Senin, 27 Februari 2017

Bab 6: Misteri Mas Yudi

BUNYI pesan pendek membangunkan Intan di pagi hari. Ponsel Vina yang berbunyi. Intan iseng-iseng mengambil ponsel itu, lalu membuka pesan pendek yang masuk. "Vin, ada pesanan nanti mlm. Short time. Hubungi aku ya siang ini," begitu bunyi pesan pendek itu. Dan, Intan terkejut bukan main ketika membaca nama pengirim pesan itu: Yudi Fotokopi! Dia segera meletakkan ponsel itu, lalu berbaring lagi, pura-pura tidur.
                Setengah jam kemudian Vina bangun dari tidurnya. Dia menggoyang-goyangkan badan Intan yang ada di sampingnya. "Tan, bangun. Kamu enggak kuliah?"
                Intan yang pura-pura tidur menguap, mengerjap-ngerjapkan matanya. "Emm... pagi ini aku enggak kuliah, Mbak. Nanti agak siang kuliahnya."
                Vina melihat jam dinding di kamar Intan. "Udah hampir jam 8. Setengah 9 aku kuliah. Aku mandi dulu ya," kata Vina.
                "Sip. Hari ini kalo enggak salah Mbak presentasi tugas yang kemarin kita buat bareng itu ya?" tanya Intan.
                Vina tersenyum. "Yup, betul sekali. Kamu masih ingat aja, Tan. Wish me luck yah...," katanya sambil membuka pintu kamar Intan.
                "Sip!" kata Intan sambil mengacungkan jempolnya.
                "Oh ya...," kata Vina. "Hape-ku mana ya?"
                Intan berhenti bernapas berhenti beberapa detik. "Eh, iya, ini hape-nya," kata Intan sambil mengambil ponsel Vina yang ada di meja kamarnya. "Mmm... kalo enggak salah tadi pagi ada sms masuk, Mbak."
                "Oh ya?" kata Intan sambil memencet tombol-tombol di ponselnya. "Kok enggak ada gambar surat ya?"
                "Itu, Mbak... tadi pagi kubuka," kata Intan. "Aku... aku...," Intan sedang berusaha mengarang sebuah alasan, "aku kira itu hape-ku. Tadi kubuka pesannya."
                Vina membaca pesan itu. Dia kembali duduk di kasur Intan, tidak jadi keluar kamar. "Kamu baca pesan ini, Tan?" kata Vina sambil mengangkat ponselnya.
                Intan mengangguk dua kali, lalu menundukkan kepalanya. "Mbak marah?" kata Intan sambil mengangkat kepalanya.
                "Untuk apa harus marah?" kata Vina setengah berbisik.
                Intan menghembuskan napas panjang.
                "Tan, aku kesal aja. Semalam kita baru aja ngobrol panjang lebar soal duniaku. Semalam... aku begitu bersemangat ingin meninggalkan kehidupanku yang jijik itu. Tapi, kalau ada sms seperti ini, kadang...," Vina tidak bisa melanjutkan kata-katanya.
                "Kadang?" tanya Intan sambil melihat mata Vina lekat-lekat.
                "Kadang... ada semangat yang muncul dalam hatiku, Tan. Aku bersemangat karena... akan dapat duit. Dan, rasanya, dapat duit begitu mudah!" kata Vina sambil membenamkan wajahnya di antara silangan kedua tangannya.
                Intan mendekati Vina, mengelus pundaknya. "Aku enggak tahu harus bilang apa, Mbak. Yang jelas, Mbak harus bisa keluar dari semua ini," kata Intan.
                Vina mengangkat kepalanya. Matanya tampak merah. "Iya, Tan. Aku akan mencoba menolaknya," kata Vina. "Walaupun berat."
                Intan hendak menanyakan tentang pengirim pesan pendek itu. Tapi, untuk saat ini dia mengurungkan niatnya. Dia akan menyelidiki semuanya perlahan-lahan. "Nanti malam tidur di sini lagi ya, Mbak?"
                Vina mengangguk. "Semoga aku menemukan alasan yang tepat untuk menolak ajakan malam ini." Vina meninggalkan Intan dengan wajah yang sayu.
                Hati Intan diliputi perasaan yang sedih ketika menyaksikan Vina menutup pintu kamarnya. Dalam hati ia berharap agar Vina menemukan kekasih sejatinya.
Intan pun teringat pada kenangan masa kecilnya. Kenangan ketika dia berulang tahun, menyaksikan merpati yang terjebak hujan. Hingga saat ini, bila dia merasakan kepedihan atau duka yang mendalam, dia selalu teringat pada merpati kecil itu.
Saat SMP, Intan mengalami kenangan lain yang tak terlupakan juga.
Di lantai dua sekolahnya, beberapa kali ada burung tersesat, masuk ke beberapa ruangan di sana. Dia pernah menemukan dua kali burung yang tersesat: sekali di toilet dan sekali di aula. Dua-duanya dia lepaskan bersama teman-temannya. Mereka senang melihat burung-burung itu terbang bebas lagi di angkasa.
Suatu hari, saat anak-anak sudah pulang sekolah, ada seekor burung pipit tersesat, ditemukan petugas kebun sekolah. Burung itu menabrak-nabrak jendela aula lantai dua, tidak bisa keluar ruangan. Jendela kemudian dibuka, namun burung yang malang itu sudah lemah sekali, tidak bisa terbang, jatuh di lantai dalam keadaan lemas.
Bersama seorang temannya Intan melihat kejadian itu. Dia mengambil burung itu dari petugas kebun sekolah, membawanya ke toilet. Matanya tertutup, sepasang kakinya tertekuk dalam posisi yang masing-masing berbeda. Intan memberinya minum air dari kran. Intan gerak-gerakkan kakinya yang kaku dan tiup matanya agar membuka. Kira-kira sepuluh menit kemudian....
"Wuuus!" Burung itu terbang tinggi, meninggalkan telapak tangan Intan, hinggap di kayu dekat atap toilet sekolah beberapa saat. Tak lama kemudian, dia berhasil keluar dari toliet, terbang tinggi, dan makin tinggi.
Intan tak pernah melupakan pengalaman itu, sampai sekarang masih menyimpan puisi yang dibuatnya dari pengalaman itu. Dia mengandaikan ada sebuah burung yang terperangkap di sebuah gubuk, lalu dilepaskan oleh seorang anak kecil. Burung itu pulang kembali ke rumah, bertemu ayah-ibunya. Dia mendapatkan nilai 90 untuk puisi itu:

seekor burung kecil terbang tinggi
seorang anak kecil baru saja melepasnya
ia tadi terperangkap di sebuah gubuk
yang tak jauh dari sawah dekat rumah si anak

burung pipit yang malang
ia terperangkap dua jam
dan tak tahu cara keluar dari gubuk
ketika senja usai, deritanya pun berakhir

bersama cakrawala yang merah membara
ia kembali menuju sarang ayah-ibunya
bercicit dan berkicau riang akhiri hari
membawa cerita dari anugerah hari ini

di sebuah rumah dekat sawah
sukacita membuncah bersama derai tawa
si anak kecil dihadiahi mobil-mobilan
ia tengah berulang tahun keenam

saat mobil-mobilan ditarik-tarik riang
si anak kecil sayup-sayup mendengar
kicau-kicau kebebasan dari langit
bersama senja yang membawa kegelapan

Intan ingin menjadi anak kecil dalam puisinya, melepaskan Vina yang terpenjara dalam gubuk. Namun, apa dayanya?
SEPULANG kuliah, Intan kembali bekerja di toko fotokopi milik Mas Yudi. Kebetulan, sore hingga malam ini dia menjaga toko bersama Feny.
                "Fen, selain bisnis fotokopi ini, Mas Yudi itu kerjaannya apa sih?"
                Feny yang sedang memfotokopi menjawab, "Tumben kamu tanya-tanya soal Mas Yudi, Tan."
                "Ya... ingin tahu aja. Kan bos sendiri, enggak apa-apa kan?"
                "Iya sih," kata Feny.
                Intan agak canggung hendak menanyakan pertanyaan lain. Dia menunggu Feny bersuara. Feny tampak sibuk memencet-mencet tombol mesin fotokopi.
                "Mmm... Fen, kamu enggak pernah menemukan hal yang aneh di Mas Yudi?"
                Feny menatap mata Intan. Tatapan itu dia lakukan dengan gerakan leher yang tiba-tiba. Intan cukup terperanjat melihat wajahnya.
                "Maksudmu?" tanya Feny.
                "Aku... sempat dengar-dengar... soal," Intan ragu hendak melanjutkan kalimatnya.
                "Ayam kampus?" Feny berbisik sambil melebarkan matanya.
                Jantung Intan serasa mau copot. Dia mengangguk-angguk dengan cepat. "Kok... kok kamu tahu...?"
                Feny menyilangkan jari telunjuk di bibirnya. Dia mendekati Intan, berbisik, "Di belakang kita ada istri Mas Yudi. Nanti, waktu kita makan malam aja. Nanti kujelasin semua di sana."
                Intan merangkul pinggang Feny. "Makasih, Fen," bisiknya.
"MAS Yudi adalah mucikari, Tan," kata Feny. Mereka berdua sedang ada di sebuah warung lesehan, sedang sama-sama menunggu pesanan tempe penyet untuk makan malam.
                "Mucikari?" Intan baru pertama mendengar istilah itu.
                "Dia seorang perantara -- antara ayam kampus dengan pelanggan."
Intan mengangguk-angguk. Feny menceritakan hal-hal tentang Mas Yudi kepada Intan yang selama ini tidak diketahuinya. Amarah mulai berkecamuk dalam benak Intan.
"Tan... aku minta satu hal ini tidak membuatmu terkejut atau marah-marah," kata Feny.
"Apa itu, Fen?"
Feny tampak gelisah. Matanya bahkan merah dan sedikit berair.
"Fen, ada apa?"
"Tan," kata Feny dengan suara serak. "Janjilah sama aku kalau ini rahasia kita berdua aja."
Intan mengangguk. Pesanan mereka datang.
"Tan," kata Feny sambil mengatur napasnya. "Hendra adalah teman dekat Mas Yudi. Mereka berdua itu sebenarnya bersekongkol, mau menjadikan kamu wanita panggilan atau ayam kampus."
"Hah?" Intan nyaris menggebrak meja.
"Dari bisik-bisik mereka, aku paham kalau Mas Yudi dulu pernah memberitahu Hendra kalau kamu dari -- maaf -- keluarga miskin, dari Pontianak. Aku nguping percakapan mereka waktu pagi hari saat kamu sedang kuliah."
"Kapan? Sebelum aku pergi sama Hendra atau sesudahnya?"
"Sesudahnya, Tan."
"Terus, Hendra berusaha menarik perhatianku dengan cerpen itu?" tanya Intan.
Feny mengangguk. "Kelihatannya begitu. Aku mendengar semuanya di ruangan yang ada di belakang toko kita itu, Tan. Mereka tahu kalau kamu suka nulis, suka baca buku, mau kuliah di jurusan Bahasa tapi enggak jadi."
Intan menggaruk-garuk rambutnya dan memutar-mutarkan lehernya. Belum pernah dia ingin marah sejadi-jadinya seperti saat ini. Feny memegang tangannya. "Tan, sabar... kendalikan emosimu."
Intan dan Feny saling bertatapan cukup lama. Air mata kedua wanita muda itu mengalir. "Aku janji," kata Intan dengan suaranya yang serak dan terbata-bata. "Sialan! Aku akan memberi pelajaran untuk dua orang itu suatu hari nanti," katanya.


Jumat, 17 Februari 2017

Bab 5: Vina yang Malang


INTAN ke warnet hampir setiap hari, menunggu balasan pesan dari Anton Setiawan di Facebook-nya, atau permintaan pertemanan. Namun, yang dinantikannya itu tak kunjung datang. Status Anton yang terakhir dibacanya adalah: "Siap-siap mendaki ke Arjuna bersama teman-teman yang gembira. Rock and roll! \m/"
Intan begitu bahagia membayangkan Anton yang suka dengan alam dan petualangan. Dalam hatinya muncul harapan agar suatu saat dia diajak mendaki gunung. Dia membayangkan hawa yang dingin, pepohonan, dan keindahan alam. Dia membayangkan Anton menulis puisi atau cerita tentang alam, atau... mungkin tentang dirinya. Tapi, Intan menyimpan rapat-rapat semua harapan dan angan ini dalam hatinya. Bagi Intan, berbagi cerita tentang harapan akan melipatgandakan kekecewaan bila harapan itu tak kunjung datang.
Selain dengan Feny, sekarang Intan sering berbagi cerita dengan Vina. Intan menemukan sosok kakak dalam diri Vina. Dia selalu bertanya-tanya, kenapa sosok sebaik Vina mau menjual dirinya kepada pria-pria hidung belang. Intan sangat ingin menanyakan hal itu kepada Vina, tapi dia khawatir menyinggung perasaannya.
"Tan," kata Vina suatu malam. Mereka berdua sedang duduk-duduk di teras rumah, baru saja selesai makan malam. "Pernahkah kamu benar-benar jatuh cinta?"
Intan cukup kaget mendengar pertanyaan itu karena Vina menanyakannya dengan tatapan mata yang lain. Intan menyipitkan matanya. "Kenapa, Mbak? Kok aneh pertanyaannya, enggak biasanya tanya beginian."
Vina menghela napas panjang. "Tan, mau enggak kamu menjaga sebuah rahasia?"
Intan mengangguk. Hal ini tampaknya berkaitan dengan yang ingin ditanyakannya sejak mulai akrab dengan Vina. "Mbak Vina sudah kuanggap kakakku," katanya.
Vina menyipitkan matanya, tampak sedikit berkaca-kaca. "Makasih, Tan," katanya sambil menyandarkan kepalanya di kursi.
"Mmm... rahasia apa, Kak?"
Vina mengubah posisi duduknya, tak lagi bersandar di kursi. "Gini, Tan. Kurasa kamu udah tahu kalau aku ini cewek murahan. Aku udah dengar banyak desas-desus di kos ini. Dan, memang benar gitu.
"Tapi, sejak beberapa hari yang lalu aku ingin berubah, Tan. Sejak kita ke gereja, tepatnya. Mungkin kamu lihat atau dengar aku menangis saat kita mengucapkan doa pengakuan dosa?"
Intan sebenarnya mengingat hal itu, tapi dia berpura-pura tengah mengingat-ingat kejadian itu. "Ya, aku ingat," katanya.
"Aku ingin mengakhiri semuanya, Tan."
"Semuanya?"
Vina memajukan duduknya. "Aku ingin jadi cewek baik-baik, Tan. Aku ingin punya seorang kekasih -- satu pria untuk seumur hidup. Tapi, kadang niat itu timbul, lalu tenggelam. Udah dua tahun kujalani hal ini, dan aku selalu bertanya: sampai kapan aku begini? Kadang, yang kulakukan kurasakan nikmat. Tapi...," Vina mulai menitikkan air matanya.
Intan menggeser kursi plastik yang didudukinya. "Mbak, yuk kita ke kamar. Enggak enak kalau ada tamu yang datang, lalu melihat Mbak seperti ini."
Mereka berdua pun ke kamar Intan. "Mbak, aku bikinin teh panas ya. Kita ngobrol  sambil minum teh kan enak?"
Vina tersenyum sambil menghapus air matanya. "Kamu benar-benar anak manis, Tan," katanya.
Saat di dapur, Intan bingung memberi tanggapan untuk Vina. Beberapa anak kos sangat membenci Vina. Intan bahkan pernah mendengar cerita dari teman kos lainnya ada anak kos yang memperlakukan Vina dengan sangat sinis. Anak kos itu, saat menjemur pakaiannya berpapasan dengan Vina yang baru keluar dari kamar mandi. Ia meludah di dekat tempat menjemur pakaian, lalu berkata, "Kok kos ini baunya enggak enak ya?"
"Emang bau apa?" kata seorang anak kos lainnya yang saat itu juga menjemur pakaian.
"Bau keringat cowok dekat-dekat sini," katanya sambil pura-pura mengendus-endus sesuatu.
Tapi Vina, bagi Intan, tetaplah wanita yang perlu dimengerti. Sejak dulu nenek mengajarinya untuk ramah dan tidak berlaku jahat kepada siapa pun. Intan mengingat pesan neneknya itu sambil membawa dua gelas teh panas itu ke dalam kamar.
"Mbak, ini tehnya," kata Intan.
"Makasih, Tan."
Intan tersenyum, "Sampai di mana kita tadi?"
"Sampai aku mewek," kata Vina sambil memasang wajah melas.
Mereka berdua tertawa cukup keras, lalu kembali hening.
"Tan, aku jatuh cinta," kata Vina dengan suara lirih.
"Wah, asyik dong. Traktiran nih...," kata Intan dengan senyum yang lebar.
Vina tetap memasang wajah serius. "Masalahnya, Tan. Cowok itu udah punya istri dan satu anak. Sekarang, aku lagi bingung. Dia juga lagi bingung...."
Wajah Intan seketika berubah. "Kenapa memilih yang udah punya anak, Mbak? Memangnya enggak ada cowok lain?"
"Enggak ada, Tan. Hanya satu itu pilihanku, Tan."
Intan tidak yakin dengan jawaban itu. Vina yang bermata indah dan berkulit mulus, tidak mungkin pria-pria tidak mendekat kepadanya. "Aku enggak percaya, Mbak."
Vina bercerita bahwa selama ini memang banyak pria yang datang kepadanya. Teman-teman pria Intan dan Vina yang sekampus sangat banyak yang menggodai Vina bila dia melintas di bagian mana saja di kampus itu. Intan menyaksikan sendiri godaan-godaan itu. "Tapi, Tan. Setelah sekian lama aku berpikir, aku lebih suka dengan pria dewasa. Aku suka sama om-om. Aku lebih merasa nyaman bersama mereka. Mereka bisa melindungi. Jujur aja, kalau begituan sama mahasiswa seru juga sih. Tapi, pola pikir mereka lain. Nafsu mereka gede, dan mereka rata-rata cuma ingin senang-senang."
"Lha, terus, kalau kalian berdua jadi menikah, bagaimana? Mbak enggak kasihan sama istri dan anaknya?"
"Gini lho, Tan. Dia itu malah bilang kalau istrinya udah minta cerai. Tapi, kalau cerai, istrinya ingin mengasuh anaknya. Padahal, dia sangat sayang sama anaknya itu," kata Vina sambil mengeluarkan dompetnya. "Ini foto mereka bertiga."
Intan mengamati ketiga wajah dalam potret itu. "Manis juga cowoknya," kata Intan. "Siapa namanya?"
"Indra."
Jantung Intan seperti mau copot mendengar nama itu. "Kukira Hendra," gumamnya, nyaris tak terdengar.
"Gimana, Tan? Kamu ada usul atau saran?"
Intan mengangkat bahu. "Aku bingung, Mbak. Kita tunggu aja. Aku janji juga akan mikirin jalan terbaik untuk masalah ini."
"Iya, memang enggak mudah sih mikirin jalan keluarnya."
Intan memberanikan diri menanyakan sesuatu. "Mbak, kalau boleh tahu, kenapa Mbak sampai mau melakukan hal ini?"
"Panjang ceritanya, Tan. Semuanya terjadi seperti mimpi."
"Aku mau dengar kalau Mbak mau cerita," kata Intan. Ia menyeruput tehnya yang masih panas.
Vina becerita bahwa awalnya dia kecewa dengan seorang pria. Pria ini adalah pacarnya waktu SMA yang berjanji akan setia kepadanya. Terbuai dengan janji itu, Vina menyerahkan semuanya kepada pria itu. Mereka teman sekelas waktu kelas 2 di sebuah SMA di Blitar. Sejak perpisahan SMA, pria itu tidak pernah lagi menunjukkan batang hidungnya. Orangtua si pria menyatakan bahwa anak mereka telah merantau ke Kalimantan, bekerja di sebuah perusahaan kayu. Dari Blitar, Vina pindah ke Malang, kuliah.
Saat kuliah dia bertemu dengan seorang pria lain. Pria itu tampak begitu baik awalnya. Vina kembali menyerahkan semuanya kepada pria itu setelah mereka berpacaran dua bulan. Suatu malam, mereka bercinta di sebuah vila di Batu. Saat itu hubungan mereka sedang tidak baik. Vina sebenarnya sudah ingin mengakhiri hubungan itu, tapi dia masih bingung. Saat pacarnya tertidur, Vina berjalan-jalan keluar vila, ingin melihat-lihat pemandangan.
Dia bertemu penjaga vila. Penjaga vila mengajak Vina mengobrol. Saat mereka mengobrol, ada wanita lain yang melintas di depan mereka. Penjaga vila berbisik kalau wanita itu seorang ayam kampus. Dia bercerita kepada Vina bahwa cukup banyak ayam kampus yang diajak "main" ke vila itu kalau malam Minggu. Penjaga vila itu mengiming-imingi Vina, bayaran ayam kampus cukup besar.
"Entah kenapa, tiba-tiba aku mau aja memberi nomor hape-ku waktu itu, Tan. Yang jelas, aku sedang putus asa dengan pacarku -- dia ketahuan selingkuh. Aku ingin cari penggantinya. Siapa tahu kenalan penjaga vila itu ada yang bisa kujadikan pacar baru. Tapi, bukannya ketemu pengganti, aku malah dapat kesenangan lain. Uang. Dalam sebulan, dari penjaga vila itu, aku menerima banyak panggilan telepon. Beberapa panggilan bahkan aku tolak saking banyaknya," kata Vina mengakhiri ceritanya.
Intan mendesahkan napas panjang sambil menyeruput tehnya sekali lagi. Dia tidak bisa mengatakan apa pun.
"Aku ingin kamu ingat ini, Tan -- satu hal ini. Enggak semua uang yang kudapatkan kupakai untuk bersenang-senang. Ayahku sudah enggak ada dan ibuku yang ada di Blitar sehari-hari jualan sayur di pasar. Aku punya seorang adik yang masih SMP, dan aku sering memberinya uang. Ibu sempat tanya aku dapat uang dari mana. Aku bohong, bilang kalau aku sesekali jadi SPG," kata Vina.
"Tapi...," kata Intan. Ia agak ragu untuk melanjutkan kata-katanya.
"Kenapa, Tan?"
"Kuyakin Mbak tetap punya rasa bersalah kan?"
Vina mengangguk. "Selalu, Tan. Tiap kali setelah aku selesai begituan, seringkali aku menangis sendirian. Senang sih dapat uang, tapi harga diriku rasanya hancur. Dan, hampir tiap malam aku berjanji untuk berhenti dari semua ini."
"Tapi, bagaimana dengan Indra?"
"Entahlah, Tan. Aku enggak tahu harus bagaimana menghadapi cowok satu ini," kata Vina sambil merapikan rambutnya.
Intan mengerutkan dahinya. "Apa yang Mbak rasakan waktu...," Intan agak ragu melanjutkannya, "bercinta, waktu... begituan sama dia?"
"Kamu benar-benar ingin tahu, Tan?" tanya Vina dengan tatapan tak percaya.
Intan jadi merasa serba salah. "Maksudku, gimana ya rasanya bercinta dengan orang yang benar-benar kita cintai?"
Vina memegang tangan Intan. "Tan," kata Vina dengan suara agak serak. "Kamu orang baik. Kurasa ceritaku cukup segini dulu. Malam ini aku berdoa kamu menemukan orang yang mencintaimu dengan tulus dan apa adanya. Nanti, rasakanlah sendiri, Tan."
Intan memeluk Vina. "Amin, Kak."
"Semoga Tuhan mendengar doa seorang pelacur hina ini, Tan," kata Vina sambil mengelus-elus rambut Intan.
"Kak," bisik Intan sambil melepas pelukannya. "Tidak ada manusia yang terlalu hina. Suatu saat, Tuhan akan membuka pintu kebahagiaan untuk kita masing-masing."
Malam itu Intan tidur sekamar dengan Vina. Intan merasa begitu senang ditemani Vina. Mereka mengobrol tentang keluarga mereka masing-masing sampai hampir tengah malam. Setelah capek mengobrol, mereka berdua menyetel lagu-lagu bertema cinta dan menirukan bagian yang mereka hapal. Sebuah lagu yang mereka ulang-ulangi adalah "The Power of Love" yang dinyanyikan oleh Celline Dion*). Salah satu bagian lagu itu yang mereka sukai adalah ini:

'Cause I am your lady
And you are my man
Whenever you reach for me
I'll do all that I can

*) Lagu ini pertama kali dinyanyikan oleh Jennifer Rush pada 1984.

Selasa, 07 Februari 2017

Bab 4: Manusia tanpa Hati

"JADI, malam itu kamu pulangnya gimana?" tanya Feny. Intan telah menceritakan semuanya kepada Feny.
"Di pertigaan, aku bertemu pria asing. Aku minta dia mengantarkan aku sampai terminal kota Batu. Sampai sekarang aku enggak tahu siapa dia. Di terminal, untungnya masih ada angkot yang ke Malang. Dari terminal Batu aku turun di terminal Landungsari. Dari Landungsari aku naik angkot lagi, sampailah aku dengan selamat di sini," kata Intan dengan mata berkaca-kaca.
Feny memeluk Intan dengan erat. "Tan, syukurlah... Tuhan masih melindungimu."
Intan menitikkan air mata. Ia melepaskan pelukan itu. "Makasih, Fen. Aku cuma kuatir Hendra jahanam itu datang lagi ke sini. Gimana ya?"
"Kita laporkan aja ke Mas Yudi, gimana?"
Intan mengangkat bahu. "Tiap kali aku teringat pengalaman itu, rasanya memuakkan banget. Dadaku sesak. Kadang, aku takut dikira cewek murahan kalau cerita ke orang lain tentang hal ini. Bodohnya aku! Tapi, aku juga merasa bertindak keterlaluan. Entahlah, kadang aku juga kasihan dengan Hendra walaupun dia sudah sangat kurang ajar," katanya pelan.
"Gitu ya, Tan?" tanya Feny.
"Ya. Dan, jujur aja, aku sempat jatuh hati sama Mas Hendra, Fen," kata Intan.
"Gara-gara cerpennya itu?"
Intan mengangguk.
"Ya udahlah, Tan. Dijalani aja kehidupanmu yang sekarang. Kamu waspada aja kalau ke mana-mana. Yang penting, jangan hubungi dia lagi. Cari kesibukan lain. Lupakan!"
"Betul, Fen. Dan kurasa, akan mudah melupakan Hendra. Kenal sama dia juga baru sebulan lebih. Aku sudah menghapus nomornya dari hape-ku. Nanti aku juga mau ganti nomor," kata Intan. "Yang lebih susah...."
"Apa, Tan?" tanya Feny dengan wajah penasaran.
"Melupakan cerpennya, Fen. Entah udah berapa kali aku baca cerpen itu. Aku selalu suka dengan cerpennya. Cerpennya mengingatkan aku pada masa kecilku, masa remajaku. Ada cerita tentang ibu yang pergi menjadi TKW, Clara yang hidup bersama seorang kakek... cerpen itu benar-benar membuatku menciptakan bayangan sendiri tentang Hendra. Ceritanya begitu hidup, sampai pernah kukira kalau dia mengisahkan hidupnya sendiri."
Feny mendengus. "Ya udah, singkirkan aja cerpen itu. Nanti malah kamu kangen sama penulisnya. Ya kan?"
Intan mengangguk-angguk. "Ya, nanti malam akan kubakar aja!"

TIGA minggu berlalu sejak malam Minggu kelabu itu. Intan sudah jarang mengingat Hendra. Dia juga tak pernah melihat Hendra di toko fotokopinya. Tiap berangkat ke kampus dia selalu memperhatikan orang-orang yang melintas di sekitarnya. Begitu juga kalau dia pulang dari kampus, mencari makan malam, atau ke mana saja. Dia selalu khawatir Hendra muncul tiba-tiba, melabraknya, atau melakukan hal jahat lainnya kepadanya.
Tugas-tugas kuliah Intan semakin banyak dari hari ke hari. Dia mulai sibuk membagi waktu untuk bekerja, kuliah, mengerjakan tugas, dan istirahat. Nyaris tidak ada waktu untuk bersenang-senang. Dia mengabarkan kepada Om Joni masih belum sempat berkunjung ke Sidoarjo. Bila malam Minggu tiba, dia kadang merindukan ada pria yang menghampirinya di rumah kos. Dia kadang iri melihat teman-teman satu kosnya yang diajak pacar mereka jalan-jalan.
Ada juga teman kos Intan yang suka menghabiskan malam Minggu di Batu, di vila-vila. Kadang, dia juga ke hotel-hotel di Malang. Nama temannya itu Vina. Dia kakak tingkat Intan di kampusnya. Intan mendengar cerita kalau Vina adalah ayam kampus alias wanita panggilan. Tarif Vina cukup tinggi, short time saja, 3 jam, 500 ribu. Kalau semalaman kadang ia minta bayaran 1 sampai 1,5 juta.
Setiap kali memandang Vina, pikirannya segera melayang ke rumah sepupu Hendra di Batu. Kamar Vina ada di sebelah kamar Intan. Intan tak pernah mengajaknya mengobrol berlama-lama karena Vina tampak agak menutup diri. Intan sempat bertanya-tanya, apakah Vina melakukan semuanya karena kekurangan uang? Atau, dia pernah dikecewakan seseorang? Atau, jangan-jangan memang seks itu menyenangkan? Entahlah. Intan selalu memantapkan hatinya agar tujuan hidupnya tidak menyimpang ke kanan dan ke kiri: kuliah sampai selesai. Intan selalu mengingatkan dirinya sendiri bahwa cintanya akan datang pada waktunya.
Suatu malam, Intan mendengar pintu kamarnya diketok. "Tan, Intan...."
Dia bangkit dari tempat tidurnya. "Iya, siapa ya?" katanya sambil menggeser tirai penutup jendela. Intan terkejut, dia melihat Vina.
"Eh, Mbak Vina. Ada apa nih, Mbak? Tumben...."
Vina tersenyum. Intan baru menyadari kalau Vina ternyata cukup ramah. Wanita itu memiliki tahi lalat di dagunya. "Begini, Intan. Mbak lagi bingung sama tugas kuliah, bikin makalah. Mungkin kamu mau bantu-bantu?"
"Oh gitu...," kata Intan. Ia seperti tak percaya dengan apa yang didengarnya malam ini.
"Iya. Aku tadi ketemu sama Mirna, teman sekelasmu itu. Dia bilang katanya kamu pandai kalau diberi tugas menulis atau bikin makalah gitu. Nanti kalau beres kutraktir makan malam. Kamu sibuk enggak?"
"Wah, Mirna bilang gitu?" Intan kaget juga dengan pujian itu.
Vina mengangguk beberapa kali.
"Ya, mungkin memang gitu, kebetulan memang saya hobi menulis, Mbak. Tapi, santai aja, Mbak, nanti saya bantu. Saya lagi enggak sibuk kok."
"Ke kamarku yuk," ajak Vina.
"Oke. Asyik, sekali-sekali mampir ke kamar tetangga."
Intan pun membaca makalah yang dibuat Vina. Intan melihat makalah itu banyak mengandung kesalahan tulis. Setelah mereka berdiskusi sekitar setengah jam, Intan menyarankan kalau sumber atau daftar rujukan makalah ini perlu ditambah. "Enggak harus dari buku, tapi kelihatannya perlu tambahan data, Mbak."
Vina mengangguk-angguk. "Gitu ya? Modemku lagi error, jadi enggak bisa cari sumber atau bahan lain. Lagian, aku kalau sama tugas-tugas begini susah banget nyantolnya."
Sebuah ide muncul di pikiran Intan. "Belum terlalu malam. Gimana kalau kita ke warnet di depan kampus, Mbak?"
"Boleh itu! Yuk, kita ke warnet," Vina tampak bersemangat dengan ajakan itu.
"Mbak enggak keluar kan malam ini?" tanya Intan. Sebenarnya ia agak ragu menanyakan hal itu.
"Mmm... kali ini enggak," kata Vina.
"Tumben. Kan malam Minggu, Mbak?"
"Lagi dapet, Tan," bisik Vina.
Vina dan Intan berada di depan komputer yang berbeda saat di warnet. Mereka duduk agak berjauhan karena tidak ada dua komputer berdekatan yang sama-sama kosong. "Nanti aku bayarin, Tan. Tapi, aku minta tolong, kamu cari artikel yang sesuai dengan makalahku itu, nanti link-nya kamu kirim ke Facebook-ku."
"Oke. Aku carikan, Mbak. Nanti sekalian Mbak ku-add jadi teman di Facebook," kata Intan. "Oh ya, bawa flashdisk kan?"
Vina mengacungkan jempolnya. "Sip."
Mereka masing-masing memasang headset. Intan memutar lagu-lagu Agnes Monica, Padi, dan Dewa. Tidak sampai setengah jam, Intan sudah mendapatkan empat artikel yang berhubungan dengan makalah yang ditulis Vina.
"Gimana, Mbak, udah dibuka link-nya?" tulis Intan di kotak pesan Facebook.
"Udah, ini lagi kubaca sekilas, Tan," balas Vina.
"Kita di sini sampai jam berapa, Mbak?"
"Sekitar setengah jam lagi deh. Habis itu kita cari makan ya?"
"Sip, Mbak. Maacih yaaa... :-)"
"Sama-sama. Nanti malam atau besok aku tolong diajari juga ya gimana artikel-artikel ini kukaitkan dengan makalahku."
"Bereees, Mbak Vina cantik!"
"Mmmuach... :-*"
"Iiih, Mbak Vina genit deh! Wkwkwk...."
"Hahaha...."
Tiba-tiba Intan teringat dengan cerpen Hendra. Ia pun membuka google.com, lalu mengetikkan judul cerpen itu: "Suatu Senja di Khatulistiwa". Ia menemukan beberapa hasil pencarian. Ia meng-klik sebuah link.
"Ups!" katanya agak keras, membuat orang yang ada di depannya menoleh ke arahnya.
"Sori, Mas," katanya kepada pria itu.
Suatu Senja di Khatulistiwa ternyata ditulis oleh seorang yang bernama Manusia Tanpa Hati. Intan berpikir, mungkinkah Hendra menggunakan nama samaran? Dia mencari lagi di google.com, mengetikkan kata-kata "cerpen manusia tanpa hati". Dia menemukan beberapa hasil lainnya. Dia cari lagi "nama asli penulis manusia tanpa hati hendra" di mesin pencari itu. Tapi, dia tak menemukan jawaban yang memuaskan.
Intan menggerak-gerakkan jari tangannya di udara sambil berpikir. Dia mengetik "nama asli manusia tanpa hati" di google.com. Dia pun menemukan sebuah situs yang mengungkap siapa manusia tanpa hati itu. Di sana tertulis: "Manusia tanpa Hati adalah nama samaran dari Anton Setiawan. Ia seorang penulis yang tinggal di Malang, kuliah di Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang."
Intan pun kembali membuka Facebook-nya. Dia mengetikkan "Anton Setiawan" dalam kotak pencarian. Intan menemukan beberapa nama. Dia telusuri satu demi satu, dan akhirnya menemukan Anton Setiawan yang di profile-nya termuat data: kuliah di Universitas Negeri Malang.
Intan ragu hendak menambahkan Anton sebagai teman. Sebuah pesan masuk di Facebook-nya, dari Vina: "Balik yuk!"

INTAN selalu memikirkan Anton malam itu. Setelah menemani Vina makan dan mengerjakan tugasnya, dia tidak bisa tidur hingga lewat tengah malam. Dia ingin kembali lagi ke warnet, melihat foto-foto Anton, atau membaca catatan-catatan yang dibuatnya. Tadi, dia sempat melihat foto Anton yang sedang tersenyum. Anton berambut agak panjang, duduk di sebuah batu yang besar di tepi sungai.
Senyum Anton membuat Intan tersenyum juga.
Dan, cerpen itu, Suatu Senja di Khatulistiwa -- siapakah yang plagiat? Hendra atau Anton?
Keesokan harinya, dia ke warnet itu lagi. Dia langsung membuka akun Facebook-nya, dan mencari Anton Setiawan. Foto-foto profil Anton bisa diakses publik, semua orang yang punya Facebook bisa melihatnya. Ternyata, Anton adalah seorang pecinta alam. Intan memandangi foto-foto itu dengan kegembiraan yang besar. Sebuah foto Anton yang disukai Intan adalah saat dia berada di tepi danau. Dari beberapa komentar yang ada di sana, foto itu diambil di Ranu Kumbolo, sebuah danau di lereng gunung Semeru.
Danau itu tampak begitu hening di foto itu. Langit tak begitu cerah, beberapa awan tampak di sana. Anton sedang melipat kedua tangannya, difoto dari samping. Dia tampak sedang merenungkan sesuatu sambil memandangi danau yang ada di depannya. "Keren banget," bisik Intan.
Setelah melihat foto-foto itu, Intan memutuskan untuk mengirimi Anton sebuah pesan. Dia menulis demikian: "Halo, Mas Anton. Kenalin, saya Intan. Saya mahasiswi di Universitas Merdeka, Malang. Gini, Mas, saya pernah baca satu cerpen, judulnya Suatu Senja di Khatulistiwa. Itu yang ngarang Mas Anton ya?"
Intan membaca kata-kata yang ditulisnya itu dua kali. Dia menangkap kesan dirinya terlalu cepat membuka diri. Dia pun menghapus beberapa bagian dalam pesan itu: "Halo, Mas Anton. Kenalin, saya Intan. Mas, saya pernah baca satu cerpen, judulnya Suatu Senja di Khatulistiwa. Itu yang ngarang Mas Anton ya?"
Dia membaca sekali lagi kata-kata yang sudah diubahnya itu tadi. Dia masih merasa ragu untuk memperkenalkan diri. Akhirnya, dia pun memilih untuk menulis demikian: "Halo, Mas. Mas, saya pernah baca satu cerpen, judulnya Suatu Senja di Khatulistiwa. Itu yang ngarang Mas Anton ya?"
Dia menekan tombol untuk mengirim pesan itu. Lega rasanya. Setelah mengirim pesan, dia ragu untuk mengirimkan permintaan pertemanan. Tidak ada teman yang sama di antara mereka berdua. Intan pun memutuskan untuk hanya mengirimkan pesan. Intan berharap nantinya Anton yang akan menambah dia sebagai teman di Facebook.
Intan masih memiliki waktu 20 menit setelah mengirimkan pesan. Dia berharap, barangkali Anton sedang online sekarang, dan langsung membalas pesannya. Selama 15 menit, dia tak mendapat balasan dari Anton. Waktu Intan tinggal 5 menit di program pengingat waktu penggunaan warnet -- tadi dia memasangnya setengah jam. Menjelang tiga menit terakhir, dia melihat ada sebuah tanda merah di Facebook-nya. Tanda merah itu bukan berada di pesan, tapi permintaan pertemanan. Intan kaget, siapakah gerangan yang mengajaknya berteman?
Ternyata, Vina Novelia, teman kosnya itu.
"Whua!!!" kata Vina yang muncul tiba-tiba di depannya.
Intan kaget bukan kepalang. Jantungnya serasa mau copot. "Duh, Mbak Vina... pagi-pagi kok ngagetin sih!"
"Hehehe... tadi aku ngikutin kamu waktu ke sini. Aku lho dari tadi duduk di situ," kata Vina sambil menunjukkan tempat duduknya yang persis di sebelah Intan, tapi dibatasi sekat papan yang cukup tinggi sehingga tidak kelihatan oleh Intan.
"Iya ya, semalam kita cuma kirim-kirim pesan, belum berteman. Aku lupa nge-add Mbak Vina. Tapi, aku mau pulang nih, Mbak. Aku udah setengah jam. Waktuku udah habis, tadi nyetelnya setengah jam," kata Intan.
"Ih... kok buru-buru pulang. Kamu ngambek ya?"
"Enggak kok, Mbak," kata Intan sambil menekan tombol selesai. "Aku mau ke gereja nih. Ibadahnya mulai setengah jam lagi."
"Lho," kata Vina. "Kamu ke gereja ternyata?"
Intan mengangguk beberapa kali. "Iya, Mbak. Memangnya kenapa?"
Vina kembali ke meja komputernya, dia juga menekan tombol selesai. "Aku ikut kamu ya? Udah lama aku enggak ke gereja," kata Vina.
Dalam perjalanan pulang, Intan cukup kaget ketika Vina menggandeng tangannya saat menyeberang jalan. Dia merasa ada perlindungan dari genggaman tangannya itu. Saat mereka sampai di kos, Vina mencubit pipinya dengan gemas. "Tunggu aku mandi ya, anak manis...," katanya sambil bergegas mengambil handuk, sabun, dan perlengkapan mandi lainnya.
Intan memasang wajah cemberut, namun hatinya sangat riang. Entah kenapa dia suka disebut "anak manis". "Cepetan mandinya, awas kalo telat!"
"Bereees, anak manis...," kata Vina sambil masuk ke dalam kamar mandi.