SEBULAN berlalu sejak malam yang tak terlupakan di Pulosari itu. Hujan mulai sering turun di kota Malang. Cuaca sering dingin.
Tentang
cerpen yang ditulis Intan, Anton berkata bahwa dia menyukainya. Dia menyarankan
agar Intan mengirimkan tulisannya itu ke majalah atau koran, namun Intan merasa
masih kurang yakin cerpen itu cukup baik. Anton juga menyatakan bahwa dia suka
dengan tokoh pria yang seorang diri membesarkan putrinya itu. "Itu
mengingatkan aku tentang nenekmu, Tan. Betul enggak, Tan?" tanya Anton.
"Iya,
Mas. Sedikit banyak sosok nenek diwakili lewat tokoh itu."
"Aku
jadi makin penasaran dengan nenekmu, Tan. Aku ingin sekali melihatnya. Semoga
bisa kesampaian."
Mendengar
kata-kata itu, Intan jadi makin yakin bahwa Anton adalah sosok yang bisa
diandalkan. Tiada hari yang dilalui Intan tanpa telepon dan pesan pendek dari
Anton. Mereka tidak selalu keluar saat malam Minggu karena kadang Intan harus
bekerja. Anton sudah mengajak Intan keluar empat kali. Tidak semuanya ke warung
atau tempat makan. Mereka juga pernah menghabiskan waktu di perpustakaan kota
Malang saat hari Minggu.
Anton
sudah menanyakan kesediaan Intan untuk menjadi kekasihnya. Namun, Intan tak
langsung memberikan jawaban. Ia ingin melihat sampai sejauh mana Anton memberi
perhatian dan rasa sayang buatnya.
"Tan," kata Anton di
telepon. "Ada kabar gembira nih."
"Oh ya? Kabar apa, Mas?"
tanya Intan yang lagi menunggu dosen datang di ruang kelas.
"Honor cerpenku yang dimuat
koran cair." Anton mengucapkan kalimat itu dengan penuh semangat.
"Wah, keren.... Perasaan Mas
belum cerita itu cerpennya tentang apa ya, Mas? Mas kan sering kirim cerpen. Aku
udah pernah baca apa belum?"
"Tan," kata Anton dengan
suara yang berubah agak pelan. "Cerpen ini tentang kamu, Tan. Tentang
kita."
Intan tak mengatakan apa pun. Dia terkesima
mendengar jawaban itu. Dia memandang ke awan, melihat awan-awan di langit.
"Aku mau traktir kamu makan
bakso kesukaanmu, Tan. Mau ya?"
Intan tak menjawab pertanyaan itu
beberapa detik.
"Tan?"
kata Anton dengan nada bicara yang gusar. "Kamu sakit apa enggak?"
Intan
berpikir, mungkin, salah satu kebahagiaan terbesar menjadi kekasih seorang
penulis adalah ketika seorang penulis mengarang cerita atau puisi tentang kekasihnya,
dimuat koran atau majalah, mendapat honor, lalu menraktirnya. "Iya, Mas.
Aku dengar. Ini aku lagi sambil jalan. Apa yang Mas ceritakan tentang aku dalam
cerita itu?" tanya Intan.
"Ya, nanti kutunjukin deh. Yang
jelas, aku enggak melakukan pencemaran nama baik kok," kata Anton sambil
menderaikan tawanya yang riang.
"Ya udah, Mas," kata Intan
sambil tertawa juga. "Aku tunggu Mas jam 3 di kampus, habis kuliah kita ke
warung bakso biasanya itu. Gimana?"
"Oke."
Sore itu, Anton menunjukkan kepada
Intan cerpen yang dibuatnya. Intan menyukai judulnya, Merpati dan Rumah Kenangan. Ilustrasi cerpen yang dibuat oleh
ilustrator koran juga sangat baik -- di sana ada gambar sebuah rumah yang kecil
dengan pohon kelapa, kebun, dan berpagar kayu. Di pagar kayu, ada seekor
merpati yang sedang bertengger. Intan membaca bagian awal cerita itu dengan
penuh penghayatan.
"Emm, ada baiknya kamu baca di
rumah aja, Tan. Udah siang sekarang. Kita makan yuk," kata Anton ketika
pelayan datang mengantarkan dua mangkok bakso.
Intan melipat koran itu, lalu
memandangi wajah Anton yang ada di depannya. "Mas," katanya.
"Ya?"
"Korannya kubawa enggak apa-apa
kan?" tanya Intan sambil menuangkan kecap dan sambal ke baksonya.
"Enggak apa-apa. Asal jangan
hilang aja. Aku enggak punya cadangannya," kata Anton.
Intan sebenarnya ingin menanyakan
jumlah honor yang diterima Anton. Tapi, dia selalu menahan niat itu. Dari
pembicaraannya dengan Anton tentang tulis-menulis selama ini, dia bisa
menyimpulkan bahwa tujuan Anton menulis bukan mendapatkan uang. Anton dibesarkan
di keluarga yang cukup mampu, ayahnya pedagang pakaian dan ibunya guru. Intan
juga tak pernah mau menceritakan soal keuangan kepada Anton. Dia khawatir Anton
akan kasihan kepadanya, dan dia tidak suka dikasihani orang lain.
Hujan
turun rintik-rintik. Anton dan Intan sudah menghabiskan bakso mereka. Intan
membuka lagi halaman koran yang berisi cerpen Anton. Matanya tertuju ke bagian
akhir cerpen itu: Untuk Intan Septianty,
yang kini sering hadir dalam mimpi-mimpiku. Salam sayang selalu. Gerakan
mata Intan teramati oleh Anton.
"Tan,"
kata Anton dengan lembut. "Apa ini waktu yang tepat?"
Intan
menghadapkan wajahnya ke wajah Anton. Dia pura-pura tidak mengerti ke mana arah
pembicaraan ini. "Waktu yang tepat untuk...? Pulang?"
"Masih
gerimis, nanti masuk angin, Tan. Tapi, maksudku...," kata Anton sambil
mengubah posisi duduknya di bangku panjang yang mereka duduki bersama. "Maksudku...
apa ini waktu yang tepat untuk berbicara soal... cinta?"
Intan
menutup matanya, menundukkan kepalanya. Dia menghembuskan napas panjang.
"Mungkin, ini waktu yang tepat, Mas," katanya sambil mengangkat wajahnya
dan merapikan rambut bagian depannya yang menutupi kening dan pipinya.
"Tan,
maukah kita menjalin hubungan yang serius?" tanya Anton.
Intan
memalingkan wajahnya, mengubah posisi duduknya. Intan memandang jalan di
depannya, Anton memandangi pipinya.
"Mas,"
kata Intan setengah berbisik. "Setelah aku pikirkan... aku tidak punya
alasan untuk...."
"Untuk?"
tanya Anton sambil meraih tangan Intan.
"Untuk...
menolak cinta Mas Anton," kata Intan sambil mengubah posisi duduknya,
menghadap Anton. Dia merasa yakin tak merendahkan dirinya sendiri ketika meraih
kedua tangan Anton dan kemudian menggenggamnya dengan erat.
Anton
berdiri sejenak dari tempat duduknya. Dia melihat penjual bakso yang sedang
terlelap. "Tan, hanya kita berdua yang ada di sini," kata Anton
sambil mendekatkan wajahnya ke wajah Intan.
"Ada
gerimis, Mas, yang menjadi saksi," kata Intan dengan mata yang
berbinar-binar dan senyum yang lebar.
Intan
menutup matanya ketika bibir Anton itu mengecup keningnya.
Beberapa
detik kemudian, dia pun pasrah ketika bibir itu menempel di bibirnya juga. Selama
sepuluh detik, Intan merasakan kehangatan yang belum pernah dia rasakan
sebelumnya.
Ketika
Anton melepaskan ciumannya, Intan pun merangkul lengan Anton. "Mas...,"
kata Intan.
"Ya?"
Anton menatap wajahnya Intan yang begitu dekat di wajahnya.
"Mulai
hari ini, 10 November 2010, kita akan menjaga hati kita untuk selalu satu. Aku
mau setia sama Mas," kata Intan sambil memegangi pundak Anton.
"Aku
juga," kata Anton, lalu mengecup kening Intan.
"Eh,"
kata Intan dengan suara yang agak mengejutkan. "Tanggal jadian kita nomor
cantik lho!"
"Iya
ya, cantik. Sepuluh sebelas sepuluh. Dan...," kata Anton, kali ini sambil
mengarahkan bibirnya ke telinga Intan, berbisik. "Cantik, seperti dia yang
ada di sampingku."
Anton
duduk makin rapat di samping Intan. Ia rangkul pundak gadis kesayangannya itu.
Intan merebahkan kepalanya di pundak Anton. "Rambutmu wangi, Tan,"
kata Anton.
"Buatlah
puisi nanti malam tentang rambutku, Mas," kata Intan.
"Enggak
ah," kata Anton dengan nada menggoda. "Aku mau buat puisi tentang
bibirmu saja."
"Kenapa
bibir?" kata Intan dengan suara yang lirih.
"Karena
bibirmu hangat," bisik Anton di telinganya.
Intan
melepaskan rangkulan Anton. "Sekali lagi yuk?" bisik Intan.
Sepasang
manusia ini pun mulai menghayati asmara yang terjalin dalam buaian gerimis.
Hampir setengah menit mereka menyatukan sepasang bibir mereka. Asmara,
kesunyian, dan gerimis -- waktu pun serasa berhenti bergerak ketika mereka
berdua merasakan sebentuk kehangatan yang lembut.
MALAM
hari, saat hendak tidur, Intan membaca keseluruhan cerita itu. Tokoh wanita
dalam cerita itu memang mirip sekali dengan Intan. Dia bernama Mayang. Di
dalamnya ada tokoh pria bernama Wahyu yang tampaknya mewakili sosok Anton.
Berbeda dari beberapa cerpennya yang lain, kali ini Anton menulis dengan nama
lengkapnya sendiri, Anton Setiawan.
Di dalam cerpen itu dikisahkan bahwa
Mayang adalah seorang gadis yang suka mendaki gunung bersama teman-temannya.
Suatu ketika dia kelelahan dalam perjalanan turun gunung Semeru. Dia tertinggal
rombongannya. Hujan sedang turun, Mayang berjalan sendirian di tanah becek yang
bila tidak hati-hati dilalui bisa membuatnya terpeleset. Sebelum turun gunung,
kondisi badannya memang kurang baik, merasa agak limbung dan mual.
Mayang pun akhirnya tiba di sebuah
gundukan. Gundukan itu cukup tinggi, tanah cokelat di situ becek semuanya,
licin. Dia perlahan-lahan mendaki gundukan itu sambil merayap, namun
terpeleset. Bagian yang menarik adalah ini:
Saat
Mayang terjatuh, sungguh tak terduga, ada seorang pendaki asing yang muncul di
belakangnya. Seorang pria. Ia membantu melepas tas yang Mayang bawa dan
mengangkatnya berdiri. Dengan bantuannya, Mayang pun lolos dari maut, tidak
jadi masuk jurang. Herannya, pendaki itu sama sekali tak bicara. Ia
meninggalkan Mayang setelah melihat keadaannya baik-baik saja. Mayang masih
sempat melihat wajahnya walau malam cukup gelap saat itu.
Hingga
kini Mayang menganggap kalau pria itu adalah pendaki utusan Tuhan.
Dikisahkan,
Mayang sempat bertemu lagi dengan pria itu saat sudah berada di sebuah pos di
bagian bawah gunung. Namun, pria itu tampaknya tak melihat Mayang, turun gunung
duluan. Dari beberapa orang yang tampaknya serombongan dengan pria itu, Mayang mendapat
informasi dia bernama Wahyu.
Pada
bagian akhir, Anton mengisahkan Mayang yang akhirnya tiba di rumahnya. Saat
kembali, dia disambut oleh merpati biru peliharaannya yang sedang bertengger di
pagar depan rumahnya. Hati Mayang begitu bahagia melihat merpatinya itu. Dia
pun masuk ke dalam rumah, mengenang semua perjalanannya yang dianugerahi
keselamatan dengan cara yang ajaib dan tak terduga.
"Rumah
mungil itu tampak teramat damai, sedamai hati yang luput dari maut. Mayang
mengenang semua perjalanannya di teras rumah saat senja berakhir, saat merpati biru
kembali pulang ke dalam rumah kecilnya," demikian kata-kata penutup yang
ada di dalam cerpen itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah mampir, dan sudi berkomentar.