Selasa, 18 April 2017

Bab 9: Kencan Pertama yang Tak Terlupa


SEJAK malam pertemuan dengan Anton itu, Intan merasakan hadirnya sebuah kehidupan yang baru. Anton sering meneleponnya, atau paling tidak mengiriminya pesan pendek dua atau tiga buah sehari. Hampir tiap pagi dia menerima ucapan selamat pagi dari Anton. Hari-hari Intan diwarnai dengan keceriaan yang membuat semangatnya selalu bergelora. Intan kembali merasakan bahwa apa yang dilakukannya selama ini di Malang tidak sia-sia.
      Intan juga selalu mengamati apa yang di-update Anton di Facebook-nya. Anton terhitung jarang menulis status. Ia lebih suka mem-posting foto-foto yang ada kata-kata inspiratifnya. Dan, Intan selalu mengamati status hubungannya. Sejak pertama kali dikonfirmasi menjadi teman, Anton masih lajang.
      Satu minggu berlalu, malam Minggu datang lagi. Kali ini, Anton mengajak Intan pergi ke sebuah tempat yang dijadikan tongkrongan anak-anak muda di Malang, namanya Pulosari. Di sana banyak sekali warung yang menjual berbagai macam makanan dan minuman. Tempat yang cukup digandrungi anak-anak muda adalah warung-warung yang menjual roti dan pisang bakar. Di sana mereka biasanya mengobrolkan apa saja sampai berjam-jam.
      "Udah pernah ke sini, Tan?" tanya Anton saat memarkirkan motornya.
      "Belum, Mas. Dulu pernah sih, tapi cuma lewat aja," kata Intan.
      Mereka berdua masuk ke sebuah toko di ujung jalan Pulosari. Sudah pukul delapan malam saat mereka tiba. Sudah banyak orang yang datang sebelum mereka di tempat itu. Untunglah mereka menemukan meja kecil dan sepasang kursi yang kosong. Entah siapa yang memulai, saat melihat meja dan kursi itu, mereka berdua saling menatap dan tersenyum.
      "Pesan apa, Tan?" tanya Anton.
      "Hmm...," kata Intan sambil mengamati daftar makanan dan minuman yang ada di depannya. "Aku ikut Mas aja deh."
      "Biasanya aku pesan jagung bakar atau pisang bakar. Aku kurang suka roti bakar. Gimana?"
      "Jagung bakar kelihatannya enak juga," kata Intan sambil melihat orang yang ada di depannya. Orang itu tengah memakan jagung bakarnya dengan lahap.
      "Tapi kurasa kamu perlu nyoba roti bakar juga. Ya... mumpung ke sini. Gimana kalo kita pesan tiga-tiganya, nanti kita nikmati bersama?"
      Intan menundukkan kepalanya. Dia pura-pura memandangi daftar menu, padahal dia baru saja begitu menyukai kata "bersama" yang diucapkan Anton. "Mmm... boleh deh, Mas. Kita coba aja semuanya, ide bagus itu."
      Mereka berdua memilih minuman masing-masing. Anton memilih kopi susu, Intan teh panas. Anton memanggil pelayan, menyerahkan secarik kertas pesanan kepadanya.
      Sambil menunggu pesanan datang, Anton berkata, "Tan, waktu kita panjang nih. Kosmu gak ada batasan waktu harus pulang jam berapa gitu kan?"
Intan menggeleng. "Enggak ada, Mas. Kami masing-masing bawa kunci pintu samping rumah. Bebas mau pulang jam berapa."
"Sip. Jadi kita bisa ngobrol banyak nih," nada bicara Anton tampak bersemangat.
Intan melihat jam dinding yang ada di situ. "Ya... sekitar jam 10 kalau bisa udah pulang, Mas."
Anton membalikkan badannya, melihat jam itu. "Masih ada waktu hampir dua jam, Tan," gumamnya.
"Ya, dua jam, Mas. Semoga kita betah di sini."
"Tan," kata Anton sambil melepas jaketnya. "Aku sih bakal betah. Entahlah kalau kamu."
Intan tersenyum. "Betah kok, Mas," katanya pelan.
"Tan," kata Anton sambil menyatukan kedua tangannya di atas meja. "Gimana ceritanya kamu bisa sampai di Malang?"
"Wah, ceritanya panjang, Mas."
"Ceritakan aja. Aku mau dengar."
Intan bercerita tentang neneknya, tentang kesehariannya waktu SMA, tentang impiannya yang tak terpenuhi kuliah di jurusan Bahasa Indonesia. Dia menceritakan kehidupannya dengan penuh semangat. Anton mendengarkan Intan dengan perhatian penuh. Sesekali Anton menyela, menanyakan hal-hal yang ingin dia ketahui lebih banyak. Hampir 20 menit Intan bercerita tentang dirinya kepada Anton.
"Jadi, kamu ini suka nulis ya, dan setelah tamat SMA rencananya mau masuk Bahasa. Wah, wah... bakal cocok nih kita kelihatannya. Sejak kapan suka nulis?"
"Iya, Mas. Sejak kecil aku memang suka membaca. Waktu SD pernah nulis puisi, dikasih nilai 90. Sejak itu mulai lumayan suka nulis-nulis gitu, tapi enggak teratur, lebih mengandalkan mood."
"Oh gitu. Kalau buku yang kamu baca apa aja?"
"Aku suka baca komik, cerita bergambar, kumpulan cerpen, novel, apa aja...."
Anton mengusap-usap keningnya. "Aku juga suka membaca sejak SMA. Waktu itu sebenarnya aku masuk jurusan IPA, tapi aku enggak betah belajar dalam kelas. Aku mulai sadar aku enggak pandai berhitung. Jadi, aku justru lebih banyak membaca buku cerita daripada buku pelajaran. Untungnya, aku bisa lulus SMA," kata Anton sambil geleng-geleng kepala, mengenang masa lalunya.
"Terus, Mas suka nulis sejak kapan?" tanya Intan.
"Sejak awal kuliah. Gara-garanya, kampusku mengadakan lomba cipta cerpen. Aku iseng mengikutkan satu cerpen lamaku ke lomba itu. Nah, dua bulan kemudian, seorang kawanku menepuk pundakku."
"Terus?" Intan menyimak cerita ini dengan perhatian penuh.
"Kawanku itu menyuruh aku pergi ke rektorat, melihat pengumuman di papan dekat situ. Saat kubaca pengumuman itu, aku langsung mengepalkan tinju. Yes! Ternyata aku mendapat juara ke-2, Tan," kata Anton.
Pesanan mereka datang. Intan sangat menyukai aroma yang menguar dari jagung bakar yang terhidang di depannya. "Masih panas, Mas," katanya setelah pelayan meninggalkan mereka. "Terus gimana, Mas dapat hadiah atau apa dari lomba itu?"
"Hadiahnya enggak seberapa sih, cuma piagam dan uang 150 ribu. Tapi, sejak saat itulah aku enggak pernah berhenti nulis, Tan. Aku nulis apa aja -- cerpen, artikel, ulasan film, sampai ulasan buku."  
"Sudah banyak yang dimuat di majalah atau koran gitu, Mas?"
"Masih sedikit sih. Ada tulisanku yang pernah masuk di koran Jawa Pos dan Sindo. Tapi, aku lebih banyak menulis untuk majalah kampus."
"Oh gitu. Kalau sekarang, Mas lagi sibuk nulis apa?"
Anton mendengus. Dia tampak ragu menyampaikan jawabannya. "Aku sedang nulis novel, Tan."
Intan menyipitkan matanya, menatap wajah Anton. "Serius?"
Anton tersenyum, lalu mengangguk.
Tiba-tiba Intan merasa ingin menggenggam jari-jemari Anton. Dia ingin menyatakan bahwa dia mendukungnya. Dia tahu menulis cerita panjang tidaklah mudah, apalagi bagi seorang mahasiswa. Dan, Intan tak pernah melupakan apa yang dinyatakan Anton kepadanya, "Kalau mau, aku minta kamu jadi pembaca pertamanya," kata Anton.
Intan begitu bersemangat mendengar permintaan itu. Namun, dia menyembunyikan perasaannya. Ia malah berkata, "Mas, aku minum tehku ya?"
"Oh iya. Aku hampir lupa. Yuk, kita makan bareng."
Mereka berdua pun mengomentari makanan yang mereka santap. Intan menyukai jagung bakar, sementara Anton lebih sering menyantap pisang bakarnya. "Lho, Mas, roti bakarnya tidak dimakan?" tanya Intan saat jagung dan pisang bakar mereka sudah makin sedikit.
Anton menggeleng.
"Aku boleh nyicipi ya?"
"Ya, makan aja."
Intan mengambil garpu yang ada di atas roti bakar itu. Dia menusuk sebuah bagian roti bakar yang sudah diiris menjadi empat. "Enak kok, Mas," katanya setelah mencicipi seiris roti bakar itu. 
Anton mengambil garpu yang diletakkan Intan di atas roti bakar itu dengan agak malas. "Ya deh, sekali-sekali aku nyicipi juga," katanya.
Intan dan Anton kemudian sama-sama menghabiskan jagung dan pisang bakar mereka. "Tan, roti bakarnya masih banyak. Kamu habisin ya?"
Intan agak terkejut melihat tangan Anton yang mengambil garpu, lalu menusuk sebuah irisan roti bakar. Anton memegang garpu yang di bagian ujungnya sudah ada roti bakarnya. "Mas," kata Intan ragu-ragu.
"Enggak apa-apa kok, Tan," kata Anton setengah berbisik.
Intan sempat melihat sekelilingnya. Tidak ada orang yang memperhatikan mereka. Dia pun membuka mulutnya, lalu Anton menyuapinya.
"Ih, Mas Anton nih ada-ada aja deh," kata Intan setelah selesai mengunyah dan menelan irisan roti itu.
"Tan, masih ada satu nih. Sekali lagi ya?"
Cara Anton melakukan hal ini sama sekali tak membuat Intan tersinggung. Intan bisa mengetahui hal ini dari senyum Anton. Dia tak merasa direndahkan atau dianggap rakus. Entahlah, Intan susah menjelaskan apa yang dia rasakan. Hati kecilnya berkata bahwa dia menyukai momen ini. Dia pun sekali lagi membuka mulutnya.
Setelah makan, waktu menunjukkan pukul 20.50. Intan dan Anton masih melanjutkan obrolan mereka. Intan sempat ingin menanyakan apakah Anton mengenal Vina atau tidak, namun dia memutuskan untuk menunda pertanyaan itu. Intan juga sudah menemukan cerpennya yang minggu lalu terselip di tumpukan diktat kuliahnya, namun masih ragu untuk memberitahukannya kepada Anton.
Pukul 21.30, Anton mengajak Intan jalan-jalan. "Kita cari suasana baru yuk, Tan. Keliling-keliling kota."
"Betul, Mas. Aku juga udah mulai enggak betah duduk nih," kata Intan.
Anton membayar makanan dan minuman yang mereka santap malam itu. Mereka berdua kemudian berjalan-jalan di jalan Ijen yang penuh bunga, alun-alun, Tugu, dan beberapa tempat lainnya di kota Malang. Suasana malam itu begitu menyenangkan. Langit tampak cerah walau masih ada beberapa awan tipis yang berarak di langit. Di belakang motor, Intan begitu bahagia bisa menghirup udara Malang yang dingin sambil mengobrol dengan Anton meskipun dengan setengah berteriak. Intan berjanji akan membuat catatan atau puisi malam ini. Baginya, ini salah satu malam yang terindah semenjak kali pertama dia menginjakkan kaki di kota Malang.
Saat sampai di depan rumah kos, Intan pun akhirnya memutuskan mengambil cerpen yang sejak tadi dibawanya di dalam tasnya. "Mas, cerpen ini baru kubuat beberapa minggu lalu. Kurasa enggak sebaik karangan Mas. Tapi, kalau sempat tolong dibaca ya, Mas. Kalau ada kritikan atau masukan, aku akan senang sekali," kata Intan.
Anton melepas helmnya, membaca sekilas apa yang diterimanya. "Wah, kamu ternyata sudah bikin satu cerpen baru, Tan! Kelihatannya tulisanmu ini udah rapi," kata Anton. Dia tampak takjub menerima beberapa lembar kertas itu.
"Ya dibaca dulu, Mas, siapa tahu ada banyak kekurangannya," kata Intan.
Anton menatap Intan beberapa detik. Tatapan itu membuat Intan terbuai sekaligus takut. Hati kecilnya menduga Anton akan meraih tangannya, atau memeluknya, atau mungkin mencium keningnya. Intan masih belum siap dengan semua ini. Dia pun menundukkan kepalanya, mundur selangkah, dan berdeham. "Oh ya, Mas, tadi ada pembicaraan kita yang mungkin terlewatkan," katanya.
"Apa ya?" tanya Anton sambil mengerutkan dahi.
"Tentang novelmu. Aku tunggu novelmu ya, Mas."
"Oh... iya. Mungkin masih agak lama, sekitar 2-3 bulan lagi baru selesai. Ini masih baru halam 20 dari total 150 atau 160 halaman."
"Wah, panjang juga ya?"
Anton mengangguk. "Namanya juga novel. Menulis novel, buat aku adalah cara untuk menaklukkan kemalasan dan berfokus pada sebuah target."
Malam makin dingin. Intan ingin malam ini menjadi malam yang panjang. Namun, dia menyadari bahwa malam yang sempurna dan dingin seperti ini hanya akan membawa mereka berdua pada cumbu rayu yang tak bisa dihentikan. Intan merasa, inilah waktu yang tepat untuk berpisah. "Mas, makasih banyak buat malam ini," kata Intan dengan lirih.
"Sama-sama, Tan."
Intan tak bisa menolak tangan Anton yang tiba-tiba menggenggam tangannya. "Mas?" kata Intan sambil melihat wajah Anton yang amat dekat dengan wajahnya.
"Tan, kamu...." Anton seperti kehilangan kata-katanya. "Kamu memiliki mata yang indah. Kamu manis, Tan."
Intan begitu lega karena Anton tidak mencium wajahnya atau memeluknya. Jauh dalam hatinya, Intan pun sebenarnya ingin memberikan pria ini sebentuk pelukan atau kecupan di keningnya. Namun, semuanya akan terlalu cepat bila dilakukan malam ini.
Anton memasangkan helmnya, menyalakan mesin motornya. Intan terus berdiri di depan rumah kosnya hingga sosok Anton sudah tak tampak lagi. Suara mesin motor itu pun lenyap.
Selama beberapa saat, jalan di depan rumah kos Intan tampak begitu lengang. Intan menatap langit yang begitu bersih selama beberapa detik.
Sebelum tidur, Intan menerima pesan pendek dari Anton. Pesan itu membuatnya tak bisa tidur hingga jam 2 malam:

Senyummu seperti sunrise, menghadirkan kedamaian.
Binar matamu seperti sunset, meninggalkan kenangan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah mampir, dan sudi berkomentar.