INTAN melalui hari-harinya dengan berat. Sudah tiga bulan
dia berada di Malang. Dia mulai merasa makin lelah dari hari ke hari. Dia
merasa gundah tiap kali bekerja di toko fotokopi itu, apalagi bila Mas Yudi ada
di sana. Tugas-tugas kuliahnya pun makin banyak. Dalam hatinya mulai muncul
keraguan, apakah dia bisa menyelesaikan kuliahnya?
Dua
orang yang bisa dia percayai di kota yang indah dan sejuk ini hanya Feny dan
Vina. Mereka berdua yang terus memberi dukungan kepada Intan agar dia
bersemangat menyelesaikan kuliahnya. Intan sempat ingin keluar dari toko
fotokopi itu, berfokus pada kuliahnya saja. Tapi, itu jelas tidak mungkin
dilakukannya. Uang dari nenek lama-kelamaan tentu akan habis.
Intan
pulang dengan wajah lesu pada malam-malam yang dingin. Dia selalu ingin bersama
Vina tiap malam, tapi Vina lebih sering tidak ada di rumah kos. Feny hanya
menemani Intan makan malam sesekali; Intan pun tak selalu bekerja di jam kerja
yang sama dengannya.
Malam-malam yang sepi dan hampa...
kapankah sebentuk kehangatan cinta menyapa?
Malam-malam yang gelap dan sunyi...
kapankah keceriaan yang membawa damai singgah di sini?
Begitulah Intan menulis dalam catatan hariannya. Dia mulai
teringat lagi kepada Anton Setiawan. Tiga minggu telah berlalu sejak Intan
mengirimi Anton sebuah pesan. Hampir tiap hari Intan membuka Facebook-nya,
namun tak kunjung ada jawaban dari Anton. Namun, dia terus menyimpan harapan
dapat bertemu dengan Anton suatu ketika.
9
September 2010 -- Intan berulang tahun ke-19. Tak ada seorang pun yang mengucapkan
selamat kepadanya, kecuali nenek dan pembantunya. Dia tak pernah memberitahukan
hari ulang tahunnya kepada siapa pun. Baginya, hari ulang tahun sudah tidak
penting lagi dirayakan. Dia cukup mengenang perayaan ulang tahunnya yang
kelima.
HAL yang ditunggu-tunggu Intan pun akhirnya datang. Suatu malam,
setelah dua minggu lebih dia mengirim pesan kepada Anton, kotak pesannya di
Facebook berwarna merah. Ketika dia membuka kotak pesan itu, betapa girang
hatinya. "Salam kenal, Intan. Maaf pesanmu baru saya balas. Iya, saya yang
ngarang cerpen itu. Sekarang saya lagi sibuk nulis beberapa cerpen lainnya dan
laptop sempat rusak, baru sempat online sekarang. Oh ya, Intan anak mana nih?
Tolong saya dikonfirmasi jadi temanmu ya? Thanks. :-)"
Intan
kini berteman dengan penulis itu di Facebook. Dia langsung menuju ke
catatan-catatan Anton. Di sana ditemuinya banyak puisi. Beberapa puisi yang ada
di situ dia salin, kemudian disimpannya di flashdisk-nya. Intan pun menulis
pesan lagi untuk Anton. "Mas, makasih sudah mau berteman dengan saya. Saya
kuliah di Malang. Saya suka sekali dengan cerpen Mas Anton. Cerpen itu
menggambarkan kehidupan masa kecil dan remaja saya."
Intan
baca lagi pesan itu. "Kepanjangan," bisiknya. "Mas, makasih
sudah mau berteman dengan saya. Saya kuliah di Malang. Cerpen Mas Anton
bagus," tulisnya. Ia kirimkan pesan itu.
Intan
tak menduga, dua menit kemudian, balasan dari Anton muncul. "Makasih,
Intan. Kenapa kamu suka cerpen saya? Kalau boleh tahu, di mana letak
kebagusannya?"
Kali
ini Intan tak ragu untuk menulis lebih panjang. "Gini, Mas. Latar di dalam
cerpen itu mirip banget dengan kehidupan saya waktu kecil dan remaja. Saya dulu
tinggal di Singkawang dan Pontianak juga. Mas Anton dari sana?"
Satu
menit kemudian, balasan Anton muncul. "Oh gitu! Saya dulu sempat tinggal
di Singkawang sebulan dan di Pontianak seminggu. Saya berlibur sama teman-teman
saya ke sana."
"Oh,
saya kira Mas asli sana," tulis Intan.
Setelah
itu, tak ada balasan. Namun, pesan-pesan dari Anton mendatangkan kehangatan di
malam yang dingin. Senyum Intan pun mengembang. Namun, senyumnya lenyap setelah
Intan memandangi layar komputer di depannya selama sepuluh menit. Balasan tak
kunjung datang. Dia menyalakan chatbox
yang hampir tak pernah dia nyalakan. Dia melihat apakah Anton sedang online di chatbox atau tidak. Ternyata tidak.
Intan meninggalkan warnet itu.
Satu
menit setelah Intan keluar dari warnet, Anton menulis buatnya. "Sori agak
lama balas pesanmu. Kalau kamu ada waktu, mungkin kita bisa ketemuan,
ngobrol-ngobrol soal Singkawang. Saya suka dengan kota itu."
KETIKA hampir sampai di rumah kos, Intan terkejut melihat
dua orang yang tengah bercakap-cakap di depan pagar rumah kos. Intan
menghentikan langkahnya, menyelinap di balik pohon yang tak jauh dari situ. Dia
melihat Vina dan seorang pria. Wajah Vina tampak pucat di bawah lampu yang ada
di depan pagar. Tampaknya dia habis menangis. Vina mengatakan sesuatu yang
tidak bisa didengar Intan, gerakan mulutnya agak cepat.
Pria
yang bersamanya tampak merengut. Beberapa kali dia mengangkat kedua tangannya
bila Vina berhenti bicara, tampak seperti berusaha menenangkan. Pria itu juga
beberapa kali berusaha memegang pundak Vina, namun Vina selalu menepisnya.
Suasana
begitu hening selama beberapa saat. Vina tampak meneteskan air matanya. Pria
yang ada di hadapannya menunduk. Dan, untuk kali pertama dalam hidupnya, Intan
menyaksikan pemandangan yang membuatnya bergetar. Vina menampar pipi pria itu
dengan keras, kemudian berlari, masuk ke dalam rumah kos. Intan mendengar
teriakan Vina yang cukup keras, "Jangan hubungi aku lagi, mata keranjang!"
Mata
pria itu memerah. Dia duduk termenung di atas sepeda motornya selama beberapa
detik. Intan menahan langkahnya untuk tak mendekati pria yang malang itu. Pria
itu sempat hendak masuk ke dalam halaman rumah kos, namun dia tak jadi
melakukannya. Ia memencet-mencet tombol ponsel yang dibawanya, menempelkannya
di telinganya. Tapi, tampak jelas bahwa panggilannya tidak dijawab.
Pria
itu pun memakai helmnya dan menyalakan mesin motornya. Ketika dia menyalakan
lampu motornya, Intan kembali melangkahkan kakinya menuju rumah kosnya. Pria
itu sempat menatap wajah Intan ketika mereka berpapasan.
Intan pun segera menyadari siapa pria itu. Dia bergegas
masuk ke dalam rumah kosnya.
Intan
mengetuk pintu kamar Vina. "Mbak... Mbak Vina!" kata Intan.
Pintu
terbuka. Vina menyambut Intan dengan pelukannya. Intan menutup pintu kamar itu.
"Mau
kubuatkan teh, Mbak?" tanya Intan.
Vina
menggeleng. Dia duduk di sudut kamarnya, kepalanya menunduk. Intan menyaksikan
sosok yang tampak begitu rapuh dan tak berdaya. Selama beberapa saat keheningan
menjalar di udara, hanya terdengar isak tangis Vina beberapa kali.
"Tan,"
kata Vina sambil menyeka air matanya dengan tisu. "Minggu depan Indra pindah
ke Jakarta."
"Terus,
gimana kelanjutan hubungan Mbak dengan dia?"
"Bubar,
Tan," kata Vina dengan suara serak.
"Kenapa
harus berakhir, kan bisa tetap berhubungan? Terus, anak istrinya gimana?"
"Itu
dia masalahnya, Tan. Istrinya! Istrinya hamil lagi, udah dua bulan. Indra
bilang dia enggak tega menceraikan istrinya."
Intan
mencoba mencerna apa yang didengarnya. Dia bingung, dulu Vina bercerita Indra
mau bercerai, sekarang istrinya hamil. "Katanya mau cerai, tapi kok sempat
juga bikin anak ya?" tanya Intan.
"Cowok
memang brengsek semua!" kata Vina dengan nada geram.
Intan
menghela napas panjang. Dia tidak menanggapi makian itu, sudah sering dia
mendengarnya. Dia mulai bertanya-tanya tentang Indra. Apakah benar bahwa Indra
memang pernah menjanjikan hubungan jangka panjang kepada Vina. Atau Vina yang
telah mengarang cerita berlebihan? Benaknya diliputi berbagai pertanyaan.
"Jadi, bagaimana selanjutnya?" tanya Intan.
Vina
hanya mengangkat bahu.
Intan
sangat ingin menceritakan tentang pesan di Facebook yang baru saja dia terima
dari Anton, ingin meminta tanggapan Vina. Tapi, niat itu ditahannya. Dia pun
mencari hal lain yang mungkin bisa mereka bicarakan.
"Mbak,
tadi aku melihat semuanya," kata Intan.
"Maksudmu,
Tan?" kata Vina sambil mengangkat kepalanya yang sebelumnya tertunduk.
"Aku
lihat kejadian di depan rumah kos itu. Aku lihat Mbak menampar Indra, kalian
bertengkar... semuanya."
"Aku
betul-betul terpukul, Tan. Terserah mau percaya apa enggak, itu kali pertama
aku menampar laki-laki. Aku begitu geram dengan dia," kata Vina.
Intan
langsung teringat Mas Yudi yang juga membuatnya sangat geram. "Mbak,
mungkin selama ini ada hal yang Mbak enggak tahu dari aku," kata Intan.
"Apa
itu, Tan?" Wajah Vina menunjukkan rasa ingin tahu.
"Aku
mau menceritakan hal ini. Tapi, Mbak baru aja dapat masalah besar. Rasanya
kurang tepat," kata Intan ragu-ragu.
"Enggak
apa-apa, Tan. Lebih baik ngomongin kamu sekarang. Ngomongin yang baru aja
kualami malah bikin aku tambah muak. Ayolah, cerita," desak Vina.
"Begini,
Mbak. Selama ini aku kan kerja di toko fotokopi...."
"Lho,
itu aku kan udah tahu," potong Vina.
"Tapi,
Mbak belum tahu kan siapa yang punya toko itu?"
Vina
menggeleng.
"Mas
Yudi, Mbak, mucikari itu," Intan berhenti beberapa saat. "Kurasa Mbak
kenal dengan dia."
Bibir
Vina terbuka. "Hah? Dia yang punya toko fotokopi itu? Bukannya toko fotokopinya
yang di dekat alun-alun?"
Intan
mengangguk. "Iya, Mbak. Dia punya dua toko. Selama ini dia memang jarang
sekali muncul di toko tempat aku kerja itu, hanya kadang-kadang."
"Aku
beberapa kali dapat orang dari dia," kata Vina. "Aku baru sekali
ketemu langsung sama dia. Aku juga enggak tahu dia dapat nomorku dari siapa.
Tapi, kelihatannya dia orang baik kok."
"Baik
apanya!" kata Intan setengah membentak. "Dia itu hampir aja bikin aku
jadi pelacur!"
Vina
menyipitkan matanya, dia tampak ragu dengan apa yang baru saja didengarnya.
"Maaf
kalau kata-kataku tadi menyinggung Mbak," kata Intan. Intan lalu
menceritakan semuanya kepada Vina -- tentang Hendra, Mas Yudi, dan Feny.
Vina
menggeleng-gelengkan kepalanya beberapa kali mendengar cerita itu. Pada
akhirnya, ia sepakat dengan Intan untuk memberi Mas Yudi sebuah pelajaran.
"Gimana
kalau kita melaporkan dia ke polisi?" tanya Intan.
"Jangan.
Kalau tidak cukup bukti, justru aku nanti bisa kena juga," kata Vina.
"Jadi?"
"Kita
pikirkan sambil jalan aja, Tan. Kita berdua aja, tambah Feny aja kalau dia mau
ikut, yang memberinya pelajaran. Jangan libatkan orang lain, Tan. Kamu harus
paham statusku ini apa. Aku ini kan ayam kampus, Tan."
"Oke,
Mbak. Nanti coba kita pikirin lagi," kata Intan. "Terus, Mbak
sekarang gimana? Mbak merasa baikan?"
Vina
tersenyum tipis. Walaupun demikian, senyum itu tampak begitu tulus. "Aku
baik, Tan. Yah... semuanya butuh proses. Bantu aku ya, Tan, melupakan
Indra?"
Intan
mengangguk sambil menutup matanya. "Dan...," Intan tampak ragu-ragu
melanjutkan kata-katanya.
"Apa,
Tan?" tanya Vina.
"Aku
sebenarnya ingin banget lihat Mbak meninggalkan dunia itu. Tapi, aku enggak
tahu gimana caranya karena aku enggak pernah hidup di dunia itu."
Vina
tak mengatakan apa pun. Ia hanya menundukkan kepalanya.
"Aku
juga sedang menunggu yang terbaik datang buatku. Kita sama-sama menunggu, Mbak.
Cepat atau lambat, Mbak akan menemukan pria yang lain. Aku yakin itu, Mbak,
yakin banget."
Vina
sudah tidak menangis lagi. Ia berdiri, lalu melangkahkan kakinya, membuka pintu
kamar. "Mbak, mau ke mana?" tanya Intan yang agak bingung
melihat Vina.
"Mau
bunuh diri," kata Vina sambil memasang wajah cemberut.
"Mbak!
Mbak ini gimana sih? Aku salah ngomong apa?" tanya Intan sambil berdiri
mendekati Vina.
Vina
tiba-tiba tersenyum. Intan pun sadar dia sedang dikelabui.
"Aku mau bikin teh untuk
adikku yang paling baik dan manis sedunia," kata Vina sambil mengecup
rambut Intan.
Mereka berdua menikmati teh sambil
mendengarkan lagu-lagu cinta, seperti dulu. Intan tidur di kamar Vina. Vina
tampak lelah, tehnya tidak habis diminumnya. Intan berusaha mengalihkan pikiran
Vina yang tampaknya sedang suntuk. Tak sampai setengah jam, Vina terlelap
setelah mereka mengobrol tentang makanan, cuaca, dan kuliah.
Intan mengambil buku hariannya,
mencatat peristiwa yang dia alami. Di bagian akhir dia menulis: "Di balik
setiap hati yang terluka, selalu ada kasih yang besar. Semoga hati itu menjadi sembuh,
dan kasih mendatangkan buah yang manis."
Sebelum tidur, Intan mengecup kening
Vina yang sudah terlelap sambil mendengkur pelan.