapa lembar kertas itu.
"Ya dibaca dulu, Mas, siapa tahu ada banyak kekurangannya," kata Intan.
Anton menatap Intan beberapa detik. Tatapan itu membuat Intan terbuai sekaligus takut. Hati kecilnya menduga Anton akan meraih tangannya, atau memeluknya, atau mungkin mencium keningnya. Intan masih belum siap dengan semua ini. Dia pun menundukkan kepalanya, mundur selangkah, dan berdeham. "Oh ya, Mas, tadi ada pembicaraan kita yang mungkin terlewatkan," katanya.
"Apa ya?" tanya Anton sambil mengerutkan dahi.
"Tentang novelmu. Aku tunggu novelmu ya, Mas."
"Oh... iya. Mungkin masih agak lama, sekitar 2-3 bulan lagi baru selesai. Ini masih baru halam 20 dari total 150 atau 160 halaman."
"Wah, panjang juga ya?"
Anton mengangguk. "Namanya juga novel. Menulis novel, buat aku adalah cara untuk menaklukkan kemalasan dan berfokus pada sebuah target."
Malam makin dingin. Intan ingin malam ini menjadi malam yang panjang. Namun, dia menyadari bahwa malam yang sempurna dan dingin seperti ini hanya akan membawa mereka berdua pada cumbu rayu yang tak bisa dihentikan. Intan merasa, inilah waktu yang tepat untuk berpisah. "Mas, makasih banyak buat malam ini," kata Intan dengan lirih.
"Sama-sama, Tan."
Intan tak bisa menolak tangan Anton yang tiba-tiba menggenggam tangannya. "Mas?" kata Intan sambil melihat wajah Anton yang amat dekat dengan wajahnya.
"Tan, kamu...." Anton seperti kehilangan kata-katanya. "Kamu memiliki mata yang indah. Kamu manis, Tan."
Intan begitu lega karena Anton tidak mencium wajahnya atau memeluknya. Jauh dalam hatinya, Intan pun sebenarnya ingin memberikan pria ini sebentuk pelukan atau kecupan di keningnya. Namun, semuanya akan terlalu cepat bila dilakukan malam ini.
Anton memasangkan helmnya, menyalakan mesin motornya. Intan terus berdiri di depan rumah kosnya hingga sosok Anton sudah tak tampak lagi. Suara mesin motor itu pun lenyap.
Selama beberapa saat, jalan di depan rumah kos Intan tampak begitu lengang. Intan menatap langit yang begitu bersih selama beberapa detik.
Sebelum tidur, Intan menerima pesan pendek dari Anton. Pesan itu membuatnya tak bisa tidur hingga jam 2 malam:

Senyummu seperti sunrise, menghadirkan kedamaian.
Binar matamu seperti sunset, meninggalkan kenangan.