"SEPERTI apakah rupa cinta?"
Musim kehidupan
berganti. Peristiwa ulang tahun Intan yang kelima telah empat belas tahun berlalu.
Kini, Intan hidup dalam keadaan yang berbeda. Intan sering merasa dirinya
seperti mawar yang senantiasa hidup di bawah terik matahari siang. Dia
merindukan tetesan embun penyejuk ketika matahari masih bersembunyi di balik
kegelapan; atau seekor kumbang yang datang menyambangi, memberikan sentuhan
kesegaran bagi jiwanya yang kering kerontang.
Saat Intan berusia
9 tahun, ayahnya meninggal karena serangan jantung. Kepergiannya begitu
mendadak, ibu Intan kalang-kabut dibuatnya. Rumah kontrakan mereka di
Singkawang ditinggalkan, ibu pindah ke Pontianak, tinggal serumah dengan nenek
Intan.
Namun, ibu Intan
tak bertahan lama tinggal bersama ibunya sendiri di Pontianak. Kira-kira setahun
sejak ayah Intan meninggal, ibu Intan pergi ke Malaysia, menjadi Tenaga Kerja
Wanita (TKW). Nasib ibu tidak jelas sejak ada di Malaysia -- dia beberapa kali
pindah tempat kerja. Terakhir, ibu mengabari kepada seorang rekannya yang
menjadi TKW juga bahwa dia menikah dengan seorang duda beranak dua asal Taiwan.
Ibu pernah
berjanji kepada Intan bahwa suatu hari dia akan kembali. Tapi, entah kapan --
batang hidungnya tak kunjung tampak.
Begitulah, sejak
berumur 10 tahun, Intan tinggal dengan neneknya yang berjualan kue-kue. Rumah
yang mereka tinggali tidak terlalu jauh dengan Pelabuhan Tanjungpura,
Pontianak. Setiap pagi Intan bangun pada pukul 04.30. Dia membantu menitipkan
kue-kue buatan neneknya ke beberapa warung makan dan warung kopi dengan
bersepeda. Sepulang sekolah atau pada sore hari, Intan juga membantu nenek
mengambil hasil jualan. Neneknya membuat kue bakpao, pastel, dan bolu. Nenek menyekolahkan
Intan hingga dia tamat SMA. Nenek juga mengelola uang yang mereka berdua
dapatkan dengan sangat baik.
"Intan,"
kata nenek suatu malam, setelah Intan menerima ijazah. "Kamu sudah tamat
SMA sekarang. Seperti yang kamu bilang dulu, selanjutnya kamu mau ke Jawa, mau
kuliah."
Intan duduk di
samping neneknya. Nenek tampak begitu rapuh. Dia memandangi rambut neneknya
yang hampir putih semua. Di depan mereka berdua, terbentang sungai Kapuas yang tampak
begitu tenang. Ada beberapa sampan yang melintas, ada yang hanya diam. Ada
kapal dan perahu yang baru datang, menuju ke pelabuhan. Ada yang mau pergi,
entah ke mana. Bayang-bayang lampu-lampu kapal yang berwarna-warni tampak di
permukaan sungai.
"Jadi, nenek
sudah pasti akan hidup dengan seorang pembantu?" tanya Intan.
Nenek mengangguk
beberapa kali. "Minggu depan dia akan ke sini," katanya dengan suara
serak.
Intan merangkul
pundak neneknya. "Tapi, Nek, pembantu itu baik kan?"
Nenek meyakinkan Intan
agar tidak khawatir. Pembantu itu sudah bekerja di rumah kakak nenek Intan
selama 3 tahun. Kakak nenek Intan telah meninggal sebulan yang lalu dan
pembantu itu yang meminta agar dia bisa bekerja di rumah nenek Intan. "Jangan
bimbang, Intan. Kalau kuliah sudah menjadi tekadmu sejak dulu,
lakukanlah," kata nenek sambil beranjak dari kursi, masuk ke dalam
kamarnya.
Nenek duduk lagi
di samping Intan, membawa sebuah tas. Nenek mengeluarkan uang dari tas itu.
Intan tak pernah melihat tas itu sampai hari ini. Dia menahan napas melihat
uang yang digenggam nenek.
"Intan, ini
adalah tabungan kita bersama, 18 juta. Ini hasil kita bersama, Intan, hasil
keringat kita. Nenek menabung sejak ibumu tidak ada lagi di sini. Pakailah ini
untuk membeli tiket kapal ke Jawa, mendaftar kuliah, dan lainnya."
"Nek...."
Intan merasa matanya tiba-tiba panas.
Nenek menundukkan
kepalanya. "Nenek tahu, Tan, kamu punya banyak impian mengenal dunia luar.
Ibumu entah kapan akan kembali. Keluarlah dari tempat ini untuk masa depanmu
yang lebih baik. Nenek akan tetap hidup bersama kue-kue nenek. Tapi kamu,
banyak kesempatan yang terbuka di depanmu."
Intan memeluk
neneknya dengan erat -- sangat erat.
MALAM itu, Intan tak bisa tidur. Bagaimana dia dapat melupakan neneknya itu?
Tiap pagi nenek
bangun pukul 03.00, menyiapkan kue-kue yang mau dititipkannya pada hari itu. Setelah
menitipkan kue-kuenya, nenek berbelanja di pasar, menyiapkan makan siang untuk
mereka berdua. Siang hari, setelah memasak, kadang nenek tidur satu dua jam
sambil menunggu Intan datang. Pada sore hari, nenek mengambil jualannya.
Pada malam hari,
setelah menyiapkan beberapa bahan untuk kue yang akan dibuat keesokan harinya,
nenek biasanya menyanyikan kidung-kidung gereja yang disukainya. Intan selalu
suka mendengarkan nenek bernyanyi. Suaranya merdu, dulu nenek sering bernyanyi
dalam kelompok paduan suara di gereja.
Nenek tidak pandai
dalam pelajaran-pelajaran sekolah. Suatu malam, saat Intan masih kelas 6 SD, dia
tidak bisa mengerjakan beberapa PR yang diberikan guru Matematika. Saat itu
buku paketnya ketinggalan di sekolah. Nenek membantu Intan mengerjakan PR-nya.
Hasilnya? Intan mendapat nilai 25.
Intan juga selalu merindukan
ibunya. Dia sering berdoa sambil memandangi sungai Kapuas saat malam hari agar ibunya
baik-baik saja. Intan sudah lelah memohon kepada Tuhan agar ibunya kembali.
Beberapa anak mungkin tidak mengerti apa artinya harapan yang tak kunjung tiba;
Intan memahami hal ini dengan baik, dan doa-doanya pun berubah. Dia sudah makin
jarang meminta sesuatu di dalam doa. Dia hanya berharap rencana Tuhan yang
terjadi. Tak jarang, Intan menaikkan doa-doanya tanpa kata-kata.
Nenek sudah
tertidur pulas. Intan tak henti-hentinya mengelus-elus uang yang ada di
pangkuannya. Sambil mengelus-elus uang itu, rasa khawatir yang besar memenuhi
batinnya: bagaimana bila nenek sakit keras atau meninggal saat aku ada di Jawa?
Hati Intan
terbelah dua.
Sebuah perahu
kecil melintas di sungai Kapuas, Intan melambaikan tangannya.
DI Pelabuhan Tanjungpura, akhirnya mereka berdua berpisah. Nenek menunggui Intan hingga kapal Lawit yang membawa Intan ke Surabaya tidak tampak lagi di sungai Kapuas. Air mata nenek sudah kering, tangannya sudah letih melambai-lambai. Demikian pula dengan Intan. Dia terus memandangi neneknya dari teras kapal hingga tak kelihatan.
"Kehidupan
terus berjalan, Intan. Jangan takut kehilangan apa pun dan siapa pun,"
demikian kata-kata terakhir nenek di pelabuhan itu.
Nenek kembali ke
rumah bersama pembantu barunya. Intan menuju lautan lepas seorang diri. Keduanya,
masing-masing berjalan bersama kesedihan dan harapannya.
"SEPERTI apakah rupa cinta?" Intan pernah menuliskan kata-kata itu beberapa bulan lalu di buku hariannya.
Ia kembali ke
tempat tidurnya di kapal, mengambil buku itu dari sebuah tas.
"Seperti
nenek," tulisnya.
INTAN menumpang kapal Lawit menuju ke Surabaya. Perjalanan yang ditempuhnya selama lebih dari 30 jam telah membuatnya mabuk laut. Dia lebih banyak menghabiskan waktu dengan tidur di sepanjang perjalanan. Dia hanya makan beberapa makanan ringan yang dibawanya dari Pontianak. Dia sempat menulis beberapa catatan pendek tentang neneknya. Begitu sampai di Surabaya, dia begitu lega. Dia menelepon pembantu neneknya, lalu bicara dengan neneknya. Neneknya mengucapkan "puji Tuhan" belasan kali.
Paman Intan telah
menunggunya di Pelabuhan Tanjung Perak.
"Halo, Om
Joni, saya udah sampai nih. Om di mana?" kata Intan lewat ponselnya.
Paman Intan segera
mengarahkan Intan untuk menuju ke sisi timur pelabuhan itu. Di sana mereka
berjumpa. Intan tampak bahagia begitu melihat wajah pamannya itu. "Halo
Intan!" seru pamannya di kejauhan. Senyumnya begitu lebar saat menghampiri
Intan, lalu dia menjabat tangan Intan dengan erat dan merangkul pundaknya.
Mereka menuju ke
tempat parkir, di sana seorang kawan paman Intan sudah menunggu. Mereka bertiga
menuju ke rumah paman Intan di Sidoarjo. Sepanjang perjalanan, Intan dan
pamannya bertukar cerita tentang kehidupan mereka masing-masing. Mereka juga
membicarakan tentang rencana kuliah Intan.
Intan ingin
berkuliah di Jawa karena banyak hal. Alasannya yang utama ada dua. Pertama, Om
Joni dulu pernah menawarinya saat dia masih kelas 1 SMA. Om Joni berkunjung ke Pontianak
waktu itu, dan dia memberikan saran kalau ada baiknya Intan kuliah di Jawa. Nenek
Intan tak mungkin mengijinkan Intan kuliah di Jawa kalau tidak ada Om Joni.
Kedua, Intan sejak
kecil memiliki rasa ingin tahu yang besar. Sejak kecil dia menyukai petualangan
dan perjalanan. Bila liburan sekolah tiba, dia sering bersepeda bersama
teman-temannya ke tempat-tempat yang jauh dari kota dan berpemandangan indah.
Dia selalu ingin tahu keadaan dunia luar, ingin mengenal kehidupan di Jawa yang
menurut beberapa orang lebih maju -- dia ingin tahu seperti apa kehidupan selain
di Pontianak dan Singkawang.
"Seperti yang
Om bilang dulu, Tan, rencananya kamu kuliah di Malang. Besok coba kita lihat
lagi kampus mana yang kira-kira pas buat kamu."
"Iya, Om.
Saya maunya di jurusan Akuntansi atau Ekonomi gitu. Atau... jurusan Bahasa
Indonesia," kata Intan.
"Bahasa
Indonesia? Ya, ya. Om dengar dari nenek kamu suka nulis. Apa kamu memang mau jadi
penulis?"
Intan tersenyum
tipis mendengar pertanyaan itu. "Ah, enggak, Om. Saya memang suka menulis.
Terus, selain itu juga pengen belajar Ekonomi karena waktu SMA masuk IPS. Otak
saya enggak kuat belajar di IPA, Om."
Om Joni tersenyum
mendengarnya. "Bukan soal kuat apa enggak, mungkin soal minat saja,
Tan."
Intan tersenyum
kecil mendengar pernyataan itu. Tiba-tiba, dia teringat sesuatu. "Oh iya,
Om, soal teman Om yang buka usaha fotokopi itu gimana? Yang katanya perlu karyawan
itu? Saya mau bisa kuliah sambil kerja. Ya... buat tambahan uang saku gitu, Om."
"Oh itu! Ya, ya,
om ingat. Kelihatannya dia masih perlu karyawan atau karyawati. Nanti coba dihubungi
lagi."
INTAN hanya sehari semalam berada di rumah pamannya. Om Joni tidak bertanya banyak soal ibu Intan, kakaknya, yang hingga kini belum ketahuan di mana rimbanya. Paman Intan, istrinya, dan Intan menumpang sebuah bis, pergi ke Malang. Di dalam perjalanan, Intan menggeleng-gelengkan kepala melihat tanggul lumpur yang ada di Porong. Dia terpana waktu mendengar cerita pamannya bahwa ada tiga desa yang tenggelam akibat semburan lumpur panas itu. "Sampai sekarang masih banyak orang yang mengesalkan kejadian ini, Tan. Yang belum dapat ganti rugi karena rumah dan tanahnya terendam lumpur juga banyak," cerita Om Joni.
Saat di Pandaan, dia
senang melihat Gunung Penanggungan yang ada di sebelah kanan jalan. Selama tinggal di
Pontianak dan Singkawang dia tidak pernah melihat gunung setinggi itu.
"Nanti ada gunung Arjuna sekitar satu jam lagi, Tan. Nah, enggak jauh dari
sini, di sekitar Malang dan Probolinggo, juga ada tiga gunung yang terkenal:
Bromo, Tengger, dan Semeru. Terus, di dekat kota Malang, tepatnya di Batu, juga
ada Gunung
Panderman," kata istri pamannya.
Entah kenapa, saat
mendengar cerita dari tantenya itu, Intan tiba-tiba menyukai gunung. Dulu dia
pernah membayangkan keidupan para pecinta alam yang tampaknya puitis dan penuh
tantangan. Dalam hati kecilnya muncul sebuah keinginan -- mendaki gunung.
Ketika sampai di
Malang, mereka bertiga menginap di sebuah penginapan di belakang SMA Katolik
Cor Jesu. Paman Intan menyewa dua buah kamar. Paman Intan sudah mencari
beberapa informasi tentang beberapa universitas yang ada di Malang. Mereka
bertiga merundingkan perguruan tinggi yang cocok dan mencarikan rumah kos untuk
Intan.
Pamannya juga akan
ke toko fotokopi milik temannya. Temannya itu membutuhkan beberapa karyawan karena
baru saja membuka cabang toko fotokopi. Pamannya sempat menanyakan bagaimana
kalau Intan juga bekerja untuknya di luar jam kuliah.
Selama dua hari
itu, setelah menjajaki beberapa kemungkinan, Intan akhirnya memutuskan untuk berkuliah
di jurusan Pariwisata Universitas Merdeka Malang. Kuliah ini jenjangnya D3, 3
tahun. Sebenarnya, dia ingin sekali bisa kuliah S1, empat tahun, terutama di
jurusan Bahasa Indonesia.
Tapi, dia khawatir
bila terlalu lama di Jawa. Intan memikirkan neneknya. Dia juga harus memutar
otak mencari sumber dana tambahan untuk biaya kuliahnya. Uang 18 juta yang diberikan
neneknya sudah habis hampir sejuta. Sisanya, 17 juta, nantinya setelah dipakai
untuk segala macam biaya perkuliahan, mungkin akan tersisa sekitar 8 juta.
Belum biaya rumah kos, biaya makan, dan lain sebagainya. Mengharapkan beasiswa
agak mustahil karena sejak SMA Intan merasa prestasi belajarnya tidak terlalu
bagus. Itulah sebabnya, ketika pamannya mengajak dia untuk menemui temannya
yang membuka usaha fotokopi, dia sangat berharap bisa bekerja di sana.
Lagipula, jurusan
Pariwisata tampaknya sesuai dengan jiwanya yang suka berpetualang.
"JADI, ini anaknya yang mau bekerja
sama aku, Jon?" kata kawan paman Intan, pemilik usaha fotokopi.
"Ya,"
kata paman Intan dengan mantap. "Anak ini rajin banget, Mas Yudi. Dulu,
waktu SMA tiap pagi dia bangun sebelum jam 5 mengantarkan kue-kue buatan
neneknya ke warung-warung untuk dititipkan. Setelah pulang sekolah, dia biasanya
enggak langsung pulang. Dia ke beberapa warung, mengambil hasil jualan yang
dititipkan tadi pagi."
Intan menunduk
mendengar kata-kata pamannya itu.
Mas Yudi
mengangguk-angguk sambil memikirkan sesuatu. "Baik, begini saja. Aku training
dia seminggu dulu ya, Jon? Nanti kamu kukabari lagi gimana hasilnya."
Om Joni menjabat
tangan kawannya itu. "Sip. Aku sangat yakin dia bisa dibimbing."
Intan
tersenyum-senyum ketika berpamitan kepada Mas Yudi. Sebuah kekhawatirannya
untuk sementara lenyap. Kini, tugas terakhir Om Joni adalah mencarikan rumah
kos untuk Intan.
"Oh
iya," kata Mas Yudi. "Intan sudah dapat kos?"
"Ini lagi mau
cari yang dekat dengan kampusnya," kata Om Joni.
"Memangnya kampus
Intan di mana?"
"Di jalan
Bandung, Mas Yudi."
"Lho,"
kata Mas Yudi sambil mengerutkan dahi dan mengangguk-angguk. "Jalan
Bandung dari sini cuma dua ratus meter lho! Ini tetanggaku banyak yang terima
kos."
"Oh ya?"
Kali ini Intan yang berbicara.
Om Joni tersenyum
lebar, tampaknya menyadari sesuatu. "Aku ini sudah lama enggak ke Malang.
Lupa juga kalau semua ini berdekatan! Nah, Intan... jadi, kampusmu, tempat
kerjamu dan tempat kosmu bakal berdekatan!"
Tugas paman Intan
pun selesai. Dia menemani Intan selama dua hari di Malang. Intan juga sudah mendapatkan
rumah kosnya. Pamannya kembali ke Sidoarjo setelah membantu Intan menyiapkan
kamar yang akan ditinggali Intan. Hal-hal lain yang berkaitan dengan
pendaftaran kuliah akan diurus Intan sendiri. Dia berpesan agar Intan
berkunjung ke Sidoarjo kalau ada kesempatan.
Pada malam hari,
saat Intan sendiri di kamar kos, sekali lagi dia menelepon neneknya. Intan
ingin mendengar neneknya menyanyikan sebuah lagu untuknya. Neneknya pun
bernyanyi di telepon untuk cucu kesayangannya:
Tak kutahu kan hari esok, mungkin langit kan gelap
tapi Dia yang berkasihan melindungiku tetap
meski susah perjalanan, g’lombang dunia menderu
Dipimpin-Nya kubertahan sampai akhir langkahku*)
*) Dari Nyanyian Kidung Baru 049, "Tuhan yang Pegang", syair: "I Know Who Holds Tomorrow" oleh Ira F. Stanphill, terjemahan K. P. Nugroho.
*) Dari Nyanyian Kidung Baru 049, "Tuhan yang Pegang", syair: "I Know Who Holds Tomorrow" oleh Ira F. Stanphill, terjemahan K. P. Nugroho.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah mampir, dan sudi berkomentar.