Senin, 22 Mei 2017

Bab 10: Merpati dan Rumah Kenangan


SEBULAN berlalu sejak malam yang tak terlupakan di Pulosari itu. Hujan mulai sering turun di kota Malang. Cuaca sering dingin.
Tentang cerpen yang ditulis Intan, Anton berkata bahwa dia menyukainya. Dia menyarankan agar Intan mengirimkan tulisannya itu ke majalah atau koran, namun Intan merasa masih kurang yakin cerpen itu cukup baik. Anton juga menyatakan bahwa dia suka dengan tokoh pria yang seorang diri membesarkan putrinya itu. "Itu mengingatkan aku tentang nenekmu, Tan. Betul enggak, Tan?" tanya Anton.
"Iya, Mas. Sedikit banyak sosok nenek diwakili lewat tokoh itu."
"Aku jadi makin penasaran dengan nenekmu, Tan. Aku ingin sekali melihatnya. Semoga bisa kesampaian."
Mendengar kata-kata itu, Intan jadi makin yakin bahwa Anton adalah sosok yang bisa diandalkan. Tiada hari yang dilalui Intan tanpa telepon dan pesan pendek dari Anton. Mereka tidak selalu keluar saat malam Minggu karena kadang Intan harus bekerja. Anton sudah mengajak Intan keluar empat kali. Tidak semuanya ke warung atau tempat makan. Mereka juga pernah menghabiskan waktu di perpustakaan kota Malang saat hari Minggu.
Anton sudah menanyakan kesediaan Intan untuk menjadi kekasihnya. Namun, Intan tak langsung memberikan jawaban. Ia ingin melihat sampai sejauh mana Anton memberi perhatian dan rasa sayang buatnya.
            "Tan," kata Anton di telepon. "Ada kabar gembira nih."
            "Oh ya? Kabar apa, Mas?" tanya Intan yang lagi menunggu dosen datang di ruang kelas.
            "Honor cerpenku yang dimuat koran cair." Anton mengucapkan kalimat itu dengan penuh semangat.
            "Wah, keren.... Perasaan Mas belum cerita itu cerpennya tentang apa ya, Mas? Mas kan sering kirim cerpen. Aku udah pernah baca apa belum?"
            "Tan," kata Anton dengan suara yang berubah agak pelan. "Cerpen ini tentang kamu, Tan. Tentang kita."
            Intan tak mengatakan apa pun. Dia terkesima mendengar jawaban itu. Dia memandang ke awan, melihat awan-awan di langit.
            "Aku mau traktir kamu makan bakso kesukaanmu, Tan. Mau ya?"
            Intan tak menjawab pertanyaan itu beberapa detik.
"Tan?" kata Anton dengan nada bicara yang gusar. "Kamu sakit apa enggak?"
Intan berpikir, mungkin, salah satu kebahagiaan terbesar menjadi kekasih seorang penulis adalah ketika seorang penulis mengarang cerita atau puisi tentang kekasihnya, dimuat koran atau majalah, mendapat honor, lalu menraktirnya. "Iya, Mas. Aku dengar. Ini aku lagi sambil jalan. Apa yang Mas ceritakan tentang aku dalam cerita itu?" tanya Intan.
            "Ya, nanti kutunjukin deh. Yang jelas, aku enggak melakukan pencemaran nama baik kok," kata Anton sambil menderaikan tawanya yang riang.
            "Ya udah, Mas," kata Intan sambil tertawa juga. "Aku tunggu Mas jam 3 di kampus, habis kuliah kita ke warung bakso biasanya itu. Gimana?"
            "Oke."
            Sore itu, Anton menunjukkan kepada Intan cerpen yang dibuatnya. Intan menyukai judulnya, Merpati dan Rumah Kenangan. Ilustrasi cerpen yang dibuat oleh ilustrator koran juga sangat baik -- di sana ada gambar sebuah rumah yang kecil dengan pohon kelapa, kebun, dan berpagar kayu. Di pagar kayu, ada seekor merpati yang sedang bertengger. Intan membaca bagian awal cerita itu dengan penuh penghayatan.
            "Emm, ada baiknya kamu baca di rumah aja, Tan. Udah siang sekarang. Kita makan yuk," kata Anton ketika pelayan datang mengantarkan dua mangkok bakso.
            Intan melipat koran itu, lalu memandangi wajah Anton yang ada di depannya. "Mas," katanya.
            "Ya?"
            "Korannya kubawa enggak apa-apa kan?" tanya Intan sambil menuangkan kecap dan sambal ke baksonya.
            "Enggak apa-apa. Asal jangan hilang aja. Aku enggak punya cadangannya," kata Anton.
            Intan sebenarnya ingin menanyakan jumlah honor yang diterima Anton. Tapi, dia selalu menahan niat itu. Dari pembicaraannya dengan Anton tentang tulis-menulis selama ini, dia bisa menyimpulkan bahwa tujuan Anton menulis bukan mendapatkan uang. Anton dibesarkan di keluarga yang cukup mampu, ayahnya pedagang pakaian dan ibunya guru. Intan juga tak pernah mau menceritakan soal keuangan kepada Anton. Dia khawatir Anton akan kasihan kepadanya, dan dia tidak suka dikasihani orang lain.
Hujan turun rintik-rintik. Anton dan Intan sudah menghabiskan bakso mereka. Intan membuka lagi halaman koran yang berisi cerpen Anton. Matanya tertuju ke bagian akhir cerpen itu: Untuk Intan Septianty, yang kini sering hadir dalam mimpi-mimpiku. Salam sayang selalu. Gerakan mata Intan teramati oleh Anton.
"Tan," kata Anton dengan lembut. "Apa ini waktu yang tepat?"
Intan menghadapkan wajahnya ke wajah Anton. Dia pura-pura tidak mengerti ke mana arah pembicaraan ini. "Waktu yang tepat untuk...? Pulang?"
"Masih gerimis, nanti masuk angin, Tan. Tapi, maksudku...," kata Anton sambil mengubah posisi duduknya di bangku panjang yang mereka duduki bersama. "Maksudku... apa ini waktu yang tepat untuk berbicara soal... cinta?"
Intan menutup matanya, menundukkan kepalanya. Dia menghembuskan napas panjang. "Mungkin, ini waktu yang tepat, Mas," katanya sambil mengangkat wajahnya dan merapikan rambut bagian depannya yang menutupi kening dan pipinya.
"Tan, maukah kita menjalin hubungan yang serius?" tanya Anton.
Intan memalingkan wajahnya, mengubah posisi duduknya. Intan memandang jalan di depannya, Anton memandangi pipinya.
"Mas," kata Intan setengah berbisik. "Setelah aku pikirkan... aku tidak punya alasan untuk...."
"Untuk?" tanya Anton sambil meraih tangan Intan.
"Untuk... menolak cinta Mas Anton," kata Intan sambil mengubah posisi duduknya, menghadap Anton. Dia merasa yakin tak merendahkan dirinya sendiri ketika meraih kedua tangan Anton dan kemudian menggenggamnya dengan erat.
Anton berdiri sejenak dari tempat duduknya. Dia melihat penjual bakso yang sedang terlelap. "Tan, hanya kita berdua yang ada di sini," kata Anton sambil mendekatkan wajahnya ke wajah Intan.
"Ada gerimis, Mas, yang menjadi saksi," kata Intan dengan mata yang berbinar-binar dan senyum yang lebar.
Intan menutup matanya ketika bibir Anton itu mengecup keningnya.
Beberapa detik kemudian, dia pun pasrah ketika bibir itu menempel di bibirnya juga. Selama sepuluh detik, Intan merasakan kehangatan yang belum pernah dia rasakan sebelumnya.
Ketika Anton melepaskan ciumannya, Intan pun merangkul lengan Anton. "Mas...," kata Intan.
"Ya?" Anton menatap wajahnya Intan yang begitu dekat di wajahnya.
"Mulai hari ini, 10 November 2010, kita akan menjaga hati kita untuk selalu satu. Aku mau setia sama Mas," kata Intan sambil memegangi pundak Anton.
"Aku juga," kata Anton, lalu mengecup kening Intan.
"Eh," kata Intan dengan suara yang agak mengejutkan. "Tanggal jadian kita nomor cantik lho!"
"Iya ya, cantik. Sepuluh sebelas sepuluh. Dan...," kata Anton, kali ini sambil mengarahkan bibirnya ke telinga Intan, berbisik. "Cantik, seperti dia yang ada di sampingku."
Anton duduk makin rapat di samping Intan. Ia rangkul pundak gadis kesayangannya itu. Intan merebahkan kepalanya di pundak Anton. "Rambutmu wangi, Tan," kata Anton.
"Buatlah puisi nanti malam tentang rambutku, Mas," kata Intan.
"Enggak ah," kata Anton dengan nada menggoda. "Aku mau buat puisi tentang bibirmu saja."
"Kenapa bibir?" kata Intan dengan suara yang lirih.
"Karena bibirmu hangat," bisik Anton di telinganya.
Intan melepaskan rangkulan Anton. "Sekali lagi yuk?" bisik Intan.
Sepasang manusia ini pun mulai menghayati asmara yang terjalin dalam buaian gerimis. Hampir setengah menit mereka menyatukan sepasang bibir mereka. Asmara, kesunyian, dan gerimis -- waktu pun serasa berhenti bergerak ketika mereka berdua merasakan sebentuk kehangatan yang lembut.

MALAM hari, saat hendak tidur, Intan membaca keseluruhan cerita itu. Tokoh wanita dalam cerita itu memang mirip sekali dengan Intan. Dia bernama Mayang. Di dalamnya ada tokoh pria bernama Wahyu yang tampaknya mewakili sosok Anton. Berbeda dari beberapa cerpennya yang lain, kali ini Anton menulis dengan nama lengkapnya sendiri, Anton Setiawan.
            Di dalam cerpen itu dikisahkan bahwa Mayang adalah seorang gadis yang suka mendaki gunung bersama teman-temannya. Suatu ketika dia kelelahan dalam perjalanan turun gunung Semeru. Dia tertinggal rombongannya. Hujan sedang turun, Mayang berjalan sendirian di tanah becek yang bila tidak hati-hati dilalui bisa membuatnya terpeleset. Sebelum turun gunung, kondisi badannya memang kurang baik, merasa agak limbung dan mual.
            Mayang pun akhirnya tiba di sebuah gundukan. Gundukan itu cukup tinggi, tanah cokelat di situ becek semuanya, licin. Dia perlahan-lahan mendaki gundukan itu sambil merayap, namun terpeleset. Bagian yang menarik adalah ini:

Saat Mayang terjatuh, sungguh tak terduga, ada seorang pendaki asing yang muncul di belakangnya. Seorang pria. Ia membantu melepas tas yang Mayang bawa dan mengangkatnya berdiri. Dengan bantuannya, Mayang pun lolos dari maut, tidak jadi masuk jurang. Herannya, pendaki itu sama sekali tak bicara. Ia meninggalkan Mayang setelah melihat keadaannya baik-baik saja. Mayang masih sempat melihat wajahnya walau malam cukup gelap saat itu.
Hingga kini Mayang menganggap kalau pria itu adalah pendaki utusan Tuhan.

Dikisahkan, Mayang sempat bertemu lagi dengan pria itu saat sudah berada di sebuah pos di bagian bawah gunung. Namun, pria itu tampaknya tak melihat Mayang, turun gunung duluan. Dari beberapa orang yang tampaknya serombongan dengan pria itu, Mayang mendapat informasi dia bernama Wahyu.
Pada bagian akhir, Anton mengisahkan Mayang yang akhirnya tiba di rumahnya. Saat kembali, dia disambut oleh merpati biru peliharaannya yang sedang bertengger di pagar depan rumahnya. Hati Mayang begitu bahagia melihat merpatinya itu. Dia pun masuk ke dalam rumah, mengenang semua perjalanannya yang dianugerahi keselamatan dengan cara yang ajaib dan tak terduga.
"Rumah mungil itu tampak teramat damai, sedamai hati yang luput dari maut. Mayang mengenang semua perjalanannya di teras rumah saat senja berakhir, saat merpati biru kembali pulang ke dalam rumah kecilnya," demikian kata-kata penutup yang ada di dalam cerpen itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah mampir, dan sudi berkomentar.