Selasa, 18 April 2017

Bab 9: Kencan Pertama yang Tak Terlupa


SEJAK malam pertemuan dengan Anton itu, Intan merasakan hadirnya sebuah kehidupan yang baru. Anton sering meneleponnya, atau paling tidak mengiriminya pesan pendek dua atau tiga buah sehari. Hampir tiap pagi dia menerima ucapan selamat pagi dari Anton. Hari-hari Intan diwarnai dengan keceriaan yang membuat semangatnya selalu bergelora. Intan kembali merasakan bahwa apa yang dilakukannya selama ini di Malang tidak sia-sia.
      Intan juga selalu mengamati apa yang di-update Anton di Facebook-nya. Anton terhitung jarang menulis status. Ia lebih suka mem-posting foto-foto yang ada kata-kata inspiratifnya. Dan, Intan selalu mengamati status hubungannya. Sejak pertama kali dikonfirmasi menjadi teman, Anton masih lajang.
      Satu minggu berlalu, malam Minggu datang lagi. Kali ini, Anton mengajak Intan pergi ke sebuah tempat yang dijadikan tongkrongan anak-anak muda di Malang, namanya Pulosari. Di sana banyak sekali warung yang menjual berbagai macam makanan dan minuman. Tempat yang cukup digandrungi anak-anak muda adalah warung-warung yang menjual roti dan pisang bakar. Di sana mereka biasanya mengobrolkan apa saja sampai berjam-jam.
      "Udah pernah ke sini, Tan?" tanya Anton saat memarkirkan motornya.
      "Belum, Mas. Dulu pernah sih, tapi cuma lewat aja," kata Intan.
      Mereka berdua masuk ke sebuah toko di ujung jalan Pulosari. Sudah pukul delapan malam saat mereka tiba. Sudah banyak orang yang datang sebelum mereka di tempat itu. Untunglah mereka menemukan meja kecil dan sepasang kursi yang kosong. Entah siapa yang memulai, saat melihat meja dan kursi itu, mereka berdua saling menatap dan tersenyum.
      "Pesan apa, Tan?" tanya Anton.
      "Hmm...," kata Intan sambil mengamati daftar makanan dan minuman yang ada di depannya. "Aku ikut Mas aja deh."
      "Biasanya aku pesan jagung bakar atau pisang bakar. Aku kurang suka roti bakar. Gimana?"
      "Jagung bakar kelihatannya enak juga," kata Intan sambil melihat orang yang ada di depannya. Orang itu tengah memakan jagung bakarnya dengan lahap.
      "Tapi kurasa kamu perlu nyoba roti bakar juga. Ya... mumpung ke sini. Gimana kalo kita pesan tiga-tiganya, nanti kita nikmati bersama?"
      Intan menundukkan kepalanya. Dia pura-pura memandangi daftar menu, padahal dia baru saja begitu menyukai kata "bersama" yang diucapkan Anton. "Mmm... boleh deh, Mas. Kita coba aja semuanya, ide bagus itu."
      Mereka berdua memilih minuman masing-masing. Anton memilih kopi susu, Intan teh panas. Anton memanggil pelayan, menyerahkan secarik kertas pesanan kepadanya.
      Sambil menunggu pesanan datang, Anton berkata, "Tan, waktu kita panjang nih. Kosmu gak ada batasan waktu harus pulang jam berapa gitu kan?"
Intan menggeleng. "Enggak ada, Mas. Kami masing-masing bawa kunci pintu samping rumah. Bebas mau pulang jam berapa."
"Sip. Jadi kita bisa ngobrol banyak nih," nada bicara Anton tampak bersemangat.
Intan melihat jam dinding yang ada di situ. "Ya... sekitar jam 10 kalau bisa udah pulang, Mas."
Anton membalikkan badannya, melihat jam itu. "Masih ada waktu hampir dua jam, Tan," gumamnya.
"Ya, dua jam, Mas. Semoga kita betah di sini."
"Tan," kata Anton sambil melepas jaketnya. "Aku sih bakal betah. Entahlah kalau kamu."
Intan tersenyum. "Betah kok, Mas," katanya pelan.
"Tan," kata Anton sambil menyatukan kedua tangannya di atas meja. "Gimana ceritanya kamu bisa sampai di Malang?"
"Wah, ceritanya panjang, Mas."
"Ceritakan aja. Aku mau dengar."
Intan bercerita tentang neneknya, tentang kesehariannya waktu SMA, tentang impiannya yang tak terpenuhi kuliah di jurusan Bahasa Indonesia. Dia menceritakan kehidupannya dengan penuh semangat. Anton mendengarkan Intan dengan perhatian penuh. Sesekali Anton menyela, menanyakan hal-hal yang ingin dia ketahui lebih banyak. Hampir 20 menit Intan bercerita tentang dirinya kepada Anton.
"Jadi, kamu ini suka nulis ya, dan setelah tamat SMA rencananya mau masuk Bahasa. Wah, wah... bakal cocok nih kita kelihatannya. Sejak kapan suka nulis?"
"Iya, Mas. Sejak kecil aku memang suka membaca. Waktu SD pernah nulis puisi, dikasih nilai 90. Sejak itu mulai lumayan suka nulis-nulis gitu, tapi enggak teratur, lebih mengandalkan mood."
"Oh gitu. Kalau buku yang kamu baca apa aja?"
"Aku suka baca komik, cerita bergambar, kumpulan cerpen, novel, apa aja...."
Anton mengusap-usap keningnya. "Aku juga suka membaca sejak SMA. Waktu itu sebenarnya aku masuk jurusan IPA, tapi aku enggak betah belajar dalam kelas. Aku mulai sadar aku enggak pandai berhitung. Jadi, aku justru lebih banyak membaca buku cerita daripada buku pelajaran. Untungnya, aku bisa lulus SMA," kata Anton sambil geleng-geleng kepala, mengenang masa lalunya.
"Terus, Mas suka nulis sejak kapan?" tanya Intan.
"Sejak awal kuliah. Gara-garanya, kampusku mengadakan lomba cipta cerpen. Aku iseng mengikutkan satu cerpen lamaku ke lomba itu. Nah, dua bulan kemudian, seorang kawanku menepuk pundakku."
"Terus?" Intan menyimak cerita ini dengan perhatian penuh.
"Kawanku itu menyuruh aku pergi ke rektorat, melihat pengumuman di papan dekat situ. Saat kubaca pengumuman itu, aku langsung mengepalkan tinju. Yes! Ternyata aku mendapat juara ke-2, Tan," kata Anton.
Pesanan mereka datang. Intan sangat menyukai aroma yang menguar dari jagung bakar yang terhidang di depannya. "Masih panas, Mas," katanya setelah pelayan meninggalkan mereka. "Terus gimana, Mas dapat hadiah atau apa dari lomba itu?"
"Hadiahnya enggak seberapa sih, cuma piagam dan uang 150 ribu. Tapi, sejak saat itulah aku enggak pernah berhenti nulis, Tan. Aku nulis apa aja -- cerpen, artikel, ulasan film, sampai ulasan buku."  
"Sudah banyak yang dimuat di majalah atau koran gitu, Mas?"
"Masih sedikit sih. Ada tulisanku yang pernah masuk di koran Jawa Pos dan Sindo. Tapi, aku lebih banyak menulis untuk majalah kampus."
"Oh gitu. Kalau sekarang, Mas lagi sibuk nulis apa?"
Anton mendengus. Dia tampak ragu menyampaikan jawabannya. "Aku sedang nulis novel, Tan."
Intan menyipitkan matanya, menatap wajah Anton. "Serius?"
Anton tersenyum, lalu mengangguk.
Tiba-tiba Intan merasa ingin menggenggam jari-jemari Anton. Dia ingin menyatakan bahwa dia mendukungnya. Dia tahu menulis cerita panjang tidaklah mudah, apalagi bagi seorang mahasiswa. Dan, Intan tak pernah melupakan apa yang dinyatakan Anton kepadanya, "Kalau mau, aku minta kamu jadi pembaca pertamanya," kata Anton.
Intan begitu bersemangat mendengar permintaan itu. Namun, dia menyembunyikan perasaannya. Ia malah berkata, "Mas, aku minum tehku ya?"
"Oh iya. Aku hampir lupa. Yuk, kita makan bareng."
Mereka berdua pun mengomentari makanan yang mereka santap. Intan menyukai jagung bakar, sementara Anton lebih sering menyantap pisang bakarnya. "Lho, Mas, roti bakarnya tidak dimakan?" tanya Intan saat jagung dan pisang bakar mereka sudah makin sedikit.
Anton menggeleng.
"Aku boleh nyicipi ya?"
"Ya, makan aja."
Intan mengambil garpu yang ada di atas roti bakar itu. Dia menusuk sebuah bagian roti bakar yang sudah diiris menjadi empat. "Enak kok, Mas," katanya setelah mencicipi seiris roti bakar itu. 
Anton mengambil garpu yang diletakkan Intan di atas roti bakar itu dengan agak malas. "Ya deh, sekali-sekali aku nyicipi juga," katanya.
Intan dan Anton kemudian sama-sama menghabiskan jagung dan pisang bakar mereka. "Tan, roti bakarnya masih banyak. Kamu habisin ya?"
Intan agak terkejut melihat tangan Anton yang mengambil garpu, lalu menusuk sebuah irisan roti bakar. Anton memegang garpu yang di bagian ujungnya sudah ada roti bakarnya. "Mas," kata Intan ragu-ragu.
"Enggak apa-apa kok, Tan," kata Anton setengah berbisik.
Intan sempat melihat sekelilingnya. Tidak ada orang yang memperhatikan mereka. Dia pun membuka mulutnya, lalu Anton menyuapinya.
"Ih, Mas Anton nih ada-ada aja deh," kata Intan setelah selesai mengunyah dan menelan irisan roti itu.
"Tan, masih ada satu nih. Sekali lagi ya?"
Cara Anton melakukan hal ini sama sekali tak membuat Intan tersinggung. Intan bisa mengetahui hal ini dari senyum Anton. Dia tak merasa direndahkan atau dianggap rakus. Entahlah, Intan susah menjelaskan apa yang dia rasakan. Hati kecilnya berkata bahwa dia menyukai momen ini. Dia pun sekali lagi membuka mulutnya.
Setelah makan, waktu menunjukkan pukul 20.50. Intan dan Anton masih melanjutkan obrolan mereka. Intan sempat ingin menanyakan apakah Anton mengenal Vina atau tidak, namun dia memutuskan untuk menunda pertanyaan itu. Intan juga sudah menemukan cerpennya yang minggu lalu terselip di tumpukan diktat kuliahnya, namun masih ragu untuk memberitahukannya kepada Anton.
Pukul 21.30, Anton mengajak Intan jalan-jalan. "Kita cari suasana baru yuk, Tan. Keliling-keliling kota."
"Betul, Mas. Aku juga udah mulai enggak betah duduk nih," kata Intan.
Anton membayar makanan dan minuman yang mereka santap malam itu. Mereka berdua kemudian berjalan-jalan di jalan Ijen yang penuh bunga, alun-alun, Tugu, dan beberapa tempat lainnya di kota Malang. Suasana malam itu begitu menyenangkan. Langit tampak cerah walau masih ada beberapa awan tipis yang berarak di langit. Di belakang motor, Intan begitu bahagia bisa menghirup udara Malang yang dingin sambil mengobrol dengan Anton meskipun dengan setengah berteriak. Intan berjanji akan membuat catatan atau puisi malam ini. Baginya, ini salah satu malam yang terindah semenjak kali pertama dia menginjakkan kaki di kota Malang.
Saat sampai di depan rumah kos, Intan pun akhirnya memutuskan mengambil cerpen yang sejak tadi dibawanya di dalam tasnya. "Mas, cerpen ini baru kubuat beberapa minggu lalu. Kurasa enggak sebaik karangan Mas. Tapi, kalau sempat tolong dibaca ya, Mas. Kalau ada kritikan atau masukan, aku akan senang sekali," kata Intan.
Anton melepas helmnya, membaca sekilas apa yang diterimanya. "Wah, kamu ternyata sudah bikin satu cerpen baru, Tan! Kelihatannya tulisanmu ini udah rapi," kata Anton. Dia tampak takjub menerima beberapa lembar kertas itu.
"Ya dibaca dulu, Mas, siapa tahu ada banyak kekurangannya," kata Intan.
Anton menatap Intan beberapa detik. Tatapan itu membuat Intan terbuai sekaligus takut. Hati kecilnya menduga Anton akan meraih tangannya, atau memeluknya, atau mungkin mencium keningnya. Intan masih belum siap dengan semua ini. Dia pun menundukkan kepalanya, mundur selangkah, dan berdeham. "Oh ya, Mas, tadi ada pembicaraan kita yang mungkin terlewatkan," katanya.
"Apa ya?" tanya Anton sambil mengerutkan dahi.
"Tentang novelmu. Aku tunggu novelmu ya, Mas."
"Oh... iya. Mungkin masih agak lama, sekitar 2-3 bulan lagi baru selesai. Ini masih baru halam 20 dari total 150 atau 160 halaman."
"Wah, panjang juga ya?"
Anton mengangguk. "Namanya juga novel. Menulis novel, buat aku adalah cara untuk menaklukkan kemalasan dan berfokus pada sebuah target."
Malam makin dingin. Intan ingin malam ini menjadi malam yang panjang. Namun, dia menyadari bahwa malam yang sempurna dan dingin seperti ini hanya akan membawa mereka berdua pada cumbu rayu yang tak bisa dihentikan. Intan merasa, inilah waktu yang tepat untuk berpisah. "Mas, makasih banyak buat malam ini," kata Intan dengan lirih.
"Sama-sama, Tan."
Intan tak bisa menolak tangan Anton yang tiba-tiba menggenggam tangannya. "Mas?" kata Intan sambil melihat wajah Anton yang amat dekat dengan wajahnya.
"Tan, kamu...." Anton seperti kehilangan kata-katanya. "Kamu memiliki mata yang indah. Kamu manis, Tan."
Intan begitu lega karena Anton tidak mencium wajahnya atau memeluknya. Jauh dalam hatinya, Intan pun sebenarnya ingin memberikan pria ini sebentuk pelukan atau kecupan di keningnya. Namun, semuanya akan terlalu cepat bila dilakukan malam ini.
Anton memasangkan helmnya, menyalakan mesin motornya. Intan terus berdiri di depan rumah kosnya hingga sosok Anton sudah tak tampak lagi. Suara mesin motor itu pun lenyap.
Selama beberapa saat, jalan di depan rumah kos Intan tampak begitu lengang. Intan menatap langit yang begitu bersih selama beberapa detik.
Sebelum tidur, Intan menerima pesan pendek dari Anton. Pesan itu membuatnya tak bisa tidur hingga jam 2 malam:

Senyummu seperti sunrise, menghadirkan kedamaian.
Binar matamu seperti sunset, meninggalkan kenangan.

Senin, 10 April 2017

Bab 8: Pertemuan Pertama

INTAN begitu senang membaca pesan di Facebook-nya ketika dia pergi ke warnet lagi: "Sori agak lama balas pesanmu. Kalau kamu ada waktu, mungkin kita bisa ketemuan, ngobrol-ngobrol soal Singkawang. Saya suka dengan kota itu."
Kata-kata yang ditulis Anton seketika mendatangkan kelegaan di hatinya. Dia tahu maksud kata "ketemuan" itu, tapi dia menulis begini: "Boleh, Mas. Kalau mau tanya-tanya Singkawang atau Pontianak silahkan. Kirim pesan aja, Mas, nanti saya balas," tulisnya.
Intan menunggu jawaban. Tiga menit kemudian, pesan balasan masuk. "Maksud saya, kapan bisa ngobrol, jumpa darat?"
"Oh gitu... kontak-kontak aja, Mas," balas Intan. Intan mengetikkan kata-kata itu sambil tersenyum lebar.
"Gimana kalo kita ketemuan dua hari lagi, hari Sabtu?"
"Sabtu ini ya? Mmm... bisa kok, Mas. Tapi aku bisanya malam, di atas jam 8."
"Gpp. Paling 1-2 jam aja ngobrol-ngobrol. Kita ketemuan di mana nih?"
Intan mulai bimbang, di mana harus menentukan tempat: di rumah kosnya, di tempat kerjanya, di depan kampusnya, atau di tempat lainnya? "Terserah Mas deh, mau di mana aja enggak apa-apa," tulis Intan.
"Oh gitu. Ya... gini aja. Aku minta nomor hape-mu ya. Nanti kita bahas lagi di mana kita ketemuan. Nanti kutelepon."
Intan pun mengetikkan nomor ponselnya. Satu menit setelah itu, ia mendapatkan panggilan terputus. Tak lama kemudian, muncul lagi pesan di Facebook, "Yang barusan misscall itu aku :-)," tulis Anton.
Intan tak membalas pesan itu, dia melangkah pulang. Dia merasa langkah-langkahnya terayun dengan cara yang lain. Hatinya terasa begitu ringan, mungkin seperti sehelai daun kering kerontang yang terbang terbawa angin. Daun itu kemudian mendarat dengan lembut di sebuah danau yang berair tenang. Tenggelam dalam kesejukan yang membasuh semua kekeringan yang selama ini dideritanya.
Namun, ketika sampai di kamarnya, dia kembali mengingat apa yang dinyatakan Vina: "Cowok memang brengsek semua!"
Ponsel Intan bergetar, ada pesan pendek masuk. "Halo, mksh udah chatting dgn aku ya," tulis Anton.
Intan merasa tak perlu membalas pesan itu. Ia duduk sendirian di depan rumah kosnya. Benaknya diliputi kesunyian yang mendalam. Intan bersyukur merasakan cinta yang datang dengan begitu hening. Rembulan separuh tertutup awan, bintang-bintang hanya sedikit yang tampak. Namun, hatinya tak semendung pemandangan langit malam ini, tapi secerah fajar yang akan disambutnya esok hari.

JUMAT -- seharian ini Intan senyum-senyum sendiri. Beberapa kawannya di kampus menggodanya. Feny yang pada hari ini satu jam kerja dengannya juga sempat bertanya, "Ada apa, Tan? Kamu kelihatan aneh banget, dari tadi senyum-senyum terus?"
"Kamu ini ada-ada aja, Fen, Fen.... Orang cuma senyum kok enggak boleh," kata Intan.
"Tapi, beda banget lho dengan yang kemarin-kemarin. Memangnya ada apa sih?"
Intan menatap wajah Feny. "Masa sih aku kelihatan beda?"
"Yeee... ditanya malah balik nanya. Gimana sih, Tan? Kamu...," kata Feny sambil menggerakkan telunjuknya ke arah Intan, hendak menebak apa yang Intan alami, "lagi jatuh cinta ya?"
"Iiihhh... cinta?" Intan menyatakan itu dengan begitu cepat dan spontan. "Cinta dari mana? Dari Hongkong kaleee.... Orang aku ini sibuk kuliah, kerja, kuliah, kerja, gimana mau cinta-cintaan?"
"Ya... siapa tahu aja kamu lagi ngalami. Cerita dong, Tan. Kan aku penasaran," kata Feny.
"Ntar deh, pasti aku cerita. Tapi enggak hari ini," kata Intan sambil mengedipkan satu matanya dan tersenyum. 
"Ih, dasar genit! Janji lho ya, cerita!"
"Mmmuach," kata Intan kepada Feny.
Feny menggeleng-gelengkan kepalanya. "Oh dunia, dunia.... Apa dosa hamba sehingga teman saya jadi aneh kayak gini?" katanya setengah berteriak.
"Hus! Jangan rame-rame!" kata Intan.
Saat mereka tengah bercanda, sebuah pesan masuk di ponsel Intan. "Halo, tan. Bsk gmn? Bs kutemui di kosmu?"
Intan segera membalas pesan itu, "Halo, mas, blh kok. Tp aku baru ada di kos jam stgh 9 mlm lho. Gmn?"
"Gpp. Kalo kamu capek ya nanti aku sbntr aja di sana."
Intan memberikan alamat rumah kosnya. Anton menulis pesan besok akan meneleponnya bila sudah mau berangkat ke rumahnya. Intan senyum-senyum sendiri membaca pesan itu. Tak disadarinya, sebuah spidol kecil mendarat di kepalanya.
"Cieee... yang lagi kasmaran!" kata Feny.
"Apaan sih, Fen?!"

INTAN mematut dirinya di depan cermin hampir setengah jam. Tak pernah dia sampai sebegitu lama bercermin seperti ini. Dia bimbang harus menambahkan riasan apa pada wajahnya, ada saja yang dirasakannya kurang beres. Dia juga bingung harus mengenakan baju apa. Akhirnya dia menghapus semua riasan itu, menampilkan diri tanpa riasan apa pun. "Mungkin Anton lebih menyukai wanita yang tampil alami," bisiknya sambil tersenyum genit di depan cermin. Malam itu Intan mengenakan baju putih bergambar Helo Kitty dan celana selutut berwarna cokelat muda.
Ponselnya berdering, panggilan dari Anton masuk. Intan menarik napas panjang sebelum mengangkatnya. "Iya, Mas. Halo...."
"Halo, Tan. Lagi apa nih?"
"Aku... baru aja sampai, Mas. Ini lagi tiduran aja kok. Mas udah di mana?"
"Ini aku udah mau berangkat. Kalau dari pom bensin yang ada di jalan Bandung itu, rumah kosmu di mananya?"
"Di belakangnya, Mas. Nanti di situ ada jalan Pekalongan. Alamatku masih disimpan kan?"
"Oh... daerah situ. Ya, ya... aku ngerti. Sepuluh menit lagi aku sampai di sana."
"Oke, Mas. Kutunggu ya...."
"Oke, Tan."
Sepuluh menit kemudian Anton tiba di rumah Intan. Dia mengabari Intan lewat pesan pendek. Intan keluar dari kamarnya. Intan kaget ketika melihat Vina juga keluar dari kamar. "Lho, Mbak, kukira pergi," kata Intan.
"Enggak kok," kata Vina sambil menguap. "Aku ketiduran dari tadi sore."
"Oh gitu," kata Intan. "Aku ke depan sebentar ya."
Vina menyipitkan matanya. "Tumben," katanya dengan nada bicara yang keheranan, "malam ini kamu kelihatan rapi."
"Masa sih, Mbak?" kata Intan.
"Iya. Kamu kelihatan cantik malam ini. Kelihatan lebih ceria gitu deh. Beda dari malam-malam yang lalu. Sungguh."
Intan melambaikan tangannya. "Aku udah ditunggu. Ntar kuceritain, Mbak," kata Intan sambil menuju ke depan rumah.
Vina mengerutkan keningnya. Dia mengucapkan gumaman yang tak didengar oleh Intan.
Intan menarik napas panjang sebelum membuka pintu rumah kosnya. Ketika dia membuka pintu, dia melihat pria itu. Anton masih mengenakan helm, berdiri di samping motornya. Intan menyapanya, "Halo, Mas Anton."
Anton menoleh, melihat Intan yang menyambutnya. Dia sempat memandangi wajah gadis itu beberapa detik sebelum berkata, "Halo, Intan."
"Mas, duduk-duduk dulu yuk di teras," kata Intan.
Anton melepas helmnya, memasuki halaman depan rumah itu. "Suasana di sini enak ya?" katanya sambil duduk di kursi.
"Iya, Mas. Enggak terlalu ramai di sini. Suasananya tenang," kata Intan sambil duduk di kursi.
"Gimana, capek hari ini?" tanya Anton.
"Enggak juga. Hari ini aku enggak kuliah. Cuma dari tadi sore sampai malam aku kerja," kata Intan.
"Kamu kerja? Kerja apa?"
Intan bercerita tentang kesehariannya. Dan dia pun mendapat ide untuk memulai sebuah pembicaraan yang romantis. "Jadi, tiap hari aku memfotokopi banyak kertas. Tapi, suatu hari aku memfotokopi kertas yang lain daripada yang lain," kata Intan.
"Apa itu, Tan?"
"Sebuah cerpen," katanya sambil tertunduk beberapa saat.
Anton tampak agak terkejut. "Suatu Senja di Khatulistiwa?"
Intan mengangguk dengan mantap.
"Siapa yang membawanya ke toko fotokopimu itu, Tan?" tanya Anton.
"Nah, itu dia, Mas. Di kertas itu tertulis, penulisnya adalah seorang pria bernama Hendra. Kertas itu ditinggal di toko fotokopi, fotokopiannya diambil keesokan harinya." Intan berhenti sebentar, berpikir untuk melanjutkan kata-katanya. "Dan, suatu hari aku cari judul cerpen itu di google. Eh, ternyata yang menulis orangnya lain."
"Lho, kok bisa begitu ya?"
Intan mengangkat kedua bahunya. "Entahlah, Mas."
"Terus, kamu sempat bertemu dengan si Hendra itu?"
Wajah Intan berubah, dari yang tadinya tersenyum-senyum, sekarang serius. "Enggak sempat, Mas. Aku enggak ketemu orangnya. Kertasnya diambil waktu aku lagi kuliah."
Anton menghembuskan napas panjang. "Ternyata, ada juga orang yang menyukai cerpenku itu sampai mengaku-ngaku sebagai penulisnya," kata Anton.
Suasana menjadi hening beberapa saat. Perlahan tapi pasti, Intan merasakan ada kemesraan yang merayap di udara. Baginya, sosok Anton begitu menyenangkan buat diajak bicara.
"Mas," Intan hendak menceritakan kalau dia mengarang sebuah cerpen juga, tapi rasanya terlalu cepat, "aku mau tanya, kalo Mas menulis biasanya gimana?"
"Gimana?" kata Anton sambil mengerutkan kening. "Maksudnya gimana yang gimana?"
"Emm... maksudnya, nulisnya malam atau siang, sebulan atau seminggu nulis berapa cerita, atau yang lainnya gitu deh. Pengen tahu gimana kebiasaan atau proses... apa itu istilah yang biasanya disebut dalam membuat karya?"
"Proses kreatif?"
"Ya, itu maksudku. Gimana proses kreatif Mas Anton?"
Anton bersandar lebih rileks di kursi. "Yah... kalo aku sih sederhana aja. Ada ide, aku langsung nulis. Kalau enggak ada... enggak kupaksakan. Yang jelas, aku sendiri berusaha mencari dan menemukan ide. Jadi, tiap minggu paling enggak ada yang kutulis. Aku suka nulis apa aja, enggak melulu cerpen."
"Iya, Mas. Aku sempat baca puisi dan artikel-artikel Mas."
Anton mengangguk-angguk sambil tersenyum. "Di catatan FB?"
Intan mengangguk.
"Contoh puisi atau artikel yang kamu baca apa?"
Intan memejamkan matanya, pura-pura tengah mengingat sesuatu. Padahal, dia hapal dengan beberapa buah puisi pendek Anton.
Intan ingin menceritakan kepada Anton bahwa dia baru saja menulis cerpen, tapi niat itu kembali dia urungkan. Akhirnya, dia menyadari sesuatu. "Mas, mau kubuatkan teh panas? Aku kelupaan lho, Mas, sori banget. Dari tadi kita asyik ngobrol."
"Kelihatannya asyik juga minum teh. Boleh, boleh," kata Anton.
"Tunggu sebentar ya, Mas. Paling lama 10 menit waktunya," kata Intan sambil bangkit dri tempat duduknya.
Intan masuk ke dalam rumah kos, menuju ke dapur. Di dapur dia memasak air setengah liter untuk membuat dua gelas teh. Intan menuju ke kamarnya, membiarkan air itu mendidih sekitar 3-4 menit lagi. Dia hendak mengambil cerpen yang dibuatnya. Saat hendak membuka pintu kamar, Vina muncul dari depan kamarnya.
"Tan, dapat tamu ya?" tanya Vina.
"Iya nih, Mbak," kata Intan. Ia agak terkejut mendengar sapaan itu.
"Tumben. Siapa nih malam Minggu begini datang. Tamu spesial nih kelihatannya?"
"Ada deh," kata Intan sambil masuk ke dalam kamarnya.
"Hm... asyik, asyik. Cowok kan?" kata Vina sambil melangkah menuju kamar Intan.
"Iya. Mau kukenalin, Mbak?" kata Intan dengan setengah berteriak.
"Enggak enak ah. Ntar ngganggu kalian yang lagi asyik."
Intan tampak sibuk mengobrak-abrik beberapa tumpukan kertas. Tampaknya dia tak mendengar kata-kata Vina yang terakhir. Dia teringat sesuatu. "Eh, airnya udah masak," kata Intan.
Vina mengikuti Intan ke dapur. Dia membantu menyiapkan gelas. "Tan, kenalan di mana tuh sama dia?" tanya Vina.
"Panjang ceritanya, Mbak. Tapi nanti aku ceritakan," kata Intan.
"Ya udah," kata Vina sambil meletakkan kedua gelas itu di atas nampan. "Enjoy!"
Intan menyambut nampan yang diberikan Vina kepadanya. "Thanks, Mbak," katanya sambil melangkah keluar rumah kos.
Di luar, Anton tampak sedang mengirim pesan pendek kepada seseorang. "Mas, lama ya nunggunya?" tanya Intan.
"Ah, enggak kok," kata Anton sambil melihat jam.
Intan mengamati asap yang keluar dari dua gelas teh itu, meliuk-liuk di udara, persis seperti hatinya -- meliuk senang, meliuk kecewa. Ya, Intan kecewa selama beberapa saat karena tidak menyiapkan cerpennya sebelum bertemu Anton. "Mas, gimana? Masih penasaran dengan Singkawang atau Pontianak?"
Anton yang baru saja mengambil gelas tehnya mengurungkan niat untuk menyeruputnya. "Iya, Tan. Lumayan penasaran. Banyak yang ingin kupelajari lagi soal kota-kota itu, masyarakatnya, budayanya," katanya.
"Oh ya? Kenapa Mas begitu tertarik?"
"Gini, Tan... aku dipengaruhi oleh puisi seorang penyair Prancis, namanya Arthur Rimbaud. Suatu ketika dia pernah menulis puisi tentang petualangannya. Saat penyair ini berusia dua puluhan tahun, dia tergila-gila berkelana ke mana-mana, hingga ia akhirnya meninggal di Marseille pada tahun 1891."
Intan suka sekali mendengar cerita ini. "Lalu, gimana kelanjutannya, Mas?"
"Nah, Arthur Rimbaud pernah nyasar ke Indonesia!" kata Anton dengan bersemangat.
"Nyasar? Maksudnya, mampir ke sini?"
"Ya, begitulah. Apa yang mendorong dia ke Indonesia hingga kini masih samar-samar. Diduga, dia mendengar cerita-cerita tentang Hindia-Belanda waktu bekerja sebagai kuli di pelabuhan. Pada tahun 1876, waktu dia sampai di Indonesia, dia sempat ada di Jakarta dan di Salatiga. Nah, katanya dia enggak cocok tinggal di tangsi militer. Mungkin jiwanya gundah. Penyair ini tidak betah. Ya, seperti yang kubilang tadi, dia nyasar. Diam-diam dia meninggalkan Indonesia dan kembali ke negerinya, Prancis."
"Wow," kata Intan. "Mas kelihatannya tahu banyak dengan kehidupan dia."
"Enggak juga sih. Itu hanya sepenggal aja, Tan. Yang menarik adalah puisinya. Itu yang sampai sekarang membuat aku suka ke mana-mana."
"Mas hapal kata-katanya?" kata Intan sambil menyipitkan matanya.
Anton mengangguk sambil tersenyum. "Sebagian, tapi itu pun yang terjemahan. Aku enggak bisa bahasa Prancis, Tan."
"Mmm... boleh aku mendengarnya?"
Anton menarik napas panjang. "Perlu ada upaya melihat / upaya melihat dengan menjungkirbalikkan segala makna yang sudah ada / untuk sampai pada yang tak dikenal / hidup sejati yang berada di tempat lain." (*)
Saat Anton selesai mengucapkan puisi itu, pintu samping rumah kos terbuka. Intan dan Anton sama-sama menoleh. Ternyata Vina yang keluar. Dan, Intan menangkap kesan yang lain ketika Anton melihat Vina. Tatapan Anton terhadap Vina sangat tepat bila ditafsirkan sebagai bentuk kekaguman yang sangat besar. Bahkan, Intan sempat melihat mulut Anton ternganga beberapa detik.
Vina tersenyum dan mengangguk kepada sepasang manusia itu. "Silahkan dilanjut," katanya. "Saya mau ke warung depan sebentar, mau beli sabun cuci."
"Mbak, kenalin dong. Ini Anton," kata Intan.
Vina menyalami Anton yang berdiri menyambutnya. "Saya Vina, kakaknya Intan," kata Vina.
"Kakakmu beneran?" tanya Anton kepada Intan.
Intan tertawa kecil. "Kakak ketemu gede, Mas."
"Hehehe... saya cuma guyon kok, Mas. Oke, saya tinggal dulu ya? Silahkan dilanjut ngobrolnya," kata Vina sambil meninggalkan mereka berdua.
Anton kembali duduk. Intan melihat wajah Anton yang tampak sedang memikirkan sesuatu. Intan hendak menanyakan sesuatu kepada Anton, tapi menahannya. Entah kenapa, hatinya diliputi rasa cemburu.
Sebelum Vina kembali, Anton minta izin pulang. "Kita tetap kontak-kontak ya, Tan?"
Intan mengangguk. "Makasih, Mas, udah mau mampir ke rumah malam ini."
"Met istirahat ya, Tan," kata Anton.
"Sampai jumpa lagi, Mas," kata Intan. Sedetik kemudian ia baru sadar telah menyatakan harapannya dengan lebih gamblang.

(*) Puisi ini termuat dalam buku Orang Indonesia dan Orang Prancis dari Abad XVI sampai dengan Abad XX, Bernard Dorleans, terjemahan Parakitri T. Simbolon, KPG, 2006.