Senin, 30 Januari 2017

Bab 3: Kencan Pertama

SEBENARNYA Intan ingin sekali diajak keluar. Tapi, dia seperti ditahan oleh kata hatinya untuk tidak langsung mengiyakan ajakan itu. Intan mengatakan kepada Hendra bahwa dia banyak tugas kuliah. Intan selalu menjaga dirinya agar tak memberi perhatian duluan lewat pesan pendek atau telepon. Namun, Hendra selalu mengirim pesan pendek kepada Intan tiap pagi dan malam. Kadangkala, siang hari dia menelepon Intan. Dia juga beberapa kali mampir ke toko fotokopi Intan.
"Mas Yudi kenal sama Mas Hendra?" tanya Intan pada suatu siang.
Mas Yudi tampak terkejut mendengar pertanyaan itu. "Memangnya kenapa, Tan?"
Intan pun terkejut, Mas Yudi malah balik bertanya. "Saya kira Mas Yudi kenal."
"Pelanggan kita cukup banyak, Tan. Mas sendiri lupa... Hendra itu yang mana," katanya.
 Intan kemudian minta izin agar besok, hari Sabtu, dia kerja pagi, tukar jam dengan seorang karyawan lainnya. Dia juga bercerita bahwa Hendra mengajaknya keluar.
"Jadi, kencan nih ceritanya?" tanya Mas Yudi dengan nada menggoda.
"Ah, Mas ini," kata Intan dengan malu-malu. "Ya... bisa dibilang gitu sih. Tapi, enggak juga kali ya? Ya... hitung-hitung biar saya enggak di kamar kos terus."
"Kencan juga enggak apa-apa kok, Tan," kata Mas Yudi. "Siapa tahu cocok."
"Ah, kenal juga baru aja, Mas. Itu pun enggak sengaja," kata Intan. Intan kemudian menceritakan bagaimana dia bisa mengenal Hendra di toko fotokopi itu. Selama ini Intan memang kadang menceritakan beberapa hal kepada Mas Yudi karena Mas Yudi sudah dia anggap sebagai pamannya sendiri.
"Ya, dijalani aja dulu. Biar waktu yang berbicara untuk setiap kebimbanganmu. Betul enggak?" kata Mas Yudi dengan nada bicara yang mirip orang baca puisi.
"Ceile...," kata Intan. "Kok Mas Yudi yang jadi aneh?"
Mereka berdua tertawa renyah bersama.

"JADI, nanti malam bisa?" tanya Hendra di telepon.
"Ya, nanti malam aku tunggu di kos. Jam berapa mau jemput aku, Mas?"
"Jam 5 sore gimana?"
"Kok sore? Memangnya mau ke mana?"
"Ke Batu. Kamu udah pernah ke sana? Di sana ada tempat favoritku, tempat nongkrongku. Aku sering ke sana kalau mau malam. Pemandangannya indah. Ikut aja, kamu pasti suka," kata Hendra.
Intan terdiam selama beberapa detik. Dia sungguh penasaran dengan tempat itu. "Oh gitu. Ya udah, aku tunggu jam 5 ya, Mas."
Sepanjang siang hingga sore Intan digodai terus oleh Feny dan Mas Yudi. Intan tak dapat menyembunyikan kebahagiaan yang terpancar dari wajahnya. "Tan, di Batu suasananya adem lho. Jangan lupa pakai jaket," kata Mas Yudi.
"Memangnya Batu dari sini jauh ya?"
"Lumayan," kata Feny. "Ya... sekitar setengah jam kalau enggak macet. Oh ya, jangan lupa cari yang anget-anget lho di sana."
"Hus, kamu itu kalo ngomong mbok ya jangan ngawur," kata Intan setengah membentak. Sekarang dia sudah bisa sedikit-sedikit menirukan cara bicara orang Malang.
"Maksudku yang anget itu ya makanan anget, minuman anget. Gitu lho. Kamu itu mesti mikirnya yang aneh-aneh."
Intan meninggalkan toko fotokopi pada pukul 3 sore. Di kamar kos dia membayangkan apa yang nanti bakal terjadi. Seumur hidupnya, dia baru dua kali melakukan kencan, waktu SMA dulu. Dua-duanya kurang menarik karena pria yang mengajaknya kencan terlalu banyak bicara dan suka tertawa untuk hal-hal yang bagi Intan tidak lucu. Malam ini dia akan bertemu dengan seorang pria yang romantis. Romantis, tapi masih misterius. Hendra pernah bercerita lewat telepon bahwa dia masih sendiri, belum punya kekasih. Intan sempat bahagia mendengarnya, tapi masih ragu untuk mempercayai hal itu sepenuhnya.
Intan bersiap-siap untuk kencan pertamanya bersama Hendra. Dia sempat bingung memilih baju yang pantas dikenakan. Pukul setengah 5, dia sudah siap. Dia berkali-kali memandangi ponselnya yang tak kunjung bergetar.
Pesan pendek yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba. "10 mnt lg aku sampai di kosmu. Tgu ya... :-)"
Intan menunggu Hendra di teras depan rumah kosnya. Beberapa kali Intan melirik jam di ponselnya. Sudah jam 5 lebih beberapa menit.
Hendra datang jam 5 lebih 5 menit.

INTAN berharap malam ini merasakan kebahagiaan yang besar. Sepanjang perjalanan, Hendra tak banyak bicara. Hawa terasa agak sejuk, jalanan tak begitu macet.
"Kita mau ke mana, Mas?"
"Kita mau ke Payung. Di sana banyak warung yang jualan jagung sama roti bakar. Beberapa warung di situ ada yang asyik banget, dari situ kita bisa melihat pemandangan yang indah."
Jalan menuju ke Payung berbelok-belok dan mendaki. Sepanjang perjalanan Intan terkesima dengan pemandangan yang dilihatnya. Baru pertama kali dia melihat pemandangan di kaki bukit seperti ini dalam hidupnya.
Hendra menghentikan sepeda motornya di sebuah warung. Di warung lesehan itu, pemandangan tampak begitu luas dan indah. Hendra bercerita dia sering ke warung ini. "Dari sini tampak kota Batu, Singosari, hingga gunung Arjuna... yang ada di ujung sana itu."
"Oh, gunung itu!" kata Intan setengah berseru. "Aku pernah melihatnya waktu naik bis dari Surabaya ke Malang."
Hendra memesankan minuman dan roti bakar buat mereka berdua. "Kita akan menunggu langit gelap di sini. Aku sering merasakan keheningan saat lampu-lampu menyala, langit menjadi jingga bercampur ungu."
"Dan, semoga malam ini cerah, ada bintang-bintang di langit sana!"
Mereka berdua berbagi cerita tentang kehidupan masing-masing. Intan menceritakan masa lalunya, neneknya, juga perjalanan hidupnya hingga bisa kuliah di Malang. Hendra menyimak semua ceritanya dengan penuh perhatian. Satu hal yang meresahkan Intan adalah asap rokok. Hendra ternyata suka sekali merokok. Tapi, dia sudah meminta izin kepada Intan untuk merokok.
Hendra kemudian bercerita tentang pekerjaannya. Dia adalah seorang editor di sebuah penerbitan buku di Malang. Dia biasanya mengedit buku-buku pelajaran. Sebagai selingan, kadang dia menulis cerita untuk majalah atau koran. Bagi Hendra, membuat cerita membuat hidupnya jadi lebih bervariasi. "Kalau cerpen yang kamu baca itu kubuat untuk seorang temanku. Kisah hidupnya agak mirip dengan yang kuceritakan di situ," katanya tentang cerpen yang dibaca Intan.
"Teman Mas Hendra orang Pontianak?"
"Yap, betul. Dia juga lama tinggal di Singkawang."
"Jadi, Mas seperti... menyalin kisah hidupnya, gitu?" tanya Intan sambil mengacungkan dan menggerakkan kedua telunjuknya saat menyebut kata "menyalin".
"Bisa dibilang begitu. Tapi... kisah hidupnya enggak sama persis begitu. Ada bagian yang sama. Ada bagian yang kukarang."
"Oh...," kata Intan sambil tersenyum tipis. Dia membayangkan kisah apa yang nantinya akan ditulis Hendra setelah pertemuan ini. Di sini pun, sosok Ilham dan Clara, begitu juga kisah cinta mereka yang terjalin manis dan berakhir muram, masih membayanginya.
Langit mulai gelap. "Tan, itu ada satu lampu yang menyala di sana," kata Hendra sambil menunjuk sebuah tempat.
Mata Intan yang dari tadi memandangi wajah Hendra langsung mengikuti arah yang dituju telunjuk Hendra. Dia gantian mengangkat telunjuknya. "Eh, di sana juga ada satu lampu menyala, Mas!" seru Intan.
Semakin lama, semakin banyak lampu menyala. Langit makin gelap. Intan cukup kaget ketika telapak tangan Hendra mengelus-elusi punggung tangannya. Intan diam saja selama beberapa saat. Dia menghentikan elusan itu dengan cara mengambil gelas minumannya.
"Mas," kata Intan. Sebenarnya dia ragu mau menanyakan hal ini. Tapi, dia merasa ini waktu yang tepat untuk memulainya. "Ada yang mau kutanyakan."
"Ya, tentang apa? Tentang cerpen yang belum jadi itu?"
"Bukan, Mas." Intan saling menggosok-gosokkan kedua tangannya. "Gini, Mas. Mmm... Mas Hendra umurnya berapa?"
"Aku... sudah 31 tahun, Tan. Kamu sendiri?"
"Aku baru mau 19 tahun, Mas."
"Kok 19 tahun? Bukannya biasanya orang taman SMA itu umurnya 17 atau 18 tahun gitu?"
"Aku dulu sempat tidak sekolah setahun setelah tamat SMP. Nenekku bingung mau menyekolahkan aku sampai SMA atau enggak. Akhirnya aku sekolah lagi."
Hendra mengangguk-angguk mendengarnya.
"Oh ya, Mas," tanya Intan sambil menarik napas panjang. Ini hal kedua yang paling ingin ditanyakannya. "Mmm, Mas jujur ya, Mas memang belum berkeluarga?" tanya Intan.
Hendra menarik napas panjang dan mengeluarkannya perlahan-lahan. "Belum kok, Tan," katanya sambil meraih gelasnya dan minum. "Kan dulu udah kuberitahu."
Intan lega sekali mendengar jawaban itu. "Aku hanya ingin memastikan, Mas."
"Tapi, aku udah pernah menikah," kata Hendra sambil memutar-mutarkan telunjuknya di bibir gelas. "Kami bercerai tahun lalu."
Intan ragu hendak menanyakan apa penyebabnya. Dia memandangi wajah hendra sambil mengerutkan dahi, berharap Hendra yang bercerita.
"Intinya, kami enggak cocok," kata Hendra sambil menghembuskan asap rokok dari mulutnya. "Selain itu, ada pihak ketiga di antara kami. Dia dan aku sama-sama memiliki selingkuhan. Dia bertahan dengan selingkuhannya hingga kini."
"Dan selingkuhan Mas Hendra?" Intan cukup terkejut dengan pertanyaan yang ia lontarkan.
"Dia sudah pindah ke Madiun. Saat selingkuh sama aku, dia juga ternyata punya selingkuhan lain. Sekarang dia sudah menikah, tinggal di Madiun sana," kata Hendra.
"Wah, saling selingkuh. Ngeri juga," kata Intan sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. "Nah, kalau sekarang gimana?" tanya Intan.
"Sekarang? Maksudmu gimana?" Hendra mengerutkan dahinya.
"Sekarang, Mas punya selingkuhan lagi?"
"Hahaha...," Hendra tertawa cukup keras sampai membuat Intan terkejut. "Sekarang," katanya setelah agak tenang. "Sekarang, aku sendirian, Tan," kata Hendra.
"Aku enggak percaya. Biasanya, orang yang pandai merangkai kata-kata punya kekasih gelap di mana-mana. Betul enggak?"
"Belum tentu, Tan," kata Hendra sambil mengambil sebatang rokok. "Itu prasangka. Setiap orang bebas berprasangka. Cuma, kita harus tetap memperlakukan orang lain dengan baik sambil menunggu waktu membuktikan prasangka kita -- benar atau tidak. Ya kan?"
"Iya sih...." Intan bingung hendak melanjutkan tanggapannya dengan kata-kata apa. Di mata Intan, Hendra tampak cukup cerdas memberikan jawaban itu, tapi dia masih belum bisa percaya.
Mereka ada di warung itu hampir satu jam. Mereka membicarakan banyak hal lain, Intan yang lebih banyak bercerita. Perlahan tapi pasti, Intan mulai merasa makin nyaman dengan pria yang ada di sampingnya kini. Sebentuk harapan mulai tumbuh dalam hatinya.

HENDRA mengajak Intan melihat-lihat kota Batu. Intan menyukai suasana kota ini. Banyak orang yang berdatangan kemari. Hendra menceritakan beberapa tempat wisata yang terkenal seperti Jatim Park I dan II, Batu Night Spectacular (BNS), Agro Wisata, dan air terjun Coban Rondo.
Setelah berkeliling kota hampir sejam, mereka berhenti di tepi sebuah jalan yang hendak menuju ke gunung Panderman. Mereka berhenti di tepi jalan, Hendra duduk bersandar di kursi sepeda motornya.
"Di sini pemandangannya juga bagus! Enggak kalah dari warung yang tadi. Keren banget ya kota ini!" kata Intan.
"Ya, kota di kaki bukit memang rata-rata punya pemandangan bagus seperti ini. Kita sekarang ada di jalan yang sering dilewati para pendaki gunung. Di sebelah sana," kata Hendra sambil menunjuk ke arah barat, "ada air terjun Coban Rondo. Kalau kamu mau, besok kita melihatnya."
"Boleh, Mas. Besok aku libur kok. Tapi, kita pulang dulu ke Malang kan?"
"Mau menginap di sini juga enggak apa-apa," kata Hendra sambil menyalakan korek, menyulut rokoknya. "Aku punya sepupu yang rumahnya kosong. Kita bisa menginap di sana kalau mau."
"Wah, jangan."
"Kenapa, Tan?"
"Kan... di sana enggak ada orang. Masa cuma kita berdua?"
"Oh, enggak gitu, Tan," kata Hendra dengan nada bicara yang berusaha menenangkan. "Ada pembantu yang tinggal di rumah itu kok. Kadang, sepupuku juga tinggal di situ."
"Tapi, kelihatannya lebih baik kita pulang, Mas," kata Intan dengan wajah cemberut.
"Ya, kita mampir dulu aja sebentar di sana. Siapa tahu di sana ada orang. Terus terang badanku juga agak capek, seharian tadi sebelum ke rumah kosmu aku ada banyak pekerjaan. Lagipula, kalau pulang jam segini, perjalanan ke Malang biasanya macet," kata Hendra sambil menyalakan mesin motornya.
"Macet, Mas?" tanya Intan.
Hendra tampaknya tak mendengar pertanyaan itu. Dia menyalakan mesin motornya, lalu menancap gas motornya agak laju. Hawa terasa makin dingin. Di belakang, Intan mulai berdebar-debar, perasaannya tidak enak. Dia tidak bisa menikmati lagi pemandangan kota ini.

DI rumah itu, ternyata tidak ada orang sama sekali. Hendra mengangkat ponselnya, menyatakan kepada Intan hendak menelepon sepupunya. Panggilan telepon Hendra tidak diangkat. Intan begitu kaget ketika melihat Hendra mengeluarkan kunci pintu rumah itu dari tas kecil yang dibawanya. "Dua hari yang lalu aku sempat ke sini, Tan. Aku dikasih kunci ini sama sepupuku."
Intan mendesahkan napas panjang ketika Hendra berkata, "Yuk, masuk."
Intan enggan masuk, tapi bingung harus berbuat apa. Jantungnya berdegup lebih kencang.
"Paling sebentar lagi sepupuku dan pembantunya datang kok, Tan. Kamu kalau capek tiduran aja di kamar ini," kata Hendra sambil membukakan sebuah pintu kamar. Di sana ada ranjang yang sudah tertata rapi. "Aku mandi dulu, Tan. Kamu nanti kalau mau mandi juga enggak apa-apa, ada mesin air panas di kamar mandi."
Intan mengangguk dengan malas.
Saat Hendra mandi, pikiran Intan mulai dipenuhi imajinasi yang tidak-tidak. Hawa dingin kota Batu membuatnya ingin bermesraan. Dia juga ingin merebahkan badannya. Tapi, dia sedang sangat waspada. Dia merasa seperti seekor burung yang tengah digiring ke suatu perangkap. Intan berjalan-jalan di ruang tengah rumah itu, melihat-lihat beberapa lukisan yang dipajang di situ.
Saat melihat lukisan-lukisan itu, dia teringat sesuatu. Saat Hendra tadi membukakan pintu kamar untuknya, dia melihat sebuah potret yang dibingkai dan digantung di dinding kamar. Dia pun bergegas masuk ke kamar itu. Di sana, Intan melihat Hendra, seorang wanita, dan seorang anak kecil. "Nah, ketahuan kau sekarang," bisik Intan. Intan juga terkejut, di meja yang ada di dalam kamar itu, dia melihat beberapa majalah Playboy dan kaset film biru. Perasaan Intan jadi gelisah bukan main. Ketika membalikkan badannya hendak keluar kamar, ia nyaris melonjak.
"Tan, menginaplah malam ini di sini," kata Hendra yang hanya dibalut handuk sambil melipat kedua tangannya. Dari kamar itu terlihat pintu keluar rumah sudah tertutup. Kuncinya tidak menempel di pintu. Bola mata Intan bergerak, mencari di mana kunci itu berada.
Sebelum masuk ke rumah, tadi dilihatnya rumah-rumah tetangga yang jaraknya tidak terlalu dekat dan tampak sepi. Tak ada gunanya berteriak. Intan mengatur napasnya sambil memikirkan cara untuk keluar dari sini. Dia tak mau kelihatan langsung memberontak karena Hendra tampak begitu kuat.
Hendra maju mendekati Intan, dan pelan-pelan dia menutup pintu kamar itu. Di mata Intan, Hendra yang dulunya berwibawa dan romanis berubah menjadi sesosok monster yang sedang diliputi nafsu bejat. "Intan yang manis," bisik Hendra dengan merentangkan kedua tangannya, "mari nikmati malam ini...."
"Mas," kata Intan dengan wajah memelas. "Mas tega melakukan ini?"
"Tan, hawa di luar begitu dingin...," kata Hendra sambil memegangi handuknya. "Ayolah, Tan, kita bercumbu saja, tidak harus berhubungan intim."
"Mmm... baiklah, Mas," kata Intan. "Tapi, tolong handuknya enggak usah dilepas."
Hendra menghembuskan napas panjang. "Kenapa? Takut, Tan?" katanya sambil terkekeh. Saat ini, di mata Intan Hendra benar-benar sudah berubah jadi pria paling brengsek sedunia -- dia jadi ingin muntah.
"Mas...," kata Intan sambil berusaha tersenyum dan menunjukkan minat untuk bercumbu. "Ada baiknya kita bercumbu ditemani lampu yang remang-remang. Tadi aku lihat ada lampu kecil itu di ruang tengah."
Hendra memutarkan bola matanya, lalu mengacungkan jempolnya. "Sip, aku ambil dulu!" katanya dengan penuh semangat.
Di dalam kamar itu Intan melihat ada laptop yang tertutup. Ia pun segera mengambil laptop itu dan bersembunyi di balik pintu. Jantung Intan berdegup kencang saat mendengar langkah kaki Hendra yang mendekatinya. Hendra datang sambil bersiul-siul. Begitu Hendra sampai di depan pintu kamar, Intan mematikan lampu kamar itu.
"Lho, Tan, ada apa nih kok dimatikan? Sudah siap bercumbu?"
"Aku lagi mencopot bajuku, Mas," bisik Intan dengan manja, berpura-pura. Intan yang berada di belakang pintu hampir menjerit ketika melihat Hendra mencopot handuknya. "Mas tolong pasang lampunya ya," kata Intan di balik pintu.
"Tan... malam ini akan menjadi malam yang ter...."
"Brak!!!" Intan memukulkan laptop itu sekuat tenaga ke leher Hendra di bagian belakang.
"Sialan kau, Hendra!" kata Intan. Dia pun mengucapkan makian-makian kasar lainnya.
Hendra tak berdaya, jatuh seketika. Dia merintih kesakitan. Dia hampir bisa bangkit lagi, namun Intan begitu sigap bertindak. Dengan kedua tangannya dia meninju pipi dan kening Hendra. Dia lalu berdiri dan menginjakkan kakinya ke dada Hendra. "Jangan perlakukan aku seperti wanita murahan!"
Intan pun membiarkan tubuh telanjang itu merintih-rintih di lantai. "Cari pelacur sana untuk bersenang-senang, jangan aku!" katanya sambil membanting pintu kamar itu.
Intan berlari ke ruang tamu. Dia mengambil kunci rumah yang tergeletak di meja tamu. Dia keluar rumah, mengunci rumah itu dari luar. Tidak ada satu orang pun yang melintas saat itu. Tetangga-tetangga juga tak ada yang kelihatan. Intan berlari-lari kecil, berusaha tidak menjerit atau menangis. Intan selalu menoleh ke belakang, memastikan tidak ada yang mengikutinya. Dia begitu khawatir masalah ini diketahui para tetangga dan dia yang justru nantinya disalahkan.
Intan terus berjalan sendiri dalam kegelapan malam. Air mata mulai turun membasahi pipinya. Sampai di pertigaan, dia membuang kunci rumah itu. "Selamat tinggal, penulis bajingan!" kata Intan.

Sabtu, 21 Januari 2017

Bab 2: Cerita Cinta dan Kenangan


HARI-HARI yang baru tiba. Intan kadang tidak pernah menyangka dengan apa yang dialaminya saat ini. Dari pagi hingga siang dia kuliah di kampusnya, menjelang sore hingga malam hari dia bekerja di toko fotokopi Mas Yudi. Pendapatan yang diterima Intan dari toko fotokopi cukup untuk membayar uang kos, membeli kosmetik, pulsa ponsel, perlengkapan mandi, dan sabun cuci. Setelah digunakan untuk membayar kuliah, uang yang diterimanya dari nenek dipakainya untuk membeli beberapa pakaian dan sepasang sepatu baru. Intan memperkirakan uang itu masih bisa dipakai untuk membeli makanan sehari-hari selama setahun jikalau dia pandai berhemat.
Intan merasa kehidupannya cukup stabil. Kesedihannya mulai sirna. Teman-teman baru di kampus, teman-teman sekerja, dan aktivitas perkuliahan membuat hari-harinya penuh warna. Dia pun senang dengan suasana kota Malang yang sejuk, berbeda jauh dengan Pontianak.
Cuma, di kota bunga ini, Intan masih merasa kurang memiliki satu hal. Hatinya belum pernah berbunga-bunga.
Namun, keadaan itu berubah pada suatu sore.
Intan melihat sebuah cerpen di tumpukan kertas yang akan difotokopi. Judul cerpen itu membuatnya kaget, Suatu Senja di Khatulistiwa. Dia membaca cerita itu beberapa paragraf. Dia terpesona.
"Ini... kertas milik siapa?" tanya Intan kepada Feny, teman sekerjanya. Feny baru saja megakhiri jam kerjanya, siap-siap pulang.
"Enggak tahu tuh. Itu titipan dari Mas Yudi. Baru aja Mas Yudi titip ke aku, terus bilang kalau kamu yang disuruh fotokopi 4 kali. Katanya besok baru diambil."
Intan mengangguk-angguk sambil tersenyum dan mendesahkan napas panjang. Dia senang mendengar kata "besok". "Besok malam atau siang ya dia ke sini?"
Feny mengangkat bahu. "Memangnya kenapa, Tan? Kamu kenal dengan orangnya? Maksudku, dengan penulisnya?"
Intan menggaruk-garuk kepalanya. "Enggak sih, aku enggak kenal dengan orang ini," katanya sambil mengangkat kertas itu. "Tapi, coba kamu lihat judul cerita ini. Ada kata 'khatulistiwa'. Apa mungkin dia dari Pontianak juga? Kan Pontianak dijuluki Kota Khatulistiwa?"
Feny mengangguk-angguk sambil memajukan bibir bawahnya.
"Begini, Fen. Aku perlu bantuanmu. Kamu kan besok masuk pagi. Nah, kalau dia datang aku langsung ditelepon ya. Terus, ajak dia ngomong apa gitu, nanti aku segera datang," kata Intan.
Feny menyipitkan mata. Dia memperhatikan Intan dengan tatapan yang aneh. "Hm... memangnya kenapa sih? Aku jadi curiga... kok kayaknya ada apa-apanya deh...," kata Feny dengan nada bicara yang menggoda.
Intan memalingkan wajahnya, menyembunyikan senyumnya. "Kan... siapa tahu dia penulis terkenal, dari Pontianak juga."
"Iya, Tan. Beres... gampang kok, nanti kalau lancar aku dapat bakso gratisan semangkok kan?"
Intan menjulurkan lidahnya. "Yeee, gitu aja minta bakso!!!"
"Ya udah kalau enggak mau! Siapa tahu lho, dari sebuah cerita, asmara bisa terjalin mesra!"
"Awas kamu yaaa!" kata Intan sambil menggelitiki pinggang Feny.

INTAN masuk ke dalam kamarnya, menyetel lagu yang lembut dari ponselnya. Ia pun mulai membaca cerita itu perlahan-lahan.
"Ya, Tuhan...," kata Intan setelah membacanya. Cerpen yang ditulis Hendra Kurniawan itu begitu dekat dengan masa lalunya. Singkawang, Pontianak, perjalanan menggunakan kapal—semuanya segera membawa Intan menyusuri lorong waktu. Cerita ini, bagi Intan terjalin sangat indah, sekaligus sangat pedih.
Malam inilah kali pertama Intan lupa berdoa untuk nenek dan ibunya sebelum tidur. Ia baru bisa tidur di atas jam 2 malam. Ia sibuk membayangkan seperti apa rupa Hendra Kurniawan!
                   
"SEGERA balik. Ada yg dtg!" demikian bunyi pesan yang masuk ke ponsel Intan.
Intan langsung berdiri, berjalan ke depan kelas. Dia meminta izin kepada dosen untuk pergi ke toilet. Keluar dari ruang kuliah, langkahnya terayun begitu cepat. Saat sampai di tangga, dia menuruni anak-anak tangga dengan berlari agak kencang.
Dari kejauhan, Intan melihat seorang pria yang gagah, mengenakan jaket hitam. Dia hanya melihat pria itu dari belakang, sedang berbicara dengan Feny. Feny tampak tersenyum-senyum saat berbicara dengan pria itu. Intan mengatur napasnya ketika sudah tidak jauh dari toko. Dia melangkah agak pelan, lalu masuk ke dalam toko.
Intan pun melihat wajah pria itu. Dia tampak dewasa, usianya mungkin 30-an tahun. Dia berkulit agak gelap, memiliki kumis tipis, dan matanya agak sipit. "Permisi, Bang," kata Intan.
Pria itu tersenyum agak lebar. "Bang?" tanyanya.
"Oh, saya selalu memanggil 'bang' semua cowok yang kelihatannya lebih tua. Itu kebiasaan saya sejak di Pontianak dulu, Bang."
Pria itu mengangguk-angguk.
"Oh ya, saya permisi sebentar. Saya perlu ke belakang," kata Feny sambil melirik kepada Intan. Feny mengedipkan matanya.
"Oh ya, Bang...."
"Ada baiknya kamu panggil saya 'mas' aja. Biar kelihatan lebih akrab," potong Hendra.
"Oh gitu. Oke, oke...," kata Intan. "Mmm, gini Bang, eh... Mas, saya sempat baca cerita Mas yang difotokopi di sini kemarin."
"Oh ya? Cerita yang tentang Clara dan Ilham itu?"
Intan mengangguk beberapa kali dengan cepat.
Hendra mendesahkan napas panjang. "Bagaimana menurutmu, bagus apa enggak?" tanya Hendra.
"Bagus, Mas. Bagus banget. Dan, saya langsung merasa dekat sekali dengan cerita itu."
"Merasa dekat? Maksudnya?"
"Kota Singkawang, Pontianak, Pelabuhan Tanjungpura... semua itu begitu dekat dengan kehidupan saya waktu kecil sampai SMA."
Hendra mengangguk-angguk dengan lambat beberapa kali. "Jadi, dulunya kamu tinggal di Pontianak?"
"Iya, Mas. Memangnya Mas juga asli Pontianak atau Singkawang? Dari ceritanya, saya yakin... iya deh."
"Saya pernah mampir ke Singkawang, lalu ke Pontianak. Waktu ada di sana saya menulis cerita itu."
Toko fotokopi sedang sepi. Intan berpikir obrolan ini bisa berlanjut sampai panjang. Tapi, Intan teringat kuliahnya. Dia pun mengambil fotokopi cerpen Hendra, memasukkannya ke dalam plastik. Saat menyerahkan fotokopi itu, Intan mulai merasa nyaman berbincang-bincang dengan Hendra. Selama beberapa detik dia bimbang hendak menyatakan sesuatu yang intinya dapat membuat Hendra tak melupakannya. "Mmm, Mas, kalau ada cerpen lainnya, boleh kan saya membaca lagi?"
Hendra tersenyum. "Boleh," katanya. "Nanti kalau ada cerita lainnya saya kabari. Boleh minta nomor hape-mu?"
Selama beberapa detik Intan ragu memberikan nomor ponselnya. Tapi, akhirnya dia memutuskan untuk memberikannya. Hendra pun juga memberikan nomor ponselnya.
Hendra berpamitan. Saat itulah Feny kembali ke ruang toko fotokopi. Mas Yudi juga muncul -- Intan jadi salah tingkah dengan kemunculannya yang tiba-tiba. Mas Yudi menatap Hendra di kejauhan. Hendra mengacungkan jempolnya kepada Mas Yudi sebelum menyalakan mesin motornya.
"Lho, Tan, kamu enggak kuliah?" tanya Mas Yudi.
Intan melirik ke arah Feny. Feny hanya mengangkat pundaknya. "Emm... anu, Mas, saya mampir sebentar, habis ini mau kembali ke kos. Ini pas istirahat, ada buku yang tadi ketinggalan. Nanti, habis ini saya kembali lagi ke kampus kok."
"Oh...," kata Mas Yudi sambil masuk lagi ke ruang di belakang toko. Dia tampaknya tak mencurigai apa pun.

INTAN kembali lagi ke kampusnya. Dosen sempat bertanya mengapa dia lama sekali di toilet. Intan menjawab dengan suara pelan kalau dia lagi sakit perut. Saat perkuliahan berlangsung, Intan tak bisa melupakan Hendra. Kumis tipisnya, senyumnya, juga kata-kata di dalam ceritanya. Satu hal yang meresahkan Intan adalah usianya. Bagi Intan, dia bukan tipe pria idaman. Intan suka pria yang lebih muda, yang mungkin 2 atau 3 tahun lebih tua darinya. Tapi, hingga saat ini dia belum menemukannya. Di kampus, teman-teman cowok Intan belum ada yang tampak menarik baginya.
Dan, hal lain yang meresahkannya adalah: apakah Hendra sudah beristri?
Ponsel Intan bergetar. Di dalamnya ada pesan pendek -- dari Hendra! "Halo intan. cuma ngabari kalo ini mas hendra. :-)"
Intan pun membalas pesan pendek itu. "Iya mas, ini aku lg kul di kampus. Mas lg apa?"
Lama tak ada jawaban. Intan pun terus menunggu. Hatinya mulai gelisah. Materi kuliah yang diberikan dosen tidak ada yang disimaknya. Saat dosen menjelaskan, dia hanya memandangi cerpen yang ditulis Hendra dan layar ponselnya berganti-ganti.
"Hai intan. Maaf baru balas. Mas skrg lg ngopi sambil mau ngarang cerita. Km lg apa?" demikian pesan pendek yang diterima Intan saat hari sudah malam. Intan baru saja masuk ke dalam kamarnya. Senyumnya langsung mengembang membaca kata-kata itu.
"Aku lg santai di kamar. Lg mau ngerjain tugas kul. Mas mau ngarang cerita apa nih?"
Padahal, Intan hanya tiduran di atas kasurnya. Dia tidak mengerjakan tugas apa pun. Dia selalu memandangi layar ponselnya.
"Mas mau ngarang cerita ttg kamu. Tapi agak bingung mau mulai dari mana." Pesan pendek ini membuat jantung Intan berdegup lebih kencang.
"Oh ya? Mmgnya apa yang menarik dr aku?" tanya Intan.
Pesan pendek terakhir itu tidak dibalas Hendra. Intan berpikir, mungkin pulsanya habis. Atau, mungkin dia sudah mulai menulis ceritanya. Intan menunggu balasan pesan pendek itu hingga dia terlelap.

I.ndahnya dunia berasal dari senyuman
N.estapa menjauh dan sukacita tiba
T.iada yang dapat menggantikan intan
A.ngan tentangnya mengusik jiwa
N.amun, apakah ia juga mengangankanku?

Pesan pendek itu membangunkan Intan pada pagi hari. Senyumnya langsung mengembang ketika membacanya. Dia tak segera membalas pesan pendek itu. Dia tak mau dikira terlalu banyak berharap untuk orang yang baginya masih terhitung asing.
Untuk kali pertama Intan merasa dirinya berbeda. Saat mandi, dia senyum-senyum sendiri. Saat makan, juga begitu. Bagaimana tidak, seorang pria yang pandai merangkai kata-kata mengangankan dirinya. Dia melihat bayangan dirinya di cermin. "Cantikkah aku? Maniskah senyumku?" bisiknya.
Hati Intan begitu bahagia. Dia ingin senantiasa tenggelam dalam perasaan ini. Dia melangkah ke kampusnya dengan bangga -- ada seseorang yang kini mengaguminya. Dan, dia bukan orang sembarangan, tapi seorang juru cerita!
Pada siang hari, saat istirahat dari kuliah, baru Intan membalas pesan pendek itu. "Makasih mas untuk puisinya td pagi. Dalem bgt. :-) Mas lg apa skrg?"
Intan menunggu balasan pesan pendek itu. Ponselnya bergetar. Tapi, bukan pesan pendek yang diterimanya. Hendra meneleponnya.
"Halo, Mas," kata Intan.
"Halo, lagi apa nih?"
"Lagi di kampus. Lagi nunggu dosen. Mas sendiri lagi apa?"
Hendra bercerita bahwa dia semalam kesulitan menyelesaikan cerita tentang Intan. Ia seperti tak memiliki ide untuk menulis. "Begini, Tan. Besok kan hari Sabtu. Mau enggak kalau kita keluar? Mungkin... kita bisa cerita-cerita. Siapa tahu nanti ada inspirasi untuk melanjutkan ceritaku tentang kamu yang belum selesai," kata Hendra.
Ajakan ini membuat jantung Intan berdegup kencang. "Gimana ya, Mas? Mmm...  kalau Sabtu aku tetap kerja sih. Tapi, nanti coba aku tanyakan Mas Yudi deh. Nanti aku kabari ya, Mas?"
"Oke. Kutunggu ya."

Jumat, 13 Januari 2017

Bab 1: Meninggalkan Nenek


"SEPERTI apakah rupa cinta?"
Musim kehidupan berganti. Peristiwa ulang tahun Intan yang kelima telah empat belas tahun berlalu. Kini, Intan hidup dalam keadaan yang berbeda. Intan sering merasa dirinya seperti mawar yang senantiasa hidup di bawah terik matahari siang. Dia merindukan tetesan embun penyejuk ketika matahari masih bersembunyi di balik kegelapan; atau seekor kumbang yang datang menyambangi, memberikan sentuhan kesegaran bagi jiwanya yang kering kerontang.
Saat Intan berusia 9 tahun, ayahnya meninggal karena serangan jantung. Kepergiannya begitu mendadak, ibu Intan kalang-kabut dibuatnya. Rumah kontrakan mereka di Singkawang ditinggalkan, ibu pindah ke Pontianak, tinggal serumah dengan nenek Intan.
Namun, ibu Intan tak bertahan lama tinggal bersama ibunya sendiri di Pontianak. Kira-kira setahun sejak ayah Intan meninggal, ibu Intan pergi ke Malaysia, menjadi Tenaga Kerja Wanita (TKW). Nasib ibu tidak jelas sejak ada di Malaysia -- dia beberapa kali pindah tempat kerja. Terakhir, ibu mengabari kepada seorang rekannya yang menjadi TKW juga bahwa dia menikah dengan seorang duda beranak dua asal Taiwan.
Ibu pernah berjanji kepada Intan bahwa suatu hari dia akan kembali. Tapi, entah kapan -- batang hidungnya tak kunjung tampak.
Begitulah, sejak berumur 10 tahun, Intan tinggal dengan neneknya yang berjualan kue-kue. Rumah yang mereka tinggali tidak terlalu jauh dengan Pelabuhan Tanjungpura, Pontianak. Setiap pagi Intan bangun pada pukul 04.30. Dia membantu menitipkan kue-kue buatan neneknya ke beberapa warung makan dan warung kopi dengan bersepeda. Sepulang sekolah atau pada sore hari, Intan juga membantu nenek mengambil hasil jualan. Neneknya membuat kue bakpao, pastel, dan bolu. Nenek menyekolahkan Intan hingga dia tamat SMA. Nenek juga mengelola uang yang mereka berdua dapatkan dengan sangat baik.   
"Intan," kata nenek suatu malam, setelah Intan menerima ijazah. "Kamu sudah tamat SMA sekarang. Seperti yang kamu bilang dulu, selanjutnya kamu mau ke Jawa, mau kuliah."
Intan duduk di samping neneknya. Nenek tampak begitu rapuh. Dia memandangi rambut neneknya yang hampir putih semua. Di depan mereka berdua, terbentang sungai Kapuas yang tampak begitu tenang. Ada beberapa sampan yang melintas, ada yang hanya diam. Ada kapal dan perahu yang baru datang, menuju ke pelabuhan. Ada yang mau pergi, entah ke mana. Bayang-bayang lampu-lampu kapal yang berwarna-warni tampak di permukaan sungai.
"Jadi, nenek sudah pasti akan hidup dengan seorang pembantu?" tanya Intan.
Nenek mengangguk beberapa kali. "Minggu depan dia akan ke sini," katanya dengan suara serak.
Intan merangkul pundak neneknya. "Tapi, Nek, pembantu itu baik kan?"
Nenek meyakinkan Intan agar tidak khawatir. Pembantu itu sudah bekerja di rumah kakak nenek Intan selama 3 tahun. Kakak nenek Intan telah meninggal sebulan yang lalu dan pembantu itu yang meminta agar dia bisa bekerja di rumah nenek Intan. "Jangan bimbang, Intan. Kalau kuliah sudah menjadi tekadmu sejak dulu, lakukanlah," kata nenek sambil beranjak dari kursi, masuk ke dalam kamarnya.
Nenek duduk lagi di samping Intan, membawa sebuah tas. Nenek mengeluarkan uang dari tas itu. Intan tak pernah melihat tas itu sampai hari ini. Dia menahan napas melihat uang yang digenggam nenek.
"Intan, ini adalah tabungan kita bersama, 18 juta. Ini hasil kita bersama, Intan, hasil keringat kita. Nenek menabung sejak ibumu tidak ada lagi di sini. Pakailah ini untuk membeli tiket kapal ke Jawa, mendaftar kuliah, dan lainnya."
"Nek...." Intan merasa matanya tiba-tiba panas.
Nenek menundukkan kepalanya. "Nenek tahu, Tan, kamu punya banyak impian mengenal dunia luar. Ibumu entah kapan akan kembali. Keluarlah dari tempat ini untuk masa depanmu yang lebih baik. Nenek akan tetap hidup bersama kue-kue nenek. Tapi kamu, banyak kesempatan yang terbuka di depanmu."
Intan memeluk neneknya dengan erat -- sangat erat.

MALAM itu, Intan tak bisa tidur. Bagaimana dia dapat melupakan neneknya itu?
Tiap pagi nenek bangun pukul 03.00, menyiapkan kue-kue yang mau dititipkannya pada hari itu. Setelah menitipkan kue-kuenya, nenek berbelanja di pasar, menyiapkan makan siang untuk mereka berdua. Siang hari, setelah memasak, kadang nenek tidur satu dua jam sambil menunggu Intan datang. Pada sore hari, nenek mengambil jualannya.
Pada malam hari, setelah menyiapkan beberapa bahan untuk kue yang akan dibuat keesokan harinya, nenek biasanya menyanyikan kidung-kidung gereja yang disukainya. Intan selalu suka mendengarkan nenek bernyanyi. Suaranya merdu, dulu nenek sering bernyanyi dalam kelompok paduan suara di gereja.
Nenek tidak pandai dalam pelajaran-pelajaran sekolah. Suatu malam, saat Intan masih kelas 6 SD, dia tidak bisa mengerjakan beberapa PR yang diberikan guru Matematika. Saat itu buku paketnya ketinggalan di sekolah. Nenek membantu Intan mengerjakan PR-nya. Hasilnya? Intan mendapat nilai 25.
Intan juga selalu merindukan ibunya. Dia sering berdoa sambil memandangi sungai Kapuas saat malam hari agar ibunya baik-baik saja. Intan sudah lelah memohon kepada Tuhan agar ibunya kembali. Beberapa anak mungkin tidak mengerti apa artinya harapan yang tak kunjung tiba; Intan memahami hal ini dengan baik, dan doa-doanya pun berubah. Dia sudah makin jarang meminta sesuatu di dalam doa. Dia hanya berharap rencana Tuhan yang terjadi. Tak jarang, Intan menaikkan doa-doanya tanpa kata-kata.
Nenek sudah tertidur pulas. Intan tak henti-hentinya mengelus-elus uang yang ada di pangkuannya. Sambil mengelus-elus uang itu, rasa khawatir yang besar memenuhi batinnya: bagaimana bila nenek sakit keras atau meninggal saat aku ada di Jawa?
Hati Intan terbelah dua.
Sebuah perahu kecil melintas di sungai Kapuas, Intan melambaikan tangannya.

DI Pelabuhan Tanjungpura, akhirnya mereka berdua berpisah. Nenek menunggui Intan hingga kapal Lawit yang membawa Intan ke Surabaya tidak tampak lagi di sungai Kapuas. Air mata nenek sudah kering, tangannya sudah letih melambai-lambai. Demikian pula dengan Intan. Dia terus memandangi neneknya dari teras kapal hingga tak kelihatan.
"Kehidupan terus berjalan, Intan. Jangan takut kehilangan apa pun dan siapa pun," demikian kata-kata terakhir nenek di pelabuhan itu.
Nenek kembali ke rumah bersama pembantu barunya. Intan menuju lautan lepas seorang diri. Keduanya, masing-masing berjalan bersama kesedihan dan harapannya.

"SEPERTI apakah rupa cinta?" Intan pernah menuliskan kata-kata itu beberapa bulan lalu di buku hariannya.
Ia kembali ke tempat tidurnya di kapal, mengambil buku itu dari sebuah tas.
"Seperti nenek," tulisnya.

INTAN menumpang kapal Lawit menuju ke Surabaya. Perjalanan yang ditempuhnya selama lebih dari 30 jam telah membuatnya mabuk laut. Dia lebih banyak menghabiskan waktu dengan tidur di sepanjang perjalanan. Dia hanya makan beberapa makanan ringan yang dibawanya dari Pontianak. Dia sempat menulis beberapa catatan pendek tentang neneknya. Begitu sampai di Surabaya, dia begitu lega. Dia menelepon pembantu neneknya, lalu bicara dengan neneknya. Neneknya mengucapkan "puji Tuhan" belasan kali.
Paman Intan telah menunggunya di Pelabuhan Tanjung Perak.
"Halo, Om Joni, saya udah sampai nih. Om di mana?" kata Intan lewat ponselnya.
Paman Intan segera mengarahkan Intan untuk menuju ke sisi timur pelabuhan itu. Di sana mereka berjumpa. Intan tampak bahagia begitu melihat wajah pamannya itu. "Halo Intan!" seru pamannya di kejauhan. Senyumnya begitu lebar saat menghampiri Intan, lalu dia menjabat tangan Intan dengan erat dan merangkul pundaknya.             
Mereka menuju ke tempat parkir, di sana seorang kawan paman Intan sudah menunggu. Mereka bertiga menuju ke rumah paman Intan di Sidoarjo. Sepanjang perjalanan, Intan dan pamannya bertukar cerita tentang kehidupan mereka masing-masing. Mereka juga membicarakan tentang rencana kuliah Intan.
Intan ingin berkuliah di Jawa karena banyak hal. Alasannya yang utama ada dua. Pertama, Om Joni dulu pernah menawarinya saat dia masih kelas 1 SMA. Om Joni berkunjung ke Pontianak waktu itu, dan dia memberikan saran kalau ada baiknya Intan kuliah di Jawa. Nenek Intan tak mungkin mengijinkan Intan kuliah di Jawa kalau tidak ada Om Joni.
Kedua, Intan sejak kecil memiliki rasa ingin tahu yang besar. Sejak kecil dia menyukai petualangan dan perjalanan. Bila liburan sekolah tiba, dia sering bersepeda bersama teman-temannya ke tempat-tempat yang jauh dari kota dan berpemandangan indah. Dia selalu ingin tahu keadaan dunia luar, ingin mengenal kehidupan di Jawa yang menurut beberapa orang lebih maju -- dia ingin tahu seperti apa kehidupan selain di Pontianak dan Singkawang.
"Seperti yang Om bilang dulu, Tan, rencananya kamu kuliah di Malang. Besok coba kita lihat lagi kampus mana yang kira-kira pas buat kamu."
"Iya, Om. Saya maunya di jurusan Akuntansi atau Ekonomi gitu. Atau... jurusan Bahasa Indonesia," kata Intan.
"Bahasa Indonesia? Ya, ya. Om dengar dari nenek kamu suka nulis. Apa kamu memang mau jadi penulis?"
Intan tersenyum tipis mendengar pertanyaan itu. "Ah, enggak, Om. Saya memang suka menulis. Terus, selain itu juga pengen belajar Ekonomi karena waktu SMA masuk IPS. Otak saya enggak kuat belajar di IPA, Om."
Om Joni tersenyum mendengarnya. "Bukan soal kuat apa enggak, mungkin soal minat saja, Tan."
Intan tersenyum kecil mendengar pernyataan itu. Tiba-tiba, dia teringat sesuatu. "Oh iya, Om, soal teman Om yang buka usaha fotokopi itu gimana? Yang katanya perlu karyawan itu? Saya mau bisa kuliah sambil kerja. Ya... buat tambahan uang saku gitu, Om."
"Oh itu! Ya, ya, om ingat. Kelihatannya dia masih perlu karyawan atau karyawati. Nanti coba dihubungi lagi."

INTAN hanya sehari semalam berada di rumah pamannya. Om Joni tidak bertanya banyak soal ibu Intan, kakaknya, yang hingga kini belum ketahuan di mana rimbanya. Paman Intan, istrinya, dan Intan menumpang sebuah bis, pergi ke Malang. Di dalam perjalanan, Intan menggeleng-gelengkan kepala melihat tanggul lumpur yang ada di Porong. Dia terpana waktu mendengar cerita pamannya bahwa ada tiga desa yang tenggelam akibat semburan lumpur panas itu. "Sampai sekarang masih banyak orang yang mengesalkan kejadian ini, Tan. Yang belum dapat ganti rugi karena rumah dan tanahnya terendam lumpur juga banyak," cerita Om Joni.
Saat di Pandaan, dia senang melihat Gunung Penanggungan yang ada di sebelah kanan jalan. Selama tinggal di Pontianak dan Singkawang dia tidak pernah melihat gunung setinggi itu. "Nanti ada gunung Arjuna sekitar satu jam lagi, Tan. Nah, enggak jauh dari sini, di sekitar Malang dan Probolinggo, juga ada tiga gunung yang terkenal: Bromo, Tengger, dan Semeru. Terus, di dekat kota Malang, tepatnya di Batu, juga ada Gunung Panderman," kata istri pamannya.              
Entah kenapa, saat mendengar cerita dari tantenya itu, Intan tiba-tiba menyukai gunung. Dulu dia pernah membayangkan keidupan para pecinta alam yang tampaknya puitis dan penuh tantangan. Dalam hati kecilnya muncul sebuah keinginan -- mendaki gunung.   
Ketika sampai di Malang, mereka bertiga menginap di sebuah penginapan di belakang SMA Katolik Cor Jesu. Paman Intan menyewa dua buah kamar. Paman Intan sudah mencari beberapa informasi tentang beberapa universitas yang ada di Malang. Mereka bertiga merundingkan perguruan tinggi yang cocok dan mencarikan rumah kos untuk Intan.
Pamannya juga akan ke toko fotokopi milik temannya. Temannya itu membutuhkan beberapa karyawan karena baru saja membuka cabang toko fotokopi. Pamannya sempat menanyakan bagaimana kalau Intan juga bekerja untuknya di luar jam kuliah.
Selama dua hari itu, setelah menjajaki beberapa kemungkinan, Intan akhirnya memutuskan untuk berkuliah di jurusan Pariwisata Universitas Merdeka Malang. Kuliah ini jenjangnya D3, 3 tahun. Sebenarnya, dia ingin sekali bisa kuliah S1, empat tahun, terutama di jurusan Bahasa Indonesia.
Tapi, dia khawatir bila terlalu lama di Jawa. Intan memikirkan neneknya. Dia juga harus memutar otak mencari sumber dana tambahan untuk biaya kuliahnya. Uang 18 juta yang diberikan neneknya sudah habis hampir sejuta. Sisanya, 17 juta, nantinya setelah dipakai untuk segala macam biaya perkuliahan, mungkin akan tersisa sekitar 8 juta. Belum biaya rumah kos, biaya makan, dan lain sebagainya. Mengharapkan beasiswa agak mustahil karena sejak SMA Intan merasa prestasi belajarnya tidak terlalu bagus. Itulah sebabnya, ketika pamannya mengajak dia untuk menemui temannya yang membuka usaha fotokopi, dia sangat berharap bisa bekerja di sana.
Lagipula, jurusan Pariwisata tampaknya sesuai dengan jiwanya yang suka berpetualang.

"JADI, ini anaknya yang mau bekerja sama aku, Jon?" kata kawan paman Intan, pemilik usaha fotokopi.
"Ya," kata paman Intan dengan mantap. "Anak ini rajin banget, Mas Yudi. Dulu, waktu SMA tiap pagi dia bangun sebelum jam 5 mengantarkan kue-kue buatan neneknya ke warung-warung untuk dititipkan. Setelah pulang sekolah, dia biasanya enggak langsung pulang. Dia ke beberapa warung, mengambil hasil jualan yang dititipkan tadi pagi."
Intan menunduk mendengar kata-kata pamannya itu.
Mas Yudi mengangguk-angguk sambil memikirkan sesuatu. "Baik, begini saja. Aku training dia seminggu dulu ya, Jon? Nanti kamu kukabari lagi gimana hasilnya."
Om Joni menjabat tangan kawannya itu. "Sip. Aku sangat yakin dia bisa dibimbing."
Intan tersenyum-senyum ketika berpamitan kepada Mas Yudi. Sebuah kekhawatirannya untuk sementara lenyap. Kini, tugas terakhir Om Joni adalah mencarikan rumah kos untuk Intan.
"Oh iya," kata Mas Yudi. "Intan sudah dapat kos?"
"Ini lagi mau cari yang dekat dengan kampusnya," kata Om Joni.
"Memangnya kampus Intan di mana?"
"Di jalan Bandung, Mas Yudi."
"Lho," kata Mas Yudi sambil mengerutkan dahi dan mengangguk-angguk. "Jalan Bandung dari sini cuma dua ratus meter lho! Ini tetanggaku banyak yang terima kos."
"Oh ya?" Kali ini Intan yang berbicara.
Om Joni tersenyum lebar, tampaknya menyadari sesuatu. "Aku ini sudah lama enggak ke Malang. Lupa juga kalau semua ini berdekatan! Nah, Intan... jadi, kampusmu, tempat kerjamu dan tempat kosmu bakal berdekatan!"
Tugas paman Intan pun selesai. Dia menemani Intan selama dua hari di Malang. Intan juga sudah mendapatkan rumah kosnya. Pamannya kembali ke Sidoarjo setelah membantu Intan menyiapkan kamar yang akan ditinggali Intan. Hal-hal lain yang berkaitan dengan pendaftaran kuliah akan diurus Intan sendiri. Dia berpesan agar Intan berkunjung ke Sidoarjo kalau ada kesempatan.
Pada malam hari, saat Intan sendiri di kamar kos, sekali lagi dia menelepon neneknya. Intan ingin mendengar neneknya menyanyikan sebuah lagu untuknya. Neneknya pun bernyanyi di telepon untuk cucu kesayangannya:

Tak kutahu kan hari esok, mungkin langit kan gelap
tapi Dia yang berkasihan melindungiku tetap
meski susah perjalanan, g’lombang dunia menderu
Dipimpin-Nya kubertahan sampai akhir langkahku*)

*)
Dari Nyanyian Kidung Baru 049, "Tuhan yang Pegang", syair: "I Know Who Holds Tomorrow" oleh Ira F. Stanphill, terjemahan K. P. Nugroho.