SEJAK malam pertemuan dengan Anton itu,
Intan merasakan hadirnya sebuah kehidupan yang baru. Anton sering meneleponnya,
atau paling tidak mengiriminya pesan pendek dua atau tiga buah sehari. Hampir
tiap pagi dia menerima ucapan selamat pagi dari Anton. Hari-hari Intan diwarnai
dengan keceriaan yang membuat semangatnya selalu bergelora. Intan kembali merasakan
bahwa apa yang dilakukannya selama ini di Malang tidak sia-sia.
Intan juga selalu mengamati apa yang di-update Anton di Facebook-nya. Anton
terhitung jarang menulis status. Ia lebih suka mem-posting foto-foto yang ada kata-kata inspiratifnya. Dan, Intan
selalu mengamati status hubungannya. Sejak pertama kali dikonfirmasi menjadi
teman, Anton masih lajang.
Satu minggu berlalu, malam Minggu datang
lagi. Kali ini, Anton mengajak Intan pergi ke sebuah tempat yang dijadikan
tongkrongan anak-anak muda di Malang, namanya Pulosari. Di sana banyak sekali
warung yang menjual berbagai macam makanan dan minuman. Tempat yang cukup
digandrungi anak-anak muda adalah warung-warung yang menjual roti dan pisang
bakar. Di sana mereka biasanya mengobrolkan apa saja sampai berjam-jam.
"Udah pernah ke sini, Tan?"
tanya Anton saat memarkirkan motornya.
"Belum, Mas. Dulu pernah sih, tapi cuma
lewat aja," kata Intan.
Mereka berdua masuk ke sebuah toko di
ujung jalan Pulosari. Sudah pukul delapan malam saat mereka tiba. Sudah banyak
orang yang datang sebelum mereka di tempat itu. Untunglah mereka menemukan meja
kecil dan sepasang kursi yang kosong. Entah siapa yang memulai, saat melihat
meja dan kursi itu, mereka berdua saling menatap dan tersenyum.
"Pesan apa, Tan?" tanya Anton.
"Hmm...," kata Intan sambil
mengamati daftar makanan dan minuman yang ada di depannya. "Aku ikut Mas
aja deh."
"Biasanya aku pesan jagung bakar atau
pisang bakar. Aku kurang suka roti bakar. Gimana?"
"Jagung bakar kelihatannya enak
juga," kata Intan sambil melihat orang yang ada di depannya. Orang itu
tengah memakan jagung bakarnya dengan lahap.
"Tapi kurasa kamu perlu nyoba roti
bakar juga. Ya... mumpung ke sini. Gimana kalo kita pesan tiga-tiganya, nanti kita
nikmati bersama?"
Intan menundukkan kepalanya. Dia pura-pura
memandangi daftar menu, padahal dia baru saja begitu menyukai kata
"bersama" yang diucapkan Anton. "Mmm... boleh deh, Mas. Kita
coba aja semuanya, ide bagus itu."
Mereka berdua memilih minuman
masing-masing. Anton memilih kopi susu, Intan teh panas. Anton memanggil
pelayan, menyerahkan secarik kertas pesanan kepadanya.
Sambil menunggu pesanan datang, Anton
berkata, "Tan, waktu kita panjang nih. Kosmu gak ada batasan waktu harus
pulang jam berapa gitu kan?"
Intan
menggeleng. "Enggak ada, Mas. Kami masing-masing bawa kunci pintu samping
rumah. Bebas mau pulang jam berapa."
"Sip. Jadi
kita bisa ngobrol banyak nih," nada bicara Anton tampak bersemangat.
Intan melihat
jam dinding yang ada di situ. "Ya... sekitar jam 10 kalau bisa udah
pulang, Mas."
Anton
membalikkan badannya, melihat jam itu. "Masih ada waktu hampir dua jam,
Tan," gumamnya.
"Ya, dua
jam, Mas. Semoga kita betah di sini."
"Tan,"
kata Anton sambil melepas jaketnya. "Aku sih bakal betah. Entahlah kalau
kamu."
Intan tersenyum.
"Betah kok, Mas," katanya pelan.
"Tan,"
kata Anton sambil menyatukan kedua tangannya di atas meja. "Gimana
ceritanya kamu bisa sampai di Malang?"
"Wah,
ceritanya panjang, Mas."
"Ceritakan aja.
Aku mau dengar."
Intan bercerita
tentang neneknya, tentang kesehariannya waktu SMA, tentang impiannya yang tak
terpenuhi kuliah di jurusan Bahasa Indonesia. Dia menceritakan kehidupannya
dengan penuh semangat. Anton mendengarkan Intan dengan perhatian penuh.
Sesekali Anton menyela, menanyakan hal-hal yang ingin dia ketahui lebih banyak.
Hampir 20 menit Intan bercerita tentang dirinya kepada Anton.
"Jadi, kamu
ini suka nulis ya, dan setelah tamat SMA rencananya mau masuk Bahasa. Wah,
wah... bakal cocok nih kita kelihatannya. Sejak kapan suka nulis?"
"Iya, Mas.
Sejak kecil aku memang suka membaca. Waktu SD pernah nulis puisi, dikasih nilai
90. Sejak itu mulai lumayan suka nulis-nulis gitu, tapi enggak teratur, lebih mengandalkan
mood."
"Oh gitu.
Kalau buku yang kamu baca apa aja?"
"Aku suka
baca komik, cerita bergambar, kumpulan cerpen, novel, apa aja...."
Anton
mengusap-usap keningnya. "Aku juga suka membaca sejak SMA. Waktu itu
sebenarnya aku masuk jurusan IPA, tapi aku enggak betah belajar dalam kelas.
Aku mulai sadar aku enggak pandai berhitung. Jadi, aku justru lebih banyak
membaca buku cerita daripada buku pelajaran. Untungnya, aku bisa lulus
SMA," kata Anton sambil geleng-geleng kepala, mengenang masa lalunya.
"Terus, Mas
suka nulis sejak kapan?" tanya Intan.
"Sejak awal
kuliah. Gara-garanya, kampusku mengadakan lomba cipta cerpen. Aku iseng mengikutkan
satu cerpen lamaku ke lomba itu. Nah, dua bulan kemudian, seorang kawanku
menepuk pundakku."
"Terus?"
Intan menyimak cerita ini dengan perhatian penuh.
"Kawanku
itu menyuruh aku pergi ke rektorat, melihat pengumuman di papan dekat situ.
Saat kubaca pengumuman itu, aku langsung mengepalkan tinju. Yes! Ternyata aku
mendapat juara ke-2, Tan," kata Anton.
Pesanan mereka
datang. Intan sangat menyukai aroma yang menguar dari jagung bakar yang
terhidang di depannya. "Masih panas, Mas," katanya setelah pelayan
meninggalkan mereka. "Terus gimana, Mas dapat hadiah atau apa dari lomba
itu?"
"Hadiahnya
enggak seberapa sih, cuma piagam dan uang 150 ribu. Tapi, sejak saat itulah aku
enggak pernah berhenti nulis, Tan. Aku nulis apa aja -- cerpen, artikel, ulasan
film, sampai ulasan buku."
"Sudah
banyak yang dimuat di majalah atau koran gitu, Mas?"
"Masih sedikit
sih. Ada tulisanku yang pernah masuk di koran Jawa Pos dan Sindo. Tapi, aku
lebih banyak menulis untuk majalah kampus."
"Oh gitu. Kalau
sekarang, Mas lagi sibuk nulis apa?"
Anton mendengus.
Dia tampak ragu menyampaikan jawabannya. "Aku sedang nulis novel,
Tan."
Intan menyipitkan
matanya, menatap wajah Anton. "Serius?"
Anton tersenyum,
lalu mengangguk.
Tiba-tiba Intan
merasa ingin menggenggam jari-jemari Anton. Dia ingin menyatakan bahwa dia
mendukungnya. Dia tahu menulis cerita panjang tidaklah mudah, apalagi bagi
seorang mahasiswa. Dan, Intan tak pernah melupakan apa yang dinyatakan Anton
kepadanya, "Kalau mau, aku minta kamu jadi pembaca pertamanya," kata
Anton.
Intan begitu
bersemangat mendengar permintaan itu. Namun, dia menyembunyikan perasaannya. Ia
malah berkata, "Mas, aku minum tehku ya?"
"Oh iya.
Aku hampir lupa. Yuk, kita makan bareng."
Mereka berdua
pun mengomentari makanan yang mereka santap. Intan menyukai jagung bakar,
sementara Anton lebih sering menyantap pisang bakarnya. "Lho, Mas, roti
bakarnya tidak dimakan?" tanya Intan saat jagung dan pisang bakar mereka
sudah makin sedikit.
Anton
menggeleng.
"Aku boleh
nyicipi ya?"
"Ya, makan
aja."
Intan mengambil
garpu yang ada di atas roti bakar itu. Dia menusuk sebuah bagian roti bakar
yang sudah diiris menjadi empat. "Enak kok, Mas," katanya setelah
mencicipi seiris roti bakar itu.
Anton mengambil
garpu yang diletakkan Intan di atas roti bakar itu dengan agak malas. "Ya
deh, sekali-sekali aku nyicipi juga," katanya.
Intan dan Anton
kemudian sama-sama menghabiskan jagung dan pisang bakar mereka. "Tan, roti
bakarnya masih banyak. Kamu habisin ya?"
Intan agak
terkejut melihat tangan Anton yang mengambil garpu, lalu menusuk sebuah irisan
roti bakar. Anton memegang garpu yang di bagian ujungnya sudah ada roti
bakarnya. "Mas," kata Intan ragu-ragu.
"Enggak
apa-apa kok, Tan," kata Anton setengah berbisik.
Intan sempat
melihat sekelilingnya. Tidak ada orang yang memperhatikan mereka. Dia pun
membuka mulutnya, lalu Anton menyuapinya.
"Ih, Mas
Anton nih ada-ada aja deh," kata Intan setelah selesai mengunyah dan
menelan irisan roti itu.
"Tan, masih
ada satu nih. Sekali lagi ya?"
Cara Anton
melakukan hal ini sama sekali tak membuat Intan tersinggung. Intan bisa
mengetahui hal ini dari senyum Anton. Dia tak merasa direndahkan atau dianggap
rakus. Entahlah, Intan susah menjelaskan apa yang dia rasakan. Hati kecilnya
berkata bahwa dia menyukai momen ini. Dia pun sekali lagi membuka mulutnya.
Setelah makan,
waktu menunjukkan pukul 20.50. Intan dan Anton masih melanjutkan obrolan mereka.
Intan sempat ingin menanyakan apakah Anton mengenal Vina atau tidak, namun dia
memutuskan untuk menunda pertanyaan itu. Intan juga sudah menemukan cerpennya
yang minggu lalu terselip di tumpukan diktat kuliahnya, namun masih ragu untuk
memberitahukannya kepada Anton.
Pukul 21.30,
Anton mengajak Intan jalan-jalan. "Kita cari suasana baru yuk, Tan.
Keliling-keliling kota."
"Betul, Mas.
Aku juga udah mulai enggak betah duduk nih," kata Intan.
Anton membayar
makanan dan minuman yang mereka santap malam itu. Mereka berdua kemudian
berjalan-jalan di jalan Ijen yang penuh bunga, alun-alun, Tugu, dan beberapa
tempat lainnya di kota Malang. Suasana malam itu begitu menyenangkan. Langit
tampak cerah walau masih ada beberapa awan tipis yang berarak di langit. Di
belakang motor, Intan begitu bahagia bisa menghirup udara Malang yang dingin
sambil mengobrol dengan Anton meskipun dengan setengah berteriak. Intan
berjanji akan membuat catatan atau puisi malam ini. Baginya, ini salah satu malam
yang terindah semenjak kali pertama dia menginjakkan kaki di kota Malang.
Saat sampai di
depan rumah kos, Intan pun akhirnya memutuskan mengambil cerpen yang sejak tadi
dibawanya di dalam tasnya. "Mas, cerpen ini baru kubuat beberapa minggu
lalu. Kurasa enggak sebaik karangan Mas. Tapi, kalau sempat tolong dibaca ya,
Mas. Kalau ada kritikan atau masukan, aku akan senang sekali," kata Intan.
Anton melepas
helmnya, membaca sekilas apa yang diterimanya. "Wah, kamu ternyata sudah
bikin satu cerpen baru, Tan! Kelihatannya tulisanmu ini udah rapi," kata
Anton. Dia tampak takjub menerima beberapa lembar kertas itu.
"Ya dibaca
dulu, Mas, siapa tahu ada banyak kekurangannya," kata Intan.
Anton menatap
Intan beberapa detik. Tatapan itu membuat Intan terbuai sekaligus takut. Hati
kecilnya menduga Anton akan meraih tangannya, atau memeluknya, atau mungkin
mencium keningnya. Intan masih belum siap dengan semua ini. Dia pun menundukkan
kepalanya, mundur selangkah, dan berdeham. "Oh ya, Mas, tadi ada
pembicaraan kita yang mungkin terlewatkan," katanya.
"Apa
ya?" tanya Anton sambil mengerutkan dahi.
"Tentang
novelmu. Aku tunggu novelmu ya, Mas."
"Oh... iya.
Mungkin masih agak lama, sekitar 2-3 bulan lagi baru selesai. Ini masih baru
halam 20 dari total 150 atau 160 halaman."
"Wah,
panjang juga ya?"
Anton
mengangguk. "Namanya juga novel. Menulis novel, buat aku adalah cara untuk
menaklukkan kemalasan dan berfokus pada sebuah target."
Malam makin
dingin. Intan ingin malam ini menjadi malam yang panjang. Namun, dia menyadari
bahwa malam yang sempurna dan dingin seperti ini hanya akan membawa mereka
berdua pada cumbu rayu yang tak bisa dihentikan. Intan merasa, inilah waktu
yang tepat untuk berpisah. "Mas, makasih banyak buat malam ini," kata
Intan dengan lirih.
"Sama-sama,
Tan."
Intan tak bisa
menolak tangan Anton yang tiba-tiba menggenggam tangannya. "Mas?"
kata Intan sambil melihat wajah Anton yang amat dekat dengan wajahnya.
"Tan,
kamu...." Anton seperti kehilangan kata-katanya. "Kamu memiliki mata
yang indah. Kamu manis, Tan."
Intan begitu
lega karena Anton tidak mencium wajahnya atau memeluknya. Jauh dalam hatinya,
Intan pun sebenarnya ingin memberikan pria ini sebentuk pelukan atau kecupan di
keningnya. Namun, semuanya akan terlalu cepat bila dilakukan malam ini.
Anton
memasangkan helmnya, menyalakan mesin motornya. Intan terus berdiri di depan rumah
kosnya hingga sosok Anton sudah tak tampak lagi. Suara mesin motor itu pun
lenyap.
Selama beberapa
saat, jalan di depan rumah kos Intan tampak begitu lengang. Intan menatap
langit yang begitu bersih selama beberapa detik.
Sebelum tidur,
Intan menerima pesan pendek dari Anton. Pesan itu membuatnya tak bisa tidur hingga
jam 2 malam:
Senyummu seperti sunrise, menghadirkan kedamaian.
Binar matamu seperti sunset, meninggalkan kenangan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah mampir, dan sudi berkomentar.