Selasa, 30 Mei 2017

Bab 11: Di Rumah Anton

TIAP kali bertemu Anton, Intan selalu melakukan dua hal ini: mengelus pipi Anton dan memijati pundaknya. Intan melakukan kedua hal itu dengan rela, untuk menunjukkan rasa sayangnya. Anton bercerita bahwa dia sering kelelahan. Selain sibuk kuliah dan menulis, Anton juga memberi kursus gitar secara privat kepada beberapa anak SD dan SMP. Anton mendapatkan murid-murid itu dari ibunya yang suatu ketika bercerita kepadanya bahwa ada seorang muridnya yang ingin sekali bisa main gitar tapi tidak tahu harus belajar di mana. Ibunya menawarkan Anton untuk menjadi gurunya. Anak itu senang sekali diajari Anton. Lalu, dari mulut ke mulut tersiarlah kecakapan Anton dalam mengajar gitar.
            Intan begitu bahagia karena Anton memperkenalkannya kepada orang tuanya. Ibu Anton menyebut Intan sebagai "anak manis yang gembira". Ayah Anton tak banyak mengajak Intan bicara. Intan juga senang karena dia mulai dilibatkan dalam hal-hal kecil yang ada di dalam keluarga Anton. Pernah, suatu kali dia membantu ibu Anton memasak untuk acara arisan di rumahnya.
            "Kamu datang pada saat yang tepat, Tan," kata Anton pada suatu sore setelah dia pulang mengajar.
            "Saat yang tepat gimana, Mas?" kata Intan. Dia tengah membaringkan dirinya di pangkuan Anton. Mereka berdua sedang berada di teras rumah Anton, di atas sofa panjang. Sore itu hanya mereka berdua yang ada di rumah Anton. Orangtua Anton tengah pergi ke sebuah acara pernikahan.
            Anton menyentuhkan jari-jarinya dengan lembut ke dahi Intan, lalu ke pipinya. "Maksudnya, kamu datang saat aku memang perlu banyak dukungan. Kuliah, ngelesi, kadang nulis...." Anton juga menceritakan bahwa skripsi yang ditulisnya sudah sampai bab ke-3. Gara-gara penulisan skripsi, penulisan novelnya untuk sementara dihentikan.
            "Mas," kata Intan dengan lembut, tangannya meraih tangan Anton. "Jangan diforsir. Terutama nulis novelnya, nanti kan bisa disambung lagi kalau udah lebih longgar. Nanti Mas capek sendiri."
            "Iya, Tan."
Anton mulai menurunkan belaian tangannya -- dari pipi mulai ke leher Intan. Intan mulai waspada, ia khawatir tangan itu akan bergerak menurun. Hari mulai beranjak gelap, cahaya matahari makin redup. Cuaca juga agak mendung.
"Mas," kata Intan sambil bangkit dari pangkuan Anton. "Udah waktunya lampu-lampu dinyalakan. Gelap nih."
Anton terperangah melihat gerakan Intan yang tiba-tiba. "Iya ya. Yuk ke dalam, kita nyalain lampu."
Intan mengemaskan beberapa gelas yang ada di ruang tamu. Setengah jam lalu ada tamu di rumah Anton. Tamu itu menyusul orangtua Anton, lalu mereka pergi ke undangan pernikahan bersama-sama. Intan membawa gelas-gelas itu ke dapur, menyucinya. Saat Intan menyuci, Anton melingkarkan kedua tangannya di pinggang Intan, memeluknya dari belakang. Tindakan ini membuat tangan Intan yang tengah menyabuni sebuah gelas terhenti beberapa saat. Dia memekik kecil dengan manja.
"Tan," bisik Anton dengan lembut. "Kamu kelihatannya cocok jadi ibu yang baik."
Intan memejamkan matanya. Dia tak menyangka Anton akan menyatakan hal itu.
"Kamu rajin, lemah lembut, manis... gembira...," kata Anton sambil mengecup rambutnya.
"Mas," kata Intan. Dia bingung harus melakukan apa. Dia senang dengan pelukan itu, tapi kata-kata Anton yang baru saja didengarnya membuat angan-angannya mengembara ke mana-mana. Dia ingin melepaskan pelukan itu, namun Anton tampaknya sedang ingin mengajak Intan bermesraan. Intan membalikkan badannya setelah dia selesai mencuci gelas-gelas itu.
"Tan, ke kamar yuk," kata Anton.
Jantung Intan segera berdegup kencang. Ia tak kuasa menolak tangan Anton yang menggenggam tangannya. "Mas, mau ngapain di kamar?" tanya Intan dengan nada panik.
"Aku agak capek. Kalau kamu mau, aku ingin dipijati, kayak biasanya," kata Anton.
Pintu kamar dibuka. Intan terkesima dengan buku-buku yang berserakan di mana-mana. Di situ juga ada gitar akustik dan gitar elektrik. Ada poster John Petrucci, gitaris Dream Theater yang tersohor itu.
Tak seperti biasanya, Anton membuka bajunya. "Tan, kalau mau, tolong aku dikerik. Aku kelihatannya masuk angin," katanya sambil menunjukkan balsam di meja kamar. Ia juga menyerahkan sebuah uang receh kepada Intan.
Intan mendengus pelan mendengar pemintaan itu. Ia cemberut memandangi punggung pria yang disayanginya itu. Untuk beberapa saat dia merasa tenang karena Anton tidak memintanya untuk membuka baju juga. "Makanya, Mas. Jangan capek-capek," katanya sambil mengambil balsam yang ada di atas meja Anton.
Intan mulai mengoleskan balsam itu ke punggung Anton di bagian atas, dekat leher. Ia mengambil uang receh yang tadi diberikan Anton, mulai menggerakkannya pada bagian yang tadi diolesi balsam.
"Tan, hangat...," kata Anton.
"Gimana, Mas, agak enakan kan sekarang?"
"Kalau yang ngerikin kamu beda, Tan. Hangat dan bikin gembira. Hangatnya sampai di relung hati."
"Ah, Mas ini!" kata Intan sambil menepuk pundak Anton.
"Aduh!" goda Anton.
Intan tak menyangka, Anton membalikkan badannya, memandang wajahnya.
"Kenapa, Mas? Sakit ya tadi kupukul?" tanya Intan.
Anton mendekatkan wajahnya ke wajah Intan. Dag dig dug, jantung Intan berdebar kencang. Ia merasakan harus menjauhi Anton saat ini, namun dia tak kuasa beranjak sedikit pun. Apa yang dia rasakan bersama Anton berbeda jauh dengan apa yang dirasakannya bersama Hendra. Bersama Anton, walaupun jantungnya berdebar-debar, dia masih bisa merasakan cinta. "Ada kehangatan yang lebih hangat dari balsam ini, Tan," bisik Anton.
"Mas...."
Anton mulai menciumi bibir Intan. Intan menyambut ciuman itu dengan rela. Dan, Intan begitu terkejut ketika ada sentuhan di dadanya. Dan sentuhan itu berubah jadi remasan yang lembut. Intan hendak menepis tangan Anton yang nakal itu, namun dia memilih pasrah. Bagaimana pun juga, dia mencintai Anton.
Anton merebahkan Intan di kasurnya. Tangannya bergerak ke arah lain, ke perut Intan. Anton menemukan ujung baju Intan. Intan hendak menjerit ketika Anton mulai menarik baju Intan, hendak melepasnya. Intan hanya memejamkan matanya -- bimbang dan serba salah. Apakah ia telah menjadi wanita murahan? Tapi, dia sudah pasrah. Paling tidak, Anton tadi sudah menyatakan bahwa dia "ibu yang baik". Terserah Anton mau berbuat apa, asal dia menjadi milik Anton selamanya. Namun, dia tetap mengharapkan keajaiban agar Anton menghentikan semua cumbuannya ini.
Pagar rumah Anton bergeser, suaranya cukup keras. Anton segera bangkit dari tempat tidurnya. "Bapak ibuku datang, Tan," katanya dengan gegabah.
Intan pun merapikan rambutnya dengan sisir yang ada di kamar itu. Ia juga merapikan bajunya yang belum sempat terlepas dari tubuhnya. "Aku keluar dulu, Mas. Aku ke dapur," kata Intan.
"Oke, segera! Kamu pura-pura cuci piring, Tan!"
Anton mengenakan bajunya lagi. Ia segera menyalakan televisi, menonton sinetron yang tengah diputar oleh sebuah stasiun televisi.
"Lho, Ma, kok pulangnya cepat. Katanya tadi mau mampir ke mal?"
"Enggak jadi, Ton. Pak Sugeng dan Bu Sugeng langsung pulang. Pak Sugeng perutnya tiba-tiba mules habis kondangan tadi," kata Ibu Anton.
"Oh gitu."
"Intan mana, Ton?" tanya bapak Anton.
"Di belakang, Pa. Masih nyuci gelas."
Ibu Anton berjalan ke dapur. "Anak manisku yang gembira, tante ada oleh-oleh nih buat kamu," katanya dengan setengah berteriak.
"Halo, Tante," kata Intan dengan senyum lebar. "Apa itu, Tante?"
Ibu Anton menunjukkan suvenir yang dibawanya dari pernikahan itu. Suvenir itu adalah sepasang cangkir cantik dan mungil yang bertuliskan nama kedua mempelai yang melangsungkan pernikahan. Ada juga hiasan bergambar hati di situ. Kedua cangkir itu terbuat dari keramik yang halus, berwarna merah hati.
"Bagus banget ya," kata Intan sambil menimang-nimang cangkir itu.
"Iya, ini untuk kamu kok, Nak," kata ibu Anton sambil menyerahkan suvenir itu kepada Intan. "Tadi ibu dikasih dua biji. Jadi, ini kamu bawa aja."
"Wah, makasih, Tante," kata Intan. Saat itu debar jantungnya mereda. Betapa dia bersyukur, kejadian di kamar tadi tidak ketahuan. Ia begitu takut kalau orangtua Anton mendapatinya lagi bercumbu di kamar. Saat Intan pura-pura mencuci gelas di dapur tadi, dia sempat menitikkan air mata. Dia merasa dirinya begitu murahan, mau saja dicumbui Anton. Intan mendengar pembicaraan Anton dan ibunya soal acara ke mal itu. Kalau mereka memang jadi ke mal, entah apa jadinya.

ANTON mengajak Intan makan malam di sebuah warung lesehan. Anton tidak banyak bicara, Intan juga merasa canggung hendak mengatakan apa.
            "Mas," kata Intan sambil menunggu pesanan makanan datang. "Bolehkah aku meminta satu hal?"
            Anton mengusap wajahnya dengan kedua tangannya. "Aku sudah tahu, Tan, apa yang kamu minta," katanya.
            Intan menyipitkan matanya. "Apa coba, Mas?"
            Anton menekukkan jari-jari tangannya hingga terdengar beberapa suara gemeletuk. "Ya... kurasa soal tadi. Soal buka-bukaan tadi," katanya.
            "Terus, permintaanku?"
            "Kurasa... kamu minta agar aku enggak gitu lagi. Ya kan?"
            Intan menggenggam jari-jemari Anton. "Mas, aku cinta sama Mas. Enggak usah ditanya seberapa besar cintaku ini. Tapi, mungkin aku orang kuno, Mas. Aku pengen... yang begituan itu kalo kita udah resmi nikah," kata Intan sambil meremas beberapa jari Anton.
            Anton membalas remasan itu. Ia mengangguk pelan.
            Intan melepaskan genggaman Anton, mengambil suvenir yang tadi diberikan oleh ibu Anton. "Kalau Mas memang mencintai aku, suatu saat kita akan mengganti kedua nama yang ada di cangkir mungil ini dengan nama kita, Mas," kata Intan.
            Anton mendesahkan napas panjang. "Aku," kata Anton sambil menggaruk-garuk kepalanya, "enggak bisa janji, Tan, untuk hal itu."
            Intan memajukan bibir bawahnya. Matanya menerawang ke arah yang tidak jelas.
            "Tan, bukan aku enggak mau berkomitmen. Aku perlu waktu, Tan. Maafin soal tadi ya? Aku benar-benar...," suara Anton terdengar makin kecil. "Aku benar-benar lagi nafsu banget tadi."
            Intan hendak menyatakan dengan berteriak kalau semua lelaki memang pembohong dan pendusta, maunya cuma melampiaskan nafsu saja. Namun, sekuat tenaga ia menahan emosinya. Ia ingin menjaga hubungan ini sampai akhir. "Jadi, Mas akan mencintaiku sampai kapan?" tanya Intan.
            "Tan, sejujurnya...," kata Anton sambil memalingkan wajahnya, "aku enggak tahu."
            Intan ingin sekali menangis pada saat itu. Mengapa Anton harus menyatakan bahwa dia seorang calon ibu yang baik segala? Pesanan makanan datang, sekuat tenaga Intan menyembunyikan dukanya. Sebentuk kepastian, hanya itu yang dia inginkan. Saat mengunyah makanannya, Intan menyadari suatu kenyataan bahwa di dunia ini tidak ada yang pasti.
Dia tidak pasti lulus kuliah.
Ibunya tidak pasti datang kembali.
Anton tidak pasti setia kepadanya.
Saat merenungkan berbagai ketidakpastian itu, tiba-tiba Intan teringat Vina yang baru saja dikecewakan. Vina, wanita yang serba tidak pasti hidupnya. Ingatan tentang Vina membuat Intan memandangi wajah Anton lagi. Pandangannya kali ini membuat Anton tergelak, memundurkan kepalanya.
"Ada apa, Tan?" tanya Anton dengan cepat.
Intan diam beberapa saat, memutar-mutarkan sendok yang dipegangnya. "Aku... teringat seseorang, Mas."
"Siapa?" tanya Anton sambil meletakkan sendoknya, lalu mengambil gelas yang berisi air putih di sampingnya. Ia meminum air itu beberapa teguk.
"Dia... seseorang yang selalu hidup dalam ketidakpastian. Dia baru saja kehilangan apa yang paling dia harapkan," kata Intan dengan mata yang tidak melihat ke wajah Anton.
"Tan, siapa sih? Kok omonganmu jadi ngelantur gini?" kata Anton. Ia minum air putihnya lagi beberapa teguk.
Intan menatap wajah Anton. "Vina, Mas. Teman kosku. Masih ingat?"
Anton tampak kaget begitu nama itu disebut. Ia hampir memuncratkan air yang masih ada di mulutnya. Intan pun tak kalah terkejut melihat ekspresi itu.
Anton berdeham beberapa kali sambil mengangguk-angguk dan mengatur napasnya, "Ya, ya... aku ingat dia. Aku ingat," katanya.
Intan menundukkan kepalanya. Apa yang baru saja dilihatnya menerbitkan kecurigaan. Ia pun langsung teringat pada kejadian ketika Anton pertama kali bertemu Vina. Hatinya pun segera diliputi rasa curiga. Dan, rasa cemburu.

Senin, 22 Mei 2017

Bab 10: Merpati dan Rumah Kenangan


SEBULAN berlalu sejak malam yang tak terlupakan di Pulosari itu. Hujan mulai sering turun di kota Malang. Cuaca sering dingin.
Tentang cerpen yang ditulis Intan, Anton berkata bahwa dia menyukainya. Dia menyarankan agar Intan mengirimkan tulisannya itu ke majalah atau koran, namun Intan merasa masih kurang yakin cerpen itu cukup baik. Anton juga menyatakan bahwa dia suka dengan tokoh pria yang seorang diri membesarkan putrinya itu. "Itu mengingatkan aku tentang nenekmu, Tan. Betul enggak, Tan?" tanya Anton.
"Iya, Mas. Sedikit banyak sosok nenek diwakili lewat tokoh itu."
"Aku jadi makin penasaran dengan nenekmu, Tan. Aku ingin sekali melihatnya. Semoga bisa kesampaian."
Mendengar kata-kata itu, Intan jadi makin yakin bahwa Anton adalah sosok yang bisa diandalkan. Tiada hari yang dilalui Intan tanpa telepon dan pesan pendek dari Anton. Mereka tidak selalu keluar saat malam Minggu karena kadang Intan harus bekerja. Anton sudah mengajak Intan keluar empat kali. Tidak semuanya ke warung atau tempat makan. Mereka juga pernah menghabiskan waktu di perpustakaan kota Malang saat hari Minggu.
Anton sudah menanyakan kesediaan Intan untuk menjadi kekasihnya. Namun, Intan tak langsung memberikan jawaban. Ia ingin melihat sampai sejauh mana Anton memberi perhatian dan rasa sayang buatnya.
            "Tan," kata Anton di telepon. "Ada kabar gembira nih."
            "Oh ya? Kabar apa, Mas?" tanya Intan yang lagi menunggu dosen datang di ruang kelas.
            "Honor cerpenku yang dimuat koran cair." Anton mengucapkan kalimat itu dengan penuh semangat.
            "Wah, keren.... Perasaan Mas belum cerita itu cerpennya tentang apa ya, Mas? Mas kan sering kirim cerpen. Aku udah pernah baca apa belum?"
            "Tan," kata Anton dengan suara yang berubah agak pelan. "Cerpen ini tentang kamu, Tan. Tentang kita."
            Intan tak mengatakan apa pun. Dia terkesima mendengar jawaban itu. Dia memandang ke awan, melihat awan-awan di langit.
            "Aku mau traktir kamu makan bakso kesukaanmu, Tan. Mau ya?"
            Intan tak menjawab pertanyaan itu beberapa detik.
"Tan?" kata Anton dengan nada bicara yang gusar. "Kamu sakit apa enggak?"
Intan berpikir, mungkin, salah satu kebahagiaan terbesar menjadi kekasih seorang penulis adalah ketika seorang penulis mengarang cerita atau puisi tentang kekasihnya, dimuat koran atau majalah, mendapat honor, lalu menraktirnya. "Iya, Mas. Aku dengar. Ini aku lagi sambil jalan. Apa yang Mas ceritakan tentang aku dalam cerita itu?" tanya Intan.
            "Ya, nanti kutunjukin deh. Yang jelas, aku enggak melakukan pencemaran nama baik kok," kata Anton sambil menderaikan tawanya yang riang.
            "Ya udah, Mas," kata Intan sambil tertawa juga. "Aku tunggu Mas jam 3 di kampus, habis kuliah kita ke warung bakso biasanya itu. Gimana?"
            "Oke."
            Sore itu, Anton menunjukkan kepada Intan cerpen yang dibuatnya. Intan menyukai judulnya, Merpati dan Rumah Kenangan. Ilustrasi cerpen yang dibuat oleh ilustrator koran juga sangat baik -- di sana ada gambar sebuah rumah yang kecil dengan pohon kelapa, kebun, dan berpagar kayu. Di pagar kayu, ada seekor merpati yang sedang bertengger. Intan membaca bagian awal cerita itu dengan penuh penghayatan.
            "Emm, ada baiknya kamu baca di rumah aja, Tan. Udah siang sekarang. Kita makan yuk," kata Anton ketika pelayan datang mengantarkan dua mangkok bakso.
            Intan melipat koran itu, lalu memandangi wajah Anton yang ada di depannya. "Mas," katanya.
            "Ya?"
            "Korannya kubawa enggak apa-apa kan?" tanya Intan sambil menuangkan kecap dan sambal ke baksonya.
            "Enggak apa-apa. Asal jangan hilang aja. Aku enggak punya cadangannya," kata Anton.
            Intan sebenarnya ingin menanyakan jumlah honor yang diterima Anton. Tapi, dia selalu menahan niat itu. Dari pembicaraannya dengan Anton tentang tulis-menulis selama ini, dia bisa menyimpulkan bahwa tujuan Anton menulis bukan mendapatkan uang. Anton dibesarkan di keluarga yang cukup mampu, ayahnya pedagang pakaian dan ibunya guru. Intan juga tak pernah mau menceritakan soal keuangan kepada Anton. Dia khawatir Anton akan kasihan kepadanya, dan dia tidak suka dikasihani orang lain.
Hujan turun rintik-rintik. Anton dan Intan sudah menghabiskan bakso mereka. Intan membuka lagi halaman koran yang berisi cerpen Anton. Matanya tertuju ke bagian akhir cerpen itu: Untuk Intan Septianty, yang kini sering hadir dalam mimpi-mimpiku. Salam sayang selalu. Gerakan mata Intan teramati oleh Anton.
"Tan," kata Anton dengan lembut. "Apa ini waktu yang tepat?"
Intan menghadapkan wajahnya ke wajah Anton. Dia pura-pura tidak mengerti ke mana arah pembicaraan ini. "Waktu yang tepat untuk...? Pulang?"
"Masih gerimis, nanti masuk angin, Tan. Tapi, maksudku...," kata Anton sambil mengubah posisi duduknya di bangku panjang yang mereka duduki bersama. "Maksudku... apa ini waktu yang tepat untuk berbicara soal... cinta?"
Intan menutup matanya, menundukkan kepalanya. Dia menghembuskan napas panjang. "Mungkin, ini waktu yang tepat, Mas," katanya sambil mengangkat wajahnya dan merapikan rambut bagian depannya yang menutupi kening dan pipinya.
"Tan, maukah kita menjalin hubungan yang serius?" tanya Anton.
Intan memalingkan wajahnya, mengubah posisi duduknya. Intan memandang jalan di depannya, Anton memandangi pipinya.
"Mas," kata Intan setengah berbisik. "Setelah aku pikirkan... aku tidak punya alasan untuk...."
"Untuk?" tanya Anton sambil meraih tangan Intan.
"Untuk... menolak cinta Mas Anton," kata Intan sambil mengubah posisi duduknya, menghadap Anton. Dia merasa yakin tak merendahkan dirinya sendiri ketika meraih kedua tangan Anton dan kemudian menggenggamnya dengan erat.
Anton berdiri sejenak dari tempat duduknya. Dia melihat penjual bakso yang sedang terlelap. "Tan, hanya kita berdua yang ada di sini," kata Anton sambil mendekatkan wajahnya ke wajah Intan.
"Ada gerimis, Mas, yang menjadi saksi," kata Intan dengan mata yang berbinar-binar dan senyum yang lebar.
Intan menutup matanya ketika bibir Anton itu mengecup keningnya.
Beberapa detik kemudian, dia pun pasrah ketika bibir itu menempel di bibirnya juga. Selama sepuluh detik, Intan merasakan kehangatan yang belum pernah dia rasakan sebelumnya.
Ketika Anton melepaskan ciumannya, Intan pun merangkul lengan Anton. "Mas...," kata Intan.
"Ya?" Anton menatap wajahnya Intan yang begitu dekat di wajahnya.
"Mulai hari ini, 10 November 2010, kita akan menjaga hati kita untuk selalu satu. Aku mau setia sama Mas," kata Intan sambil memegangi pundak Anton.
"Aku juga," kata Anton, lalu mengecup kening Intan.
"Eh," kata Intan dengan suara yang agak mengejutkan. "Tanggal jadian kita nomor cantik lho!"
"Iya ya, cantik. Sepuluh sebelas sepuluh. Dan...," kata Anton, kali ini sambil mengarahkan bibirnya ke telinga Intan, berbisik. "Cantik, seperti dia yang ada di sampingku."
Anton duduk makin rapat di samping Intan. Ia rangkul pundak gadis kesayangannya itu. Intan merebahkan kepalanya di pundak Anton. "Rambutmu wangi, Tan," kata Anton.
"Buatlah puisi nanti malam tentang rambutku, Mas," kata Intan.
"Enggak ah," kata Anton dengan nada menggoda. "Aku mau buat puisi tentang bibirmu saja."
"Kenapa bibir?" kata Intan dengan suara yang lirih.
"Karena bibirmu hangat," bisik Anton di telinganya.
Intan melepaskan rangkulan Anton. "Sekali lagi yuk?" bisik Intan.
Sepasang manusia ini pun mulai menghayati asmara yang terjalin dalam buaian gerimis. Hampir setengah menit mereka menyatukan sepasang bibir mereka. Asmara, kesunyian, dan gerimis -- waktu pun serasa berhenti bergerak ketika mereka berdua merasakan sebentuk kehangatan yang lembut.

MALAM hari, saat hendak tidur, Intan membaca keseluruhan cerita itu. Tokoh wanita dalam cerita itu memang mirip sekali dengan Intan. Dia bernama Mayang. Di dalamnya ada tokoh pria bernama Wahyu yang tampaknya mewakili sosok Anton. Berbeda dari beberapa cerpennya yang lain, kali ini Anton menulis dengan nama lengkapnya sendiri, Anton Setiawan.
            Di dalam cerpen itu dikisahkan bahwa Mayang adalah seorang gadis yang suka mendaki gunung bersama teman-temannya. Suatu ketika dia kelelahan dalam perjalanan turun gunung Semeru. Dia tertinggal rombongannya. Hujan sedang turun, Mayang berjalan sendirian di tanah becek yang bila tidak hati-hati dilalui bisa membuatnya terpeleset. Sebelum turun gunung, kondisi badannya memang kurang baik, merasa agak limbung dan mual.
            Mayang pun akhirnya tiba di sebuah gundukan. Gundukan itu cukup tinggi, tanah cokelat di situ becek semuanya, licin. Dia perlahan-lahan mendaki gundukan itu sambil merayap, namun terpeleset. Bagian yang menarik adalah ini:

Saat Mayang terjatuh, sungguh tak terduga, ada seorang pendaki asing yang muncul di belakangnya. Seorang pria. Ia membantu melepas tas yang Mayang bawa dan mengangkatnya berdiri. Dengan bantuannya, Mayang pun lolos dari maut, tidak jadi masuk jurang. Herannya, pendaki itu sama sekali tak bicara. Ia meninggalkan Mayang setelah melihat keadaannya baik-baik saja. Mayang masih sempat melihat wajahnya walau malam cukup gelap saat itu.
Hingga kini Mayang menganggap kalau pria itu adalah pendaki utusan Tuhan.

Dikisahkan, Mayang sempat bertemu lagi dengan pria itu saat sudah berada di sebuah pos di bagian bawah gunung. Namun, pria itu tampaknya tak melihat Mayang, turun gunung duluan. Dari beberapa orang yang tampaknya serombongan dengan pria itu, Mayang mendapat informasi dia bernama Wahyu.
Pada bagian akhir, Anton mengisahkan Mayang yang akhirnya tiba di rumahnya. Saat kembali, dia disambut oleh merpati biru peliharaannya yang sedang bertengger di pagar depan rumahnya. Hati Mayang begitu bahagia melihat merpatinya itu. Dia pun masuk ke dalam rumah, mengenang semua perjalanannya yang dianugerahi keselamatan dengan cara yang ajaib dan tak terduga.
"Rumah mungil itu tampak teramat damai, sedamai hati yang luput dari maut. Mayang mengenang semua perjalanannya di teras rumah saat senja berakhir, saat merpati biru kembali pulang ke dalam rumah kecilnya," demikian kata-kata penutup yang ada di dalam cerpen itu.