BUNYI pesan pendek membangunkan Intan di pagi hari. Ponsel
Vina yang berbunyi. Intan iseng-iseng mengambil ponsel itu, lalu membuka pesan
pendek yang masuk. "Vin, ada pesanan nanti mlm. Short time. Hubungi aku ya
siang ini," begitu bunyi pesan pendek itu. Dan, Intan terkejut bukan main
ketika membaca nama pengirim pesan itu: Yudi Fotokopi! Dia segera meletakkan
ponsel itu, lalu berbaring lagi, pura-pura tidur.
Setengah
jam kemudian Vina bangun dari tidurnya. Dia menggoyang-goyangkan badan Intan
yang ada di sampingnya. "Tan, bangun. Kamu enggak kuliah?"
Intan
yang pura-pura tidur menguap, mengerjap-ngerjapkan matanya. "Emm... pagi
ini aku enggak kuliah, Mbak. Nanti agak siang kuliahnya."
Vina
melihat jam dinding di kamar Intan. "Udah hampir jam 8. Setengah 9 aku
kuliah. Aku mandi dulu ya," kata Vina.
"Sip.
Hari ini kalo enggak salah Mbak presentasi tugas yang kemarin kita buat bareng
itu ya?" tanya Intan.
Vina
tersenyum. "Yup, betul sekali. Kamu masih ingat aja, Tan. Wish me luck
yah...," katanya sambil membuka pintu kamar Intan.
"Sip!"
kata Intan sambil mengacungkan jempolnya.
"Oh
ya...," kata Vina. "Hape-ku mana ya?"
Intan berhenti
bernapas berhenti beberapa detik. "Eh, iya, ini hape-nya," kata Intan
sambil mengambil ponsel Vina yang ada di meja kamarnya. "Mmm... kalo
enggak salah tadi pagi ada sms masuk, Mbak."
"Oh
ya?" kata Intan sambil memencet tombol-tombol di ponselnya. "Kok
enggak ada gambar surat ya?"
"Itu,
Mbak... tadi pagi kubuka," kata Intan. "Aku... aku...," Intan
sedang berusaha mengarang sebuah alasan, "aku kira itu hape-ku. Tadi kubuka
pesannya."
Vina
membaca pesan itu. Dia kembali duduk di kasur Intan, tidak jadi keluar kamar.
"Kamu baca pesan ini, Tan?" kata Vina sambil mengangkat ponselnya.
Intan
mengangguk dua kali, lalu menundukkan kepalanya. "Mbak marah?" kata
Intan sambil mengangkat kepalanya.
"Untuk
apa harus marah?" kata Vina setengah berbisik.
Intan
menghembuskan napas panjang.
"Tan,
aku kesal aja. Semalam kita baru aja ngobrol panjang lebar soal duniaku.
Semalam... aku begitu bersemangat ingin meninggalkan kehidupanku yang jijik
itu. Tapi, kalau ada sms seperti ini, kadang...," Vina tidak bisa
melanjutkan kata-katanya.
"Kadang?"
tanya Intan sambil melihat mata Vina lekat-lekat.
"Kadang...
ada semangat yang muncul dalam hatiku, Tan. Aku bersemangat karena... akan dapat
duit. Dan, rasanya, dapat duit begitu mudah!" kata Vina sambil membenamkan
wajahnya di antara silangan kedua tangannya.
Intan
mendekati Vina, mengelus pundaknya. "Aku enggak tahu harus bilang apa,
Mbak. Yang jelas, Mbak harus bisa keluar dari semua ini," kata Intan.
Vina
mengangkat kepalanya. Matanya tampak merah. "Iya, Tan. Aku akan mencoba
menolaknya," kata Vina. "Walaupun berat."
Intan
hendak menanyakan tentang pengirim pesan pendek itu. Tapi, untuk saat ini dia
mengurungkan niatnya. Dia akan menyelidiki semuanya perlahan-lahan. "Nanti
malam tidur di sini lagi ya, Mbak?"
Vina
mengangguk. "Semoga aku menemukan alasan yang tepat untuk menolak ajakan
malam ini." Vina meninggalkan Intan dengan wajah yang sayu.
Hati
Intan diliputi perasaan yang sedih ketika menyaksikan Vina menutup pintu
kamarnya. Dalam hati ia berharap agar Vina menemukan kekasih sejatinya.
Intan pun teringat pada kenangan
masa kecilnya. Kenangan ketika dia berulang tahun, menyaksikan merpati yang
terjebak hujan. Hingga saat ini, bila dia merasakan kepedihan atau duka yang
mendalam, dia selalu teringat pada merpati kecil itu.
Saat SMP, Intan mengalami kenangan
lain yang tak terlupakan juga.
Di lantai dua sekolahnya, beberapa kali
ada burung tersesat, masuk ke beberapa ruangan di sana. Dia pernah menemukan
dua kali burung yang tersesat: sekali di toilet dan sekali di aula. Dua-duanya dia
lepaskan bersama teman-temannya. Mereka senang melihat burung-burung itu
terbang bebas lagi di angkasa.
Suatu hari, saat anak-anak sudah
pulang sekolah, ada seekor burung pipit tersesat, ditemukan petugas kebun sekolah.
Burung itu menabrak-nabrak jendela aula lantai dua, tidak bisa keluar ruangan.
Jendela kemudian dibuka, namun burung yang malang itu sudah lemah sekali, tidak
bisa terbang, jatuh di lantai dalam keadaan lemas.
Bersama seorang temannya Intan
melihat kejadian itu. Dia mengambil burung itu dari petugas kebun sekolah,
membawanya ke toilet. Matanya tertutup, sepasang kakinya tertekuk dalam posisi
yang masing-masing berbeda. Intan memberinya minum air dari kran. Intan gerak-gerakkan
kakinya yang kaku dan tiup matanya agar membuka. Kira-kira sepuluh menit
kemudian....
"Wuuus!" Burung itu
terbang tinggi, meninggalkan telapak tangan Intan, hinggap di kayu dekat atap toilet
sekolah beberapa saat. Tak lama kemudian, dia berhasil keluar dari toliet, terbang
tinggi, dan makin tinggi.
Intan tak pernah melupakan
pengalaman itu, sampai sekarang masih menyimpan puisi yang dibuatnya dari
pengalaman itu. Dia mengandaikan ada sebuah burung yang terperangkap di sebuah
gubuk, lalu dilepaskan oleh seorang anak kecil. Burung itu pulang kembali ke
rumah, bertemu ayah-ibunya. Dia mendapatkan nilai 90 untuk puisi itu:
seekor
burung kecil terbang tinggi
seorang
anak kecil baru saja melepasnya
ia
tadi terperangkap di sebuah gubuk
yang
tak jauh dari sawah dekat rumah si anak
burung
pipit yang malang
ia
terperangkap dua jam
dan
tak tahu cara keluar dari gubuk
ketika
senja usai, deritanya pun berakhir
bersama
cakrawala yang merah membara
ia
kembali menuju sarang ayah-ibunya
bercicit
dan berkicau riang akhiri hari
membawa
cerita dari anugerah hari ini
di
sebuah rumah dekat sawah
sukacita
membuncah bersama derai tawa
si
anak kecil dihadiahi mobil-mobilan
ia
tengah berulang tahun keenam
saat
mobil-mobilan ditarik-tarik riang
si
anak kecil sayup-sayup mendengar
kicau-kicau
kebebasan dari langit
bersama
senja yang membawa kegelapan
Intan ingin menjadi anak kecil
dalam puisinya, melepaskan Vina yang terpenjara dalam gubuk. Namun, apa
dayanya?
SEPULANG kuliah, Intan kembali bekerja di toko fotokopi
milik Mas Yudi. Kebetulan, sore hingga malam ini dia menjaga toko bersama Feny.
"Fen,
selain bisnis fotokopi ini, Mas Yudi itu kerjaannya apa sih?"
Feny
yang sedang memfotokopi menjawab, "Tumben kamu tanya-tanya soal Mas Yudi,
Tan."
"Ya...
ingin tahu aja. Kan bos sendiri, enggak apa-apa kan?"
"Iya
sih," kata Feny.
Intan
agak canggung hendak menanyakan pertanyaan lain. Dia menunggu Feny bersuara.
Feny tampak sibuk memencet-mencet tombol mesin fotokopi.
"Mmm...
Fen, kamu enggak pernah menemukan hal yang aneh di Mas Yudi?"
Feny
menatap mata Intan. Tatapan itu dia lakukan dengan gerakan leher yang
tiba-tiba. Intan cukup terperanjat melihat wajahnya.
"Maksudmu?"
tanya Feny.
"Aku...
sempat dengar-dengar... soal," Intan ragu hendak melanjutkan kalimatnya.
"Ayam
kampus?" Feny berbisik sambil melebarkan matanya.
Jantung
Intan serasa mau copot. Dia mengangguk-angguk dengan cepat. "Kok... kok
kamu tahu...?"
Feny
menyilangkan jari telunjuk di bibirnya. Dia mendekati Intan, berbisik, "Di
belakang kita ada istri Mas Yudi. Nanti, waktu kita makan malam aja. Nanti
kujelasin semua di sana."
Intan
merangkul pinggang Feny. "Makasih, Fen," bisiknya.
"MAS Yudi adalah mucikari, Tan," kata Feny. Mereka
berdua sedang ada di sebuah warung lesehan, sedang sama-sama menunggu pesanan
tempe penyet untuk makan malam.
"Mucikari?"
Intan baru pertama mendengar istilah itu.
"Dia
seorang perantara -- antara ayam kampus dengan pelanggan."
Intan mengangguk-angguk. Feny
menceritakan hal-hal tentang Mas Yudi kepada Intan yang selama ini tidak
diketahuinya. Amarah mulai berkecamuk dalam benak Intan.
"Tan... aku minta satu hal ini
tidak membuatmu terkejut atau marah-marah," kata Feny.
"Apa itu, Fen?"
Feny tampak gelisah. Matanya bahkan
merah dan sedikit berair.
"Fen, ada apa?"
"Tan," kata Feny dengan
suara serak. "Janjilah sama aku kalau ini rahasia kita berdua aja."
Intan mengangguk. Pesanan mereka
datang.
"Tan," kata Feny sambil
mengatur napasnya. "Hendra adalah teman dekat Mas Yudi. Mereka berdua itu
sebenarnya bersekongkol, mau menjadikan kamu wanita panggilan atau ayam
kampus."
"Hah?" Intan nyaris
menggebrak meja.
"Dari bisik-bisik mereka, aku
paham kalau Mas Yudi dulu pernah memberitahu Hendra kalau kamu dari -- maaf --
keluarga miskin, dari Pontianak. Aku nguping percakapan mereka waktu pagi hari
saat kamu sedang kuliah."
"Kapan? Sebelum aku pergi sama
Hendra atau sesudahnya?"
"Sesudahnya, Tan."
"Terus, Hendra berusaha
menarik perhatianku dengan cerpen itu?" tanya Intan.
Feny mengangguk. "Kelihatannya
begitu. Aku mendengar semuanya di ruangan yang ada di belakang toko kita itu,
Tan. Mereka tahu kalau kamu suka nulis, suka baca buku, mau kuliah di jurusan
Bahasa tapi enggak jadi."
Intan menggaruk-garuk rambutnya dan
memutar-mutarkan lehernya. Belum pernah dia ingin marah sejadi-jadinya seperti
saat ini. Feny memegang tangannya. "Tan, sabar... kendalikan
emosimu."
Intan dan Feny saling bertatapan
cukup lama. Air mata kedua wanita muda itu mengalir. "Aku janji,"
kata Intan dengan suaranya yang serak dan terbata-bata. "Sialan! Aku akan
memberi pelajaran untuk dua orang itu suatu hari nanti," katanya.