Senin, 27 Februari 2017

Bab 6: Misteri Mas Yudi

BUNYI pesan pendek membangunkan Intan di pagi hari. Ponsel Vina yang berbunyi. Intan iseng-iseng mengambil ponsel itu, lalu membuka pesan pendek yang masuk. "Vin, ada pesanan nanti mlm. Short time. Hubungi aku ya siang ini," begitu bunyi pesan pendek itu. Dan, Intan terkejut bukan main ketika membaca nama pengirim pesan itu: Yudi Fotokopi! Dia segera meletakkan ponsel itu, lalu berbaring lagi, pura-pura tidur.
                Setengah jam kemudian Vina bangun dari tidurnya. Dia menggoyang-goyangkan badan Intan yang ada di sampingnya. "Tan, bangun. Kamu enggak kuliah?"
                Intan yang pura-pura tidur menguap, mengerjap-ngerjapkan matanya. "Emm... pagi ini aku enggak kuliah, Mbak. Nanti agak siang kuliahnya."
                Vina melihat jam dinding di kamar Intan. "Udah hampir jam 8. Setengah 9 aku kuliah. Aku mandi dulu ya," kata Vina.
                "Sip. Hari ini kalo enggak salah Mbak presentasi tugas yang kemarin kita buat bareng itu ya?" tanya Intan.
                Vina tersenyum. "Yup, betul sekali. Kamu masih ingat aja, Tan. Wish me luck yah...," katanya sambil membuka pintu kamar Intan.
                "Sip!" kata Intan sambil mengacungkan jempolnya.
                "Oh ya...," kata Vina. "Hape-ku mana ya?"
                Intan berhenti bernapas berhenti beberapa detik. "Eh, iya, ini hape-nya," kata Intan sambil mengambil ponsel Vina yang ada di meja kamarnya. "Mmm... kalo enggak salah tadi pagi ada sms masuk, Mbak."
                "Oh ya?" kata Intan sambil memencet tombol-tombol di ponselnya. "Kok enggak ada gambar surat ya?"
                "Itu, Mbak... tadi pagi kubuka," kata Intan. "Aku... aku...," Intan sedang berusaha mengarang sebuah alasan, "aku kira itu hape-ku. Tadi kubuka pesannya."
                Vina membaca pesan itu. Dia kembali duduk di kasur Intan, tidak jadi keluar kamar. "Kamu baca pesan ini, Tan?" kata Vina sambil mengangkat ponselnya.
                Intan mengangguk dua kali, lalu menundukkan kepalanya. "Mbak marah?" kata Intan sambil mengangkat kepalanya.
                "Untuk apa harus marah?" kata Vina setengah berbisik.
                Intan menghembuskan napas panjang.
                "Tan, aku kesal aja. Semalam kita baru aja ngobrol panjang lebar soal duniaku. Semalam... aku begitu bersemangat ingin meninggalkan kehidupanku yang jijik itu. Tapi, kalau ada sms seperti ini, kadang...," Vina tidak bisa melanjutkan kata-katanya.
                "Kadang?" tanya Intan sambil melihat mata Vina lekat-lekat.
                "Kadang... ada semangat yang muncul dalam hatiku, Tan. Aku bersemangat karena... akan dapat duit. Dan, rasanya, dapat duit begitu mudah!" kata Vina sambil membenamkan wajahnya di antara silangan kedua tangannya.
                Intan mendekati Vina, mengelus pundaknya. "Aku enggak tahu harus bilang apa, Mbak. Yang jelas, Mbak harus bisa keluar dari semua ini," kata Intan.
                Vina mengangkat kepalanya. Matanya tampak merah. "Iya, Tan. Aku akan mencoba menolaknya," kata Vina. "Walaupun berat."
                Intan hendak menanyakan tentang pengirim pesan pendek itu. Tapi, untuk saat ini dia mengurungkan niatnya. Dia akan menyelidiki semuanya perlahan-lahan. "Nanti malam tidur di sini lagi ya, Mbak?"
                Vina mengangguk. "Semoga aku menemukan alasan yang tepat untuk menolak ajakan malam ini." Vina meninggalkan Intan dengan wajah yang sayu.
                Hati Intan diliputi perasaan yang sedih ketika menyaksikan Vina menutup pintu kamarnya. Dalam hati ia berharap agar Vina menemukan kekasih sejatinya.
Intan pun teringat pada kenangan masa kecilnya. Kenangan ketika dia berulang tahun, menyaksikan merpati yang terjebak hujan. Hingga saat ini, bila dia merasakan kepedihan atau duka yang mendalam, dia selalu teringat pada merpati kecil itu.
Saat SMP, Intan mengalami kenangan lain yang tak terlupakan juga.
Di lantai dua sekolahnya, beberapa kali ada burung tersesat, masuk ke beberapa ruangan di sana. Dia pernah menemukan dua kali burung yang tersesat: sekali di toilet dan sekali di aula. Dua-duanya dia lepaskan bersama teman-temannya. Mereka senang melihat burung-burung itu terbang bebas lagi di angkasa.
Suatu hari, saat anak-anak sudah pulang sekolah, ada seekor burung pipit tersesat, ditemukan petugas kebun sekolah. Burung itu menabrak-nabrak jendela aula lantai dua, tidak bisa keluar ruangan. Jendela kemudian dibuka, namun burung yang malang itu sudah lemah sekali, tidak bisa terbang, jatuh di lantai dalam keadaan lemas.
Bersama seorang temannya Intan melihat kejadian itu. Dia mengambil burung itu dari petugas kebun sekolah, membawanya ke toilet. Matanya tertutup, sepasang kakinya tertekuk dalam posisi yang masing-masing berbeda. Intan memberinya minum air dari kran. Intan gerak-gerakkan kakinya yang kaku dan tiup matanya agar membuka. Kira-kira sepuluh menit kemudian....
"Wuuus!" Burung itu terbang tinggi, meninggalkan telapak tangan Intan, hinggap di kayu dekat atap toilet sekolah beberapa saat. Tak lama kemudian, dia berhasil keluar dari toliet, terbang tinggi, dan makin tinggi.
Intan tak pernah melupakan pengalaman itu, sampai sekarang masih menyimpan puisi yang dibuatnya dari pengalaman itu. Dia mengandaikan ada sebuah burung yang terperangkap di sebuah gubuk, lalu dilepaskan oleh seorang anak kecil. Burung itu pulang kembali ke rumah, bertemu ayah-ibunya. Dia mendapatkan nilai 90 untuk puisi itu:

seekor burung kecil terbang tinggi
seorang anak kecil baru saja melepasnya
ia tadi terperangkap di sebuah gubuk
yang tak jauh dari sawah dekat rumah si anak

burung pipit yang malang
ia terperangkap dua jam
dan tak tahu cara keluar dari gubuk
ketika senja usai, deritanya pun berakhir

bersama cakrawala yang merah membara
ia kembali menuju sarang ayah-ibunya
bercicit dan berkicau riang akhiri hari
membawa cerita dari anugerah hari ini

di sebuah rumah dekat sawah
sukacita membuncah bersama derai tawa
si anak kecil dihadiahi mobil-mobilan
ia tengah berulang tahun keenam

saat mobil-mobilan ditarik-tarik riang
si anak kecil sayup-sayup mendengar
kicau-kicau kebebasan dari langit
bersama senja yang membawa kegelapan

Intan ingin menjadi anak kecil dalam puisinya, melepaskan Vina yang terpenjara dalam gubuk. Namun, apa dayanya?
SEPULANG kuliah, Intan kembali bekerja di toko fotokopi milik Mas Yudi. Kebetulan, sore hingga malam ini dia menjaga toko bersama Feny.
                "Fen, selain bisnis fotokopi ini, Mas Yudi itu kerjaannya apa sih?"
                Feny yang sedang memfotokopi menjawab, "Tumben kamu tanya-tanya soal Mas Yudi, Tan."
                "Ya... ingin tahu aja. Kan bos sendiri, enggak apa-apa kan?"
                "Iya sih," kata Feny.
                Intan agak canggung hendak menanyakan pertanyaan lain. Dia menunggu Feny bersuara. Feny tampak sibuk memencet-mencet tombol mesin fotokopi.
                "Mmm... Fen, kamu enggak pernah menemukan hal yang aneh di Mas Yudi?"
                Feny menatap mata Intan. Tatapan itu dia lakukan dengan gerakan leher yang tiba-tiba. Intan cukup terperanjat melihat wajahnya.
                "Maksudmu?" tanya Feny.
                "Aku... sempat dengar-dengar... soal," Intan ragu hendak melanjutkan kalimatnya.
                "Ayam kampus?" Feny berbisik sambil melebarkan matanya.
                Jantung Intan serasa mau copot. Dia mengangguk-angguk dengan cepat. "Kok... kok kamu tahu...?"
                Feny menyilangkan jari telunjuk di bibirnya. Dia mendekati Intan, berbisik, "Di belakang kita ada istri Mas Yudi. Nanti, waktu kita makan malam aja. Nanti kujelasin semua di sana."
                Intan merangkul pinggang Feny. "Makasih, Fen," bisiknya.
"MAS Yudi adalah mucikari, Tan," kata Feny. Mereka berdua sedang ada di sebuah warung lesehan, sedang sama-sama menunggu pesanan tempe penyet untuk makan malam.
                "Mucikari?" Intan baru pertama mendengar istilah itu.
                "Dia seorang perantara -- antara ayam kampus dengan pelanggan."
Intan mengangguk-angguk. Feny menceritakan hal-hal tentang Mas Yudi kepada Intan yang selama ini tidak diketahuinya. Amarah mulai berkecamuk dalam benak Intan.
"Tan... aku minta satu hal ini tidak membuatmu terkejut atau marah-marah," kata Feny.
"Apa itu, Fen?"
Feny tampak gelisah. Matanya bahkan merah dan sedikit berair.
"Fen, ada apa?"
"Tan," kata Feny dengan suara serak. "Janjilah sama aku kalau ini rahasia kita berdua aja."
Intan mengangguk. Pesanan mereka datang.
"Tan," kata Feny sambil mengatur napasnya. "Hendra adalah teman dekat Mas Yudi. Mereka berdua itu sebenarnya bersekongkol, mau menjadikan kamu wanita panggilan atau ayam kampus."
"Hah?" Intan nyaris menggebrak meja.
"Dari bisik-bisik mereka, aku paham kalau Mas Yudi dulu pernah memberitahu Hendra kalau kamu dari -- maaf -- keluarga miskin, dari Pontianak. Aku nguping percakapan mereka waktu pagi hari saat kamu sedang kuliah."
"Kapan? Sebelum aku pergi sama Hendra atau sesudahnya?"
"Sesudahnya, Tan."
"Terus, Hendra berusaha menarik perhatianku dengan cerpen itu?" tanya Intan.
Feny mengangguk. "Kelihatannya begitu. Aku mendengar semuanya di ruangan yang ada di belakang toko kita itu, Tan. Mereka tahu kalau kamu suka nulis, suka baca buku, mau kuliah di jurusan Bahasa tapi enggak jadi."
Intan menggaruk-garuk rambutnya dan memutar-mutarkan lehernya. Belum pernah dia ingin marah sejadi-jadinya seperti saat ini. Feny memegang tangannya. "Tan, sabar... kendalikan emosimu."
Intan dan Feny saling bertatapan cukup lama. Air mata kedua wanita muda itu mengalir. "Aku janji," kata Intan dengan suaranya yang serak dan terbata-bata. "Sialan! Aku akan memberi pelajaran untuk dua orang itu suatu hari nanti," katanya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah mampir, dan sudi berkomentar.