Selasa, 07 Maret 2017

Bab 7: Yang Datang dan Pergi


INTAN melalui hari-harinya dengan berat. Sudah tiga bulan dia berada di Malang. Dia mulai merasa makin lelah dari hari ke hari. Dia merasa gundah tiap kali bekerja di toko fotokopi itu, apalagi bila Mas Yudi ada di sana. Tugas-tugas kuliahnya pun makin banyak. Dalam hatinya mulai muncul keraguan, apakah dia bisa menyelesaikan kuliahnya?
                Dua orang yang bisa dia percayai di kota yang indah dan sejuk ini hanya Feny dan Vina. Mereka berdua yang terus memberi dukungan kepada Intan agar dia bersemangat menyelesaikan kuliahnya. Intan sempat ingin keluar dari toko fotokopi itu, berfokus pada kuliahnya saja. Tapi, itu jelas tidak mungkin dilakukannya. Uang dari nenek lama-kelamaan tentu akan habis.
                Intan pulang dengan wajah lesu pada malam-malam yang dingin. Dia selalu ingin bersama Vina tiap malam, tapi Vina lebih sering tidak ada di rumah kos. Feny hanya menemani Intan makan malam sesekali; Intan pun tak selalu bekerja di jam kerja yang sama dengannya.

Malam-malam yang sepi dan hampa...

kapankah sebentuk kehangatan cinta menyapa?

Malam-malam yang gelap dan sunyi...

kapankah keceriaan yang membawa damai singgah di sini?

Begitulah Intan menulis dalam catatan hariannya. Dia mulai teringat lagi kepada Anton Setiawan. Tiga minggu telah berlalu sejak Intan mengirimi Anton sebuah pesan. Hampir tiap hari Intan membuka Facebook-nya, namun tak kunjung ada jawaban dari Anton. Namun, dia terus menyimpan harapan dapat bertemu dengan Anton suatu ketika.
                9 September 2010 -- Intan berulang tahun ke-19. Tak ada seorang pun yang mengucapkan selamat kepadanya, kecuali nenek dan pembantunya. Dia tak pernah memberitahukan hari ulang tahunnya kepada siapa pun. Baginya, hari ulang tahun sudah tidak penting lagi dirayakan. Dia cukup mengenang perayaan ulang tahunnya yang kelima.

HAL yang ditunggu-tunggu Intan pun akhirnya datang. Suatu malam, setelah dua minggu lebih dia mengirim pesan kepada Anton, kotak pesannya di Facebook berwarna merah. Ketika dia membuka kotak pesan itu, betapa girang hatinya. "Salam kenal, Intan. Maaf pesanmu baru saya balas. Iya, saya yang ngarang cerpen itu. Sekarang saya lagi sibuk nulis beberapa cerpen lainnya dan laptop sempat rusak, baru sempat online sekarang. Oh ya, Intan anak mana nih? Tolong saya dikonfirmasi jadi temanmu ya? Thanks. :-)"
                Intan kini berteman dengan penulis itu di Facebook. Dia langsung menuju ke catatan-catatan Anton. Di sana ditemuinya banyak puisi. Beberapa puisi yang ada di situ dia salin, kemudian disimpannya di flashdisk-nya. Intan pun menulis pesan lagi untuk Anton. "Mas, makasih sudah mau berteman dengan saya. Saya kuliah di Malang. Saya suka sekali dengan cerpen Mas Anton. Cerpen itu menggambarkan kehidupan masa kecil dan remaja saya."
                Intan baca lagi pesan itu. "Kepanjangan," bisiknya. "Mas, makasih sudah mau berteman dengan saya. Saya kuliah di Malang. Cerpen Mas Anton bagus," tulisnya. Ia kirimkan pesan itu.
                Intan tak menduga, dua menit kemudian, balasan dari Anton muncul. "Makasih, Intan. Kenapa kamu suka cerpen saya? Kalau boleh tahu, di mana letak kebagusannya?"
                Kali ini Intan tak ragu untuk menulis lebih panjang. "Gini, Mas. Latar di dalam cerpen itu mirip banget dengan kehidupan saya waktu kecil dan remaja. Saya dulu tinggal di Singkawang dan Pontianak juga. Mas Anton dari sana?"
                Satu menit kemudian, balasan Anton muncul. "Oh gitu! Saya dulu sempat tinggal di Singkawang sebulan dan di Pontianak seminggu. Saya berlibur sama teman-teman saya ke sana."
                "Oh, saya kira Mas asli sana," tulis Intan.
                Setelah itu, tak ada balasan. Namun, pesan-pesan dari Anton mendatangkan kehangatan di malam yang dingin. Senyum Intan pun mengembang. Namun, senyumnya lenyap setelah Intan memandangi layar komputer di depannya selama sepuluh menit. Balasan tak kunjung datang. Dia menyalakan chatbox yang hampir tak pernah dia nyalakan. Dia melihat apakah Anton sedang online di chatbox atau tidak. Ternyata tidak. Intan meninggalkan warnet itu.
                Satu menit setelah Intan keluar dari warnet, Anton menulis buatnya. "Sori agak lama balas pesanmu. Kalau kamu ada waktu, mungkin kita bisa ketemuan, ngobrol-ngobrol soal Singkawang. Saya suka dengan kota itu."

KETIKA hampir sampai di rumah kos, Intan terkejut melihat dua orang yang tengah bercakap-cakap di depan pagar rumah kos. Intan menghentikan langkahnya, menyelinap di balik pohon yang tak jauh dari situ. Dia melihat Vina dan seorang pria. Wajah Vina tampak pucat di bawah lampu yang ada di depan pagar. Tampaknya dia habis menangis. Vina mengatakan sesuatu yang tidak bisa didengar Intan, gerakan mulutnya agak cepat.
                Pria yang bersamanya tampak merengut. Beberapa kali dia mengangkat kedua tangannya bila Vina berhenti bicara, tampak seperti berusaha menenangkan. Pria itu juga beberapa kali berusaha memegang pundak Vina, namun Vina selalu menepisnya.
                Suasana begitu hening selama beberapa saat. Vina tampak meneteskan air matanya. Pria yang ada di hadapannya menunduk. Dan, untuk kali pertama dalam hidupnya, Intan menyaksikan pemandangan yang membuatnya bergetar. Vina menampar pipi pria itu dengan keras, kemudian berlari, masuk ke dalam rumah kos. Intan mendengar teriakan Vina yang cukup keras, "Jangan hubungi aku lagi, mata keranjang!"
                Mata pria itu memerah. Dia duduk termenung di atas sepeda motornya selama beberapa detik. Intan menahan langkahnya untuk tak mendekati pria yang malang itu. Pria itu sempat hendak masuk ke dalam halaman rumah kos, namun dia tak jadi melakukannya. Ia memencet-mencet tombol ponsel yang dibawanya, menempelkannya di telinganya. Tapi, tampak jelas bahwa panggilannya tidak dijawab.
                Pria itu pun memakai helmnya dan menyalakan mesin motornya. Ketika dia menyalakan lampu motornya, Intan kembali melangkahkan kakinya menuju rumah kosnya. Pria itu sempat menatap wajah Intan ketika mereka berpapasan.
Intan pun segera menyadari siapa pria itu. Dia bergegas masuk ke dalam rumah kosnya.
                Intan mengetuk pintu kamar Vina. "Mbak... Mbak Vina!" kata Intan.
                Pintu terbuka. Vina menyambut Intan dengan pelukannya. Intan menutup pintu kamar itu.
                "Mau kubuatkan teh, Mbak?" tanya Intan.
                Vina menggeleng. Dia duduk di sudut kamarnya, kepalanya menunduk. Intan menyaksikan sosok yang tampak begitu rapuh dan tak berdaya. Selama beberapa saat keheningan menjalar di udara, hanya terdengar isak tangis Vina beberapa kali.
                "Tan," kata Vina sambil menyeka air matanya dengan tisu. "Minggu depan Indra pindah ke Jakarta."
                "Terus, gimana kelanjutan hubungan Mbak dengan dia?"
                "Bubar, Tan," kata Vina dengan suara serak.
                "Kenapa harus berakhir, kan bisa tetap berhubungan? Terus, anak istrinya gimana?"
                "Itu dia masalahnya, Tan. Istrinya! Istrinya hamil lagi, udah dua bulan. Indra bilang dia enggak tega menceraikan istrinya."
                Intan mencoba mencerna apa yang didengarnya. Dia bingung, dulu Vina bercerita Indra mau bercerai, sekarang istrinya hamil. "Katanya mau cerai, tapi kok sempat juga bikin anak ya?" tanya Intan.
                "Cowok memang brengsek semua!" kata Vina dengan nada geram.
                Intan menghela napas panjang. Dia tidak menanggapi makian itu, sudah sering dia mendengarnya. Dia mulai bertanya-tanya tentang Indra. Apakah benar bahwa Indra memang pernah menjanjikan hubungan jangka panjang kepada Vina. Atau Vina yang telah mengarang cerita berlebihan? Benaknya diliputi berbagai pertanyaan. "Jadi, bagaimana selanjutnya?" tanya Intan.
                Vina hanya mengangkat bahu.
                Intan sangat ingin menceritakan tentang pesan di Facebook yang baru saja dia terima dari Anton, ingin meminta tanggapan Vina. Tapi, niat itu ditahannya. Dia pun mencari hal lain yang mungkin bisa mereka bicarakan.  
                "Mbak, tadi aku melihat semuanya," kata Intan.
                "Maksudmu, Tan?" kata Vina sambil mengangkat kepalanya yang sebelumnya tertunduk.
                "Aku lihat kejadian di depan rumah kos itu. Aku lihat Mbak menampar Indra, kalian bertengkar... semuanya."
                "Aku betul-betul terpukul, Tan. Terserah mau percaya apa enggak, itu kali pertama aku menampar laki-laki. Aku begitu geram dengan dia," kata Vina.
                Intan langsung teringat Mas Yudi yang juga membuatnya sangat geram. "Mbak, mungkin selama ini ada hal yang Mbak enggak tahu dari aku," kata Intan.
                "Apa itu, Tan?" Wajah Vina menunjukkan rasa ingin tahu.
                "Aku mau menceritakan hal ini. Tapi, Mbak baru aja dapat masalah besar. Rasanya kurang tepat," kata Intan ragu-ragu.
                "Enggak apa-apa, Tan. Lebih baik ngomongin kamu sekarang. Ngomongin yang baru aja kualami malah bikin aku tambah muak. Ayolah, cerita," desak Vina.
                "Begini, Mbak. Selama ini aku kan kerja di toko fotokopi...."
                "Lho, itu aku kan udah tahu," potong Vina.
                "Tapi, Mbak belum tahu kan siapa yang punya toko itu?"
                Vina menggeleng.
                "Mas Yudi, Mbak, mucikari itu," Intan berhenti beberapa saat. "Kurasa Mbak kenal dengan dia."
                Bibir Vina terbuka. "Hah? Dia yang punya toko fotokopi itu? Bukannya toko fotokopinya yang di dekat alun-alun?"
                Intan mengangguk. "Iya, Mbak. Dia punya dua toko. Selama ini dia memang jarang sekali muncul di toko tempat aku kerja itu, hanya kadang-kadang."
                "Aku beberapa kali dapat orang dari dia," kata Vina. "Aku baru sekali ketemu langsung sama dia. Aku juga enggak tahu dia dapat nomorku dari siapa. Tapi, kelihatannya dia orang baik kok."
                "Baik apanya!" kata Intan setengah membentak. "Dia itu hampir aja bikin aku jadi pelacur!"
                Vina menyipitkan matanya, dia tampak ragu dengan apa yang baru saja didengarnya.
                "Maaf kalau kata-kataku tadi menyinggung Mbak," kata Intan. Intan lalu menceritakan semuanya kepada Vina -- tentang Hendra, Mas Yudi, dan Feny.
                Vina menggeleng-gelengkan kepalanya beberapa kali mendengar cerita itu. Pada akhirnya, ia sepakat dengan Intan untuk memberi Mas Yudi sebuah pelajaran.
                "Gimana kalau kita melaporkan dia ke polisi?" tanya Intan.
                "Jangan. Kalau tidak cukup bukti, justru aku nanti bisa kena juga," kata Vina.
                "Jadi?"
                "Kita pikirkan sambil jalan aja, Tan. Kita berdua aja, tambah Feny aja kalau dia mau ikut, yang memberinya pelajaran. Jangan libatkan orang lain, Tan. Kamu harus paham statusku ini apa. Aku ini kan ayam kampus, Tan."
                "Oke, Mbak. Nanti coba kita pikirin lagi," kata Intan. "Terus, Mbak sekarang gimana? Mbak merasa baikan?"
                Vina tersenyum tipis. Walaupun demikian, senyum itu tampak begitu tulus. "Aku baik, Tan. Yah... semuanya butuh proses. Bantu aku ya, Tan, melupakan Indra?"
                Intan mengangguk sambil menutup matanya. "Dan...," Intan tampak ragu-ragu melanjutkan kata-katanya.
                "Apa, Tan?" tanya Vina.
                "Aku sebenarnya ingin banget lihat Mbak meninggalkan dunia itu. Tapi, aku enggak tahu gimana caranya karena aku enggak pernah hidup di dunia itu."
                Vina tak mengatakan apa pun. Ia hanya menundukkan kepalanya.
                "Aku juga sedang menunggu yang terbaik datang buatku. Kita sama-sama menunggu, Mbak. Cepat atau lambat, Mbak akan menemukan pria yang lain. Aku yakin itu, Mbak, yakin banget."
                Vina sudah tidak menangis lagi. Ia berdiri, lalu melangkahkan kakinya, membuka pintu kamar. "Mbak, mau ke mana?" tanya Intan yang agak bingung melihat Vina.
                "Mau bunuh diri," kata Vina sambil memasang wajah cemberut.
                "Mbak! Mbak ini gimana sih? Aku salah ngomong apa?" tanya Intan sambil berdiri mendekati Vina.
                Vina tiba-tiba tersenyum. Intan pun sadar dia sedang dikelabui.
"Aku mau bikin teh untuk adikku yang paling baik dan manis sedunia," kata Vina sambil mengecup rambut Intan.
Mereka berdua menikmati teh sambil mendengarkan lagu-lagu cinta, seperti dulu. Intan tidur di kamar Vina. Vina tampak lelah, tehnya tidak habis diminumnya. Intan berusaha mengalihkan pikiran Vina yang tampaknya sedang suntuk. Tak sampai setengah jam, Vina terlelap setelah mereka mengobrol tentang makanan, cuaca, dan kuliah.
Intan mengambil buku hariannya, mencatat peristiwa yang dia alami. Di bagian akhir dia menulis: "Di balik setiap hati yang terluka, selalu ada kasih yang besar. Semoga hati itu menjadi sembuh, dan kasih mendatangkan buah yang manis."
Sebelum tidur, Intan mengecup kening Vina yang sudah terlelap sambil mendengkur pelan.