Jumat, 17 Februari 2017

Bab 5: Vina yang Malang


INTAN ke warnet hampir setiap hari, menunggu balasan pesan dari Anton Setiawan di Facebook-nya, atau permintaan pertemanan. Namun, yang dinantikannya itu tak kunjung datang. Status Anton yang terakhir dibacanya adalah: "Siap-siap mendaki ke Arjuna bersama teman-teman yang gembira. Rock and roll! \m/"
Intan begitu bahagia membayangkan Anton yang suka dengan alam dan petualangan. Dalam hatinya muncul harapan agar suatu saat dia diajak mendaki gunung. Dia membayangkan hawa yang dingin, pepohonan, dan keindahan alam. Dia membayangkan Anton menulis puisi atau cerita tentang alam, atau... mungkin tentang dirinya. Tapi, Intan menyimpan rapat-rapat semua harapan dan angan ini dalam hatinya. Bagi Intan, berbagi cerita tentang harapan akan melipatgandakan kekecewaan bila harapan itu tak kunjung datang.
Selain dengan Feny, sekarang Intan sering berbagi cerita dengan Vina. Intan menemukan sosok kakak dalam diri Vina. Dia selalu bertanya-tanya, kenapa sosok sebaik Vina mau menjual dirinya kepada pria-pria hidung belang. Intan sangat ingin menanyakan hal itu kepada Vina, tapi dia khawatir menyinggung perasaannya.
"Tan," kata Vina suatu malam. Mereka berdua sedang duduk-duduk di teras rumah, baru saja selesai makan malam. "Pernahkah kamu benar-benar jatuh cinta?"
Intan cukup kaget mendengar pertanyaan itu karena Vina menanyakannya dengan tatapan mata yang lain. Intan menyipitkan matanya. "Kenapa, Mbak? Kok aneh pertanyaannya, enggak biasanya tanya beginian."
Vina menghela napas panjang. "Tan, mau enggak kamu menjaga sebuah rahasia?"
Intan mengangguk. Hal ini tampaknya berkaitan dengan yang ingin ditanyakannya sejak mulai akrab dengan Vina. "Mbak Vina sudah kuanggap kakakku," katanya.
Vina menyipitkan matanya, tampak sedikit berkaca-kaca. "Makasih, Tan," katanya sambil menyandarkan kepalanya di kursi.
"Mmm... rahasia apa, Kak?"
Vina mengubah posisi duduknya, tak lagi bersandar di kursi. "Gini, Tan. Kurasa kamu udah tahu kalau aku ini cewek murahan. Aku udah dengar banyak desas-desus di kos ini. Dan, memang benar gitu.
"Tapi, sejak beberapa hari yang lalu aku ingin berubah, Tan. Sejak kita ke gereja, tepatnya. Mungkin kamu lihat atau dengar aku menangis saat kita mengucapkan doa pengakuan dosa?"
Intan sebenarnya mengingat hal itu, tapi dia berpura-pura tengah mengingat-ingat kejadian itu. "Ya, aku ingat," katanya.
"Aku ingin mengakhiri semuanya, Tan."
"Semuanya?"
Vina memajukan duduknya. "Aku ingin jadi cewek baik-baik, Tan. Aku ingin punya seorang kekasih -- satu pria untuk seumur hidup. Tapi, kadang niat itu timbul, lalu tenggelam. Udah dua tahun kujalani hal ini, dan aku selalu bertanya: sampai kapan aku begini? Kadang, yang kulakukan kurasakan nikmat. Tapi...," Vina mulai menitikkan air matanya.
Intan menggeser kursi plastik yang didudukinya. "Mbak, yuk kita ke kamar. Enggak enak kalau ada tamu yang datang, lalu melihat Mbak seperti ini."
Mereka berdua pun ke kamar Intan. "Mbak, aku bikinin teh panas ya. Kita ngobrol  sambil minum teh kan enak?"
Vina tersenyum sambil menghapus air matanya. "Kamu benar-benar anak manis, Tan," katanya.
Saat di dapur, Intan bingung memberi tanggapan untuk Vina. Beberapa anak kos sangat membenci Vina. Intan bahkan pernah mendengar cerita dari teman kos lainnya ada anak kos yang memperlakukan Vina dengan sangat sinis. Anak kos itu, saat menjemur pakaiannya berpapasan dengan Vina yang baru keluar dari kamar mandi. Ia meludah di dekat tempat menjemur pakaian, lalu berkata, "Kok kos ini baunya enggak enak ya?"
"Emang bau apa?" kata seorang anak kos lainnya yang saat itu juga menjemur pakaian.
"Bau keringat cowok dekat-dekat sini," katanya sambil pura-pura mengendus-endus sesuatu.
Tapi Vina, bagi Intan, tetaplah wanita yang perlu dimengerti. Sejak dulu nenek mengajarinya untuk ramah dan tidak berlaku jahat kepada siapa pun. Intan mengingat pesan neneknya itu sambil membawa dua gelas teh panas itu ke dalam kamar.
"Mbak, ini tehnya," kata Intan.
"Makasih, Tan."
Intan tersenyum, "Sampai di mana kita tadi?"
"Sampai aku mewek," kata Vina sambil memasang wajah melas.
Mereka berdua tertawa cukup keras, lalu kembali hening.
"Tan, aku jatuh cinta," kata Vina dengan suara lirih.
"Wah, asyik dong. Traktiran nih...," kata Intan dengan senyum yang lebar.
Vina tetap memasang wajah serius. "Masalahnya, Tan. Cowok itu udah punya istri dan satu anak. Sekarang, aku lagi bingung. Dia juga lagi bingung...."
Wajah Intan seketika berubah. "Kenapa memilih yang udah punya anak, Mbak? Memangnya enggak ada cowok lain?"
"Enggak ada, Tan. Hanya satu itu pilihanku, Tan."
Intan tidak yakin dengan jawaban itu. Vina yang bermata indah dan berkulit mulus, tidak mungkin pria-pria tidak mendekat kepadanya. "Aku enggak percaya, Mbak."
Vina bercerita bahwa selama ini memang banyak pria yang datang kepadanya. Teman-teman pria Intan dan Vina yang sekampus sangat banyak yang menggodai Vina bila dia melintas di bagian mana saja di kampus itu. Intan menyaksikan sendiri godaan-godaan itu. "Tapi, Tan. Setelah sekian lama aku berpikir, aku lebih suka dengan pria dewasa. Aku suka sama om-om. Aku lebih merasa nyaman bersama mereka. Mereka bisa melindungi. Jujur aja, kalau begituan sama mahasiswa seru juga sih. Tapi, pola pikir mereka lain. Nafsu mereka gede, dan mereka rata-rata cuma ingin senang-senang."
"Lha, terus, kalau kalian berdua jadi menikah, bagaimana? Mbak enggak kasihan sama istri dan anaknya?"
"Gini lho, Tan. Dia itu malah bilang kalau istrinya udah minta cerai. Tapi, kalau cerai, istrinya ingin mengasuh anaknya. Padahal, dia sangat sayang sama anaknya itu," kata Vina sambil mengeluarkan dompetnya. "Ini foto mereka bertiga."
Intan mengamati ketiga wajah dalam potret itu. "Manis juga cowoknya," kata Intan. "Siapa namanya?"
"Indra."
Jantung Intan seperti mau copot mendengar nama itu. "Kukira Hendra," gumamnya, nyaris tak terdengar.
"Gimana, Tan? Kamu ada usul atau saran?"
Intan mengangkat bahu. "Aku bingung, Mbak. Kita tunggu aja. Aku janji juga akan mikirin jalan terbaik untuk masalah ini."
"Iya, memang enggak mudah sih mikirin jalan keluarnya."
Intan memberanikan diri menanyakan sesuatu. "Mbak, kalau boleh tahu, kenapa Mbak sampai mau melakukan hal ini?"
"Panjang ceritanya, Tan. Semuanya terjadi seperti mimpi."
"Aku mau dengar kalau Mbak mau cerita," kata Intan. Ia menyeruput tehnya yang masih panas.
Vina becerita bahwa awalnya dia kecewa dengan seorang pria. Pria ini adalah pacarnya waktu SMA yang berjanji akan setia kepadanya. Terbuai dengan janji itu, Vina menyerahkan semuanya kepada pria itu. Mereka teman sekelas waktu kelas 2 di sebuah SMA di Blitar. Sejak perpisahan SMA, pria itu tidak pernah lagi menunjukkan batang hidungnya. Orangtua si pria menyatakan bahwa anak mereka telah merantau ke Kalimantan, bekerja di sebuah perusahaan kayu. Dari Blitar, Vina pindah ke Malang, kuliah.
Saat kuliah dia bertemu dengan seorang pria lain. Pria itu tampak begitu baik awalnya. Vina kembali menyerahkan semuanya kepada pria itu setelah mereka berpacaran dua bulan. Suatu malam, mereka bercinta di sebuah vila di Batu. Saat itu hubungan mereka sedang tidak baik. Vina sebenarnya sudah ingin mengakhiri hubungan itu, tapi dia masih bingung. Saat pacarnya tertidur, Vina berjalan-jalan keluar vila, ingin melihat-lihat pemandangan.
Dia bertemu penjaga vila. Penjaga vila mengajak Vina mengobrol. Saat mereka mengobrol, ada wanita lain yang melintas di depan mereka. Penjaga vila berbisik kalau wanita itu seorang ayam kampus. Dia bercerita kepada Vina bahwa cukup banyak ayam kampus yang diajak "main" ke vila itu kalau malam Minggu. Penjaga vila itu mengiming-imingi Vina, bayaran ayam kampus cukup besar.
"Entah kenapa, tiba-tiba aku mau aja memberi nomor hape-ku waktu itu, Tan. Yang jelas, aku sedang putus asa dengan pacarku -- dia ketahuan selingkuh. Aku ingin cari penggantinya. Siapa tahu kenalan penjaga vila itu ada yang bisa kujadikan pacar baru. Tapi, bukannya ketemu pengganti, aku malah dapat kesenangan lain. Uang. Dalam sebulan, dari penjaga vila itu, aku menerima banyak panggilan telepon. Beberapa panggilan bahkan aku tolak saking banyaknya," kata Vina mengakhiri ceritanya.
Intan mendesahkan napas panjang sambil menyeruput tehnya sekali lagi. Dia tidak bisa mengatakan apa pun.
"Aku ingin kamu ingat ini, Tan -- satu hal ini. Enggak semua uang yang kudapatkan kupakai untuk bersenang-senang. Ayahku sudah enggak ada dan ibuku yang ada di Blitar sehari-hari jualan sayur di pasar. Aku punya seorang adik yang masih SMP, dan aku sering memberinya uang. Ibu sempat tanya aku dapat uang dari mana. Aku bohong, bilang kalau aku sesekali jadi SPG," kata Vina.
"Tapi...," kata Intan. Ia agak ragu untuk melanjutkan kata-katanya.
"Kenapa, Tan?"
"Kuyakin Mbak tetap punya rasa bersalah kan?"
Vina mengangguk. "Selalu, Tan. Tiap kali setelah aku selesai begituan, seringkali aku menangis sendirian. Senang sih dapat uang, tapi harga diriku rasanya hancur. Dan, hampir tiap malam aku berjanji untuk berhenti dari semua ini."
"Tapi, bagaimana dengan Indra?"
"Entahlah, Tan. Aku enggak tahu harus bagaimana menghadapi cowok satu ini," kata Vina sambil merapikan rambutnya.
Intan mengerutkan dahinya. "Apa yang Mbak rasakan waktu...," Intan agak ragu melanjutkannya, "bercinta, waktu... begituan sama dia?"
"Kamu benar-benar ingin tahu, Tan?" tanya Vina dengan tatapan tak percaya.
Intan jadi merasa serba salah. "Maksudku, gimana ya rasanya bercinta dengan orang yang benar-benar kita cintai?"
Vina memegang tangan Intan. "Tan," kata Vina dengan suara agak serak. "Kamu orang baik. Kurasa ceritaku cukup segini dulu. Malam ini aku berdoa kamu menemukan orang yang mencintaimu dengan tulus dan apa adanya. Nanti, rasakanlah sendiri, Tan."
Intan memeluk Vina. "Amin, Kak."
"Semoga Tuhan mendengar doa seorang pelacur hina ini, Tan," kata Vina sambil mengelus-elus rambut Intan.
"Kak," bisik Intan sambil melepas pelukannya. "Tidak ada manusia yang terlalu hina. Suatu saat, Tuhan akan membuka pintu kebahagiaan untuk kita masing-masing."
Malam itu Intan tidur sekamar dengan Vina. Intan merasa begitu senang ditemani Vina. Mereka mengobrol tentang keluarga mereka masing-masing sampai hampir tengah malam. Setelah capek mengobrol, mereka berdua menyetel lagu-lagu bertema cinta dan menirukan bagian yang mereka hapal. Sebuah lagu yang mereka ulang-ulangi adalah "The Power of Love" yang dinyanyikan oleh Celline Dion*). Salah satu bagian lagu itu yang mereka sukai adalah ini:

'Cause I am your lady
And you are my man
Whenever you reach for me
I'll do all that I can

*) Lagu ini pertama kali dinyanyikan oleh Jennifer Rush pada 1984.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah mampir, dan sudi berkomentar.