INTAN ke warnet hampir setiap hari, menunggu balasan pesan dari Anton Setiawan di Facebook-nya, atau permintaan pertemanan. Namun, yang dinantikannya itu tak kunjung datang. Status Anton yang terakhir dibacanya adalah: "Siap-siap mendaki ke Arjuna bersama teman-teman yang gembira. Rock and roll! \m/"
Intan begitu bahagia membayangkan
Anton yang suka dengan alam dan petualangan. Dalam hatinya muncul harapan agar
suatu saat dia diajak mendaki gunung. Dia membayangkan hawa yang dingin,
pepohonan, dan keindahan alam. Dia membayangkan Anton menulis puisi atau cerita
tentang alam, atau... mungkin tentang dirinya. Tapi, Intan menyimpan
rapat-rapat semua harapan dan angan ini dalam hatinya. Bagi Intan, berbagi
cerita tentang harapan akan melipatgandakan kekecewaan bila harapan itu tak
kunjung datang.
Selain dengan Feny, sekarang Intan
sering berbagi cerita dengan Vina. Intan menemukan sosok kakak dalam diri Vina.
Dia selalu bertanya-tanya, kenapa sosok sebaik Vina mau menjual dirinya kepada
pria-pria hidung belang. Intan sangat ingin menanyakan hal itu kepada Vina,
tapi dia khawatir menyinggung perasaannya.
"Tan," kata Vina suatu
malam. Mereka berdua sedang duduk-duduk di teras rumah, baru saja selesai makan
malam. "Pernahkah kamu benar-benar jatuh cinta?"
Intan cukup kaget mendengar
pertanyaan itu karena Vina menanyakannya dengan tatapan mata yang lain. Intan
menyipitkan matanya. "Kenapa, Mbak? Kok aneh pertanyaannya, enggak
biasanya tanya beginian."
Vina menghela napas panjang. "Tan,
mau enggak kamu menjaga sebuah rahasia?"
Intan mengangguk. Hal ini tampaknya
berkaitan dengan yang ingin ditanyakannya sejak mulai akrab dengan Vina. "Mbak
Vina sudah kuanggap kakakku," katanya.
Vina menyipitkan matanya, tampak
sedikit berkaca-kaca. "Makasih, Tan," katanya sambil menyandarkan
kepalanya di kursi.
"Mmm... rahasia apa,
Kak?"
Vina mengubah posisi duduknya, tak
lagi bersandar di kursi. "Gini, Tan. Kurasa kamu udah tahu kalau aku ini
cewek murahan. Aku udah dengar banyak desas-desus di kos ini. Dan, memang benar
gitu.
"Tapi, sejak beberapa hari yang
lalu aku ingin berubah, Tan. Sejak kita ke gereja, tepatnya. Mungkin kamu lihat
atau dengar aku menangis saat kita mengucapkan doa pengakuan dosa?"
Intan sebenarnya mengingat hal itu,
tapi dia berpura-pura tengah mengingat-ingat kejadian itu. "Ya, aku
ingat," katanya.
"Aku ingin mengakhiri
semuanya, Tan."
"Semuanya?"
Vina memajukan duduknya. "Aku
ingin jadi cewek baik-baik, Tan. Aku ingin punya seorang kekasih -- satu pria
untuk seumur hidup. Tapi, kadang niat itu timbul, lalu tenggelam. Udah dua
tahun kujalani hal ini, dan aku selalu bertanya: sampai kapan aku begini?
Kadang, yang kulakukan kurasakan nikmat. Tapi...," Vina mulai menitikkan
air matanya.
Intan menggeser kursi plastik yang
didudukinya. "Mbak, yuk kita ke kamar. Enggak enak kalau ada tamu yang
datang, lalu melihat Mbak seperti ini."
Mereka berdua pun ke kamar Intan.
"Mbak, aku bikinin teh panas ya. Kita ngobrol sambil minum teh kan enak?"
Vina tersenyum sambil menghapus air
matanya. "Kamu benar-benar anak manis, Tan," katanya.
Saat di dapur, Intan bingung
memberi tanggapan untuk Vina. Beberapa anak kos sangat membenci Vina. Intan
bahkan pernah mendengar cerita dari teman kos lainnya ada anak kos yang memperlakukan
Vina dengan sangat sinis. Anak kos itu, saat menjemur pakaiannya berpapasan
dengan Vina yang baru keluar dari kamar mandi. Ia meludah di dekat tempat
menjemur pakaian, lalu berkata, "Kok kos ini baunya enggak enak ya?"
"Emang bau apa?" kata
seorang anak kos lainnya yang saat itu juga menjemur pakaian.
"Bau keringat cowok
dekat-dekat sini," katanya sambil pura-pura mengendus-endus sesuatu.
Tapi Vina, bagi Intan, tetaplah
wanita yang perlu dimengerti. Sejak dulu nenek mengajarinya untuk ramah dan
tidak berlaku jahat kepada siapa pun. Intan mengingat pesan neneknya itu sambil
membawa dua gelas teh panas itu ke dalam kamar.
"Mbak, ini tehnya," kata
Intan.
"Makasih, Tan."
Intan tersenyum, "Sampai di
mana kita tadi?"
"Sampai aku mewek," kata
Vina sambil memasang wajah melas.
Mereka berdua tertawa cukup keras,
lalu kembali hening.
"Tan, aku jatuh cinta,"
kata Vina dengan suara lirih.
"Wah, asyik dong. Traktiran
nih...," kata Intan dengan senyum yang lebar.
Vina tetap memasang wajah serius.
"Masalahnya, Tan. Cowok itu udah punya istri dan satu anak. Sekarang, aku
lagi bingung. Dia juga lagi bingung...."
Wajah Intan seketika berubah.
"Kenapa memilih yang udah punya anak, Mbak? Memangnya enggak ada cowok
lain?"
"Enggak ada, Tan. Hanya satu
itu pilihanku, Tan."
Intan tidak yakin dengan jawaban
itu. Vina yang bermata indah dan berkulit mulus, tidak mungkin pria-pria tidak
mendekat kepadanya. "Aku enggak percaya, Mbak."
Vina bercerita bahwa selama ini
memang banyak pria yang datang kepadanya. Teman-teman pria Intan dan Vina yang
sekampus sangat banyak yang menggodai Vina bila dia melintas di bagian mana
saja di kampus itu. Intan menyaksikan sendiri godaan-godaan itu. "Tapi,
Tan. Setelah sekian lama aku berpikir, aku lebih suka dengan pria dewasa. Aku
suka sama om-om. Aku lebih merasa nyaman bersama mereka. Mereka bisa
melindungi. Jujur aja, kalau begituan sama mahasiswa seru juga sih. Tapi, pola
pikir mereka lain. Nafsu mereka gede, dan mereka rata-rata cuma ingin
senang-senang."
"Lha, terus, kalau kalian
berdua jadi menikah, bagaimana? Mbak enggak kasihan sama istri dan
anaknya?"
"Gini lho, Tan. Dia itu malah
bilang kalau istrinya udah minta cerai. Tapi, kalau cerai, istrinya ingin
mengasuh anaknya. Padahal, dia sangat sayang sama anaknya itu," kata Vina
sambil mengeluarkan dompetnya. "Ini foto mereka bertiga."
Intan mengamati ketiga wajah dalam
potret itu. "Manis juga cowoknya," kata Intan. "Siapa
namanya?"
"Indra."
Jantung Intan seperti mau copot
mendengar nama itu. "Kukira Hendra," gumamnya, nyaris tak terdengar.
"Gimana, Tan? Kamu ada usul
atau saran?"
Intan mengangkat bahu. "Aku
bingung, Mbak. Kita tunggu aja. Aku janji juga akan mikirin jalan terbaik untuk
masalah ini."
"Iya, memang enggak mudah sih
mikirin jalan keluarnya."
Intan memberanikan diri menanyakan
sesuatu. "Mbak, kalau boleh tahu, kenapa Mbak sampai mau melakukan hal
ini?"
"Panjang ceritanya, Tan.
Semuanya terjadi seperti mimpi."
"Aku mau dengar kalau Mbak mau
cerita," kata Intan. Ia menyeruput tehnya yang masih panas.
Vina becerita bahwa awalnya dia
kecewa dengan seorang pria. Pria ini adalah pacarnya waktu SMA yang berjanji
akan setia kepadanya. Terbuai dengan janji itu, Vina menyerahkan semuanya
kepada pria itu. Mereka teman sekelas waktu kelas 2 di sebuah SMA di Blitar. Sejak
perpisahan SMA, pria itu tidak pernah lagi menunjukkan batang hidungnya.
Orangtua si pria menyatakan bahwa anak mereka telah merantau ke Kalimantan,
bekerja di sebuah perusahaan kayu. Dari Blitar, Vina pindah ke Malang, kuliah.
Saat kuliah dia bertemu dengan
seorang pria lain. Pria itu tampak begitu baik awalnya. Vina kembali
menyerahkan semuanya kepada pria itu setelah mereka berpacaran dua bulan. Suatu
malam, mereka bercinta di sebuah vila di Batu. Saat itu hubungan mereka sedang
tidak baik. Vina sebenarnya sudah ingin mengakhiri hubungan itu, tapi dia masih
bingung. Saat pacarnya tertidur, Vina berjalan-jalan keluar vila, ingin
melihat-lihat pemandangan.
Dia bertemu penjaga vila. Penjaga
vila mengajak Vina mengobrol. Saat mereka mengobrol, ada wanita lain yang
melintas di depan mereka. Penjaga vila berbisik kalau wanita itu seorang ayam
kampus. Dia bercerita kepada Vina bahwa cukup banyak ayam kampus yang diajak
"main" ke vila itu kalau malam Minggu. Penjaga vila itu
mengiming-imingi Vina, bayaran ayam kampus cukup besar.
"Entah kenapa, tiba-tiba aku
mau aja memberi nomor hape-ku waktu itu, Tan. Yang jelas, aku sedang putus asa
dengan pacarku -- dia ketahuan selingkuh. Aku ingin cari penggantinya. Siapa
tahu kenalan penjaga vila itu ada yang bisa kujadikan pacar baru. Tapi, bukannya
ketemu pengganti, aku malah dapat kesenangan lain. Uang. Dalam sebulan, dari
penjaga vila itu, aku menerima banyak panggilan telepon. Beberapa panggilan
bahkan aku tolak saking banyaknya," kata Vina mengakhiri ceritanya.
Intan mendesahkan napas panjang
sambil menyeruput tehnya sekali lagi. Dia tidak bisa mengatakan apa pun.
"Aku ingin kamu ingat ini, Tan
-- satu hal ini. Enggak semua uang yang kudapatkan kupakai untuk
bersenang-senang. Ayahku sudah enggak ada dan ibuku yang ada di Blitar
sehari-hari jualan sayur di pasar. Aku punya seorang adik yang masih SMP, dan
aku sering memberinya uang. Ibu sempat tanya aku dapat uang dari mana. Aku
bohong, bilang kalau aku sesekali jadi SPG," kata Vina.
"Tapi...," kata Intan. Ia
agak ragu untuk melanjutkan kata-katanya.
"Kenapa, Tan?"
"Kuyakin Mbak tetap punya rasa
bersalah kan?"
Vina mengangguk. "Selalu, Tan.
Tiap kali setelah aku selesai begituan, seringkali aku menangis sendirian.
Senang sih dapat uang, tapi harga diriku rasanya hancur. Dan, hampir tiap malam
aku berjanji untuk berhenti dari semua ini."
"Tapi, bagaimana dengan
Indra?"
"Entahlah, Tan. Aku enggak
tahu harus bagaimana menghadapi cowok satu ini," kata Vina sambil
merapikan rambutnya.
Intan mengerutkan dahinya.
"Apa yang Mbak rasakan waktu...," Intan agak ragu melanjutkannya,
"bercinta, waktu... begituan sama dia?"
"Kamu benar-benar ingin tahu,
Tan?" tanya Vina dengan tatapan tak percaya.
Intan jadi merasa serba salah.
"Maksudku, gimana ya rasanya bercinta dengan orang yang benar-benar kita
cintai?"
Vina memegang tangan Intan.
"Tan," kata Vina dengan suara agak serak. "Kamu orang baik.
Kurasa ceritaku cukup segini dulu. Malam ini aku berdoa kamu menemukan orang
yang mencintaimu dengan tulus dan apa adanya. Nanti, rasakanlah sendiri,
Tan."
Intan memeluk Vina. "Amin,
Kak."
"Semoga Tuhan mendengar doa
seorang pelacur hina ini, Tan," kata Vina sambil mengelus-elus rambut
Intan.
"Kak," bisik Intan sambil
melepas pelukannya. "Tidak ada manusia yang terlalu hina. Suatu saat, Tuhan
akan membuka pintu kebahagiaan untuk kita masing-masing."
Malam itu Intan tidur sekamar
dengan Vina. Intan merasa begitu senang ditemani Vina. Mereka mengobrol tentang
keluarga mereka masing-masing sampai hampir tengah malam. Setelah capek
mengobrol, mereka berdua menyetel lagu-lagu bertema cinta dan menirukan bagian
yang mereka hapal. Sebuah lagu yang mereka ulang-ulangi adalah "The Power
of Love" yang dinyanyikan oleh Celline Dion*). Salah satu bagian lagu itu yang
mereka sukai adalah ini:
'Cause
I am your lady
And
you are my man
Whenever
you reach for me
I'll
do all that I can
*) Lagu ini pertama kali dinyanyikan oleh Jennifer Rush pada
1984.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah mampir, dan sudi berkomentar.