"Di pertigaan, aku bertemu
pria asing. Aku minta dia mengantarkan aku sampai terminal kota Batu. Sampai
sekarang aku enggak tahu siapa dia. Di terminal, untungnya masih ada angkot
yang ke Malang. Dari terminal Batu aku turun di terminal Landungsari. Dari Landungsari
aku naik angkot lagi, sampailah aku dengan selamat di sini," kata Intan
dengan mata berkaca-kaca.
Feny memeluk Intan dengan erat.
"Tan, syukurlah... Tuhan masih melindungimu."
Intan menitikkan air mata. Ia
melepaskan pelukan itu. "Makasih, Fen. Aku cuma kuatir Hendra jahanam itu
datang lagi ke sini. Gimana ya?"
"Kita laporkan aja ke Mas
Yudi, gimana?"
Intan mengangkat bahu. "Tiap
kali aku teringat pengalaman itu, rasanya memuakkan banget. Dadaku sesak. Kadang,
aku takut dikira cewek murahan kalau cerita ke orang lain tentang hal ini. Bodohnya
aku! Tapi, aku juga merasa bertindak keterlaluan. Entahlah, kadang aku juga
kasihan dengan Hendra walaupun dia sudah sangat kurang ajar," katanya
pelan.
"Gitu ya, Tan?" tanya
Feny.
"Ya. Dan, jujur aja, aku
sempat jatuh hati sama Mas Hendra, Fen," kata Intan.
"Gara-gara cerpennya
itu?"
Intan mengangguk.
"Ya udahlah, Tan. Dijalani aja
kehidupanmu yang sekarang. Kamu waspada aja kalau ke mana-mana. Yang penting,
jangan hubungi dia lagi. Cari kesibukan lain. Lupakan!"
"Betul, Fen. Dan kurasa, akan mudah
melupakan Hendra. Kenal sama dia juga baru sebulan lebih. Aku sudah menghapus
nomornya dari hape-ku. Nanti aku juga mau ganti nomor," kata Intan.
"Yang lebih susah...."
"Apa, Tan?" tanya Feny
dengan wajah penasaran.
"Melupakan cerpennya, Fen.
Entah udah berapa kali aku baca cerpen itu. Aku selalu suka dengan cerpennya.
Cerpennya mengingatkan aku pada masa kecilku, masa remajaku. Ada cerita tentang
ibu yang pergi menjadi TKW, Clara yang hidup bersama seorang kakek... cerpen
itu benar-benar membuatku menciptakan bayangan sendiri tentang Hendra.
Ceritanya begitu hidup, sampai pernah kukira kalau dia mengisahkan hidupnya
sendiri."
Feny mendengus. "Ya udah,
singkirkan aja cerpen itu. Nanti malah kamu kangen sama penulisnya. Ya kan?"
Intan mengangguk-angguk. "Ya,
nanti malam akan kubakar aja!"
Tugas-tugas kuliah Intan semakin
banyak dari hari ke hari. Dia mulai sibuk membagi waktu untuk bekerja, kuliah,
mengerjakan tugas, dan istirahat. Nyaris tidak ada waktu untuk
bersenang-senang. Dia mengabarkan kepada Om Joni masih belum sempat berkunjung
ke Sidoarjo. Bila malam Minggu tiba, dia kadang merindukan ada pria yang
menghampirinya di rumah kos. Dia kadang iri melihat teman-teman satu kosnya yang
diajak pacar mereka jalan-jalan.
Ada juga teman kos Intan yang suka
menghabiskan malam Minggu di Batu, di vila-vila. Kadang, dia juga ke
hotel-hotel di Malang. Nama temannya itu Vina. Dia kakak tingkat Intan di
kampusnya. Intan mendengar cerita kalau Vina adalah ayam kampus alias wanita
panggilan. Tarif Vina cukup tinggi, short
time saja, 3 jam, 500 ribu. Kalau semalaman kadang ia minta bayaran 1
sampai 1,5 juta.
Setiap kali memandang Vina,
pikirannya segera melayang ke rumah sepupu Hendra di Batu. Kamar Vina ada di
sebelah kamar Intan. Intan tak pernah mengajaknya mengobrol berlama-lama karena
Vina tampak agak menutup diri. Intan sempat bertanya-tanya, apakah Vina
melakukan semuanya karena kekurangan uang? Atau, dia pernah dikecewakan
seseorang? Atau, jangan-jangan memang seks itu menyenangkan? Entahlah. Intan
selalu memantapkan hatinya agar tujuan hidupnya tidak menyimpang ke kanan dan
ke kiri: kuliah sampai selesai. Intan selalu mengingatkan dirinya sendiri bahwa
cintanya akan datang pada waktunya.
Suatu malam, Intan mendengar pintu
kamarnya diketok. "Tan, Intan...."
Dia bangkit dari tempat tidurnya.
"Iya, siapa ya?" katanya sambil menggeser tirai penutup jendela.
Intan terkejut, dia melihat Vina.
"Eh, Mbak Vina. Ada apa nih,
Mbak? Tumben...."
Vina tersenyum. Intan baru
menyadari kalau Vina ternyata cukup ramah. Wanita itu memiliki tahi lalat di dagunya.
"Begini, Intan. Mbak lagi bingung sama tugas kuliah, bikin makalah.
Mungkin kamu mau bantu-bantu?"
"Oh gitu...," kata Intan.
Ia seperti tak percaya dengan apa yang didengarnya malam ini.
"Iya. Aku tadi ketemu sama
Mirna, teman sekelasmu itu. Dia bilang katanya kamu pandai kalau diberi tugas
menulis atau bikin makalah gitu. Nanti kalau beres kutraktir makan malam. Kamu
sibuk enggak?"
"Wah, Mirna bilang gitu?"
Intan kaget juga dengan pujian itu.
Vina mengangguk beberapa kali.
"Ya, mungkin memang gitu,
kebetulan memang saya hobi menulis, Mbak. Tapi, santai aja, Mbak, nanti saya
bantu. Saya lagi enggak sibuk kok."
"Ke kamarku yuk," ajak
Vina.
"Oke. Asyik, sekali-sekali
mampir ke kamar tetangga."
Intan pun membaca makalah yang
dibuat Vina. Intan melihat makalah itu banyak mengandung kesalahan tulis.
Setelah mereka berdiskusi sekitar setengah jam, Intan menyarankan kalau sumber
atau daftar rujukan makalah ini perlu ditambah. "Enggak harus dari buku, tapi
kelihatannya perlu tambahan data, Mbak."
Vina mengangguk-angguk. "Gitu
ya? Modemku lagi error, jadi enggak bisa cari sumber atau bahan lain. Lagian, aku
kalau sama tugas-tugas begini susah banget nyantolnya."
Sebuah ide muncul di pikiran Intan.
"Belum terlalu malam. Gimana kalau kita ke warnet di depan kampus, Mbak?"
"Boleh itu! Yuk, kita ke
warnet," Vina tampak bersemangat dengan ajakan itu.
"Mbak enggak keluar kan malam
ini?" tanya Intan. Sebenarnya ia agak ragu menanyakan hal itu.
"Mmm... kali ini enggak,"
kata Vina.
"Tumben. Kan malam Minggu,
Mbak?"
"Lagi dapet, Tan," bisik
Vina.
Vina dan Intan berada di depan
komputer yang berbeda saat di warnet. Mereka duduk agak berjauhan karena tidak
ada dua komputer berdekatan yang sama-sama kosong. "Nanti aku bayarin,
Tan. Tapi, aku minta tolong, kamu cari artikel yang sesuai dengan makalahku
itu, nanti link-nya kamu kirim ke Facebook-ku."
"Oke. Aku carikan, Mbak. Nanti
sekalian Mbak ku-add jadi teman di Facebook," kata Intan. "Oh ya, bawa
flashdisk kan?"
Vina mengacungkan jempolnya.
"Sip."
Mereka masing-masing memasang headset. Intan memutar lagu-lagu Agnes
Monica, Padi, dan Dewa. Tidak sampai setengah jam, Intan sudah mendapatkan
empat artikel yang berhubungan dengan makalah yang ditulis Vina.
"Gimana, Mbak, udah dibuka
link-nya?" tulis Intan di kotak pesan Facebook.
"Udah, ini lagi kubaca sekilas,
Tan," balas Vina.
"Kita di sini sampai jam
berapa, Mbak?"
"Sekitar setengah jam lagi
deh. Habis itu kita cari makan ya?"
"Sip, Mbak. Maacih yaaa...
:-)"
"Sama-sama. Nanti malam atau
besok aku tolong diajari juga ya gimana artikel-artikel ini kukaitkan dengan
makalahku."
"Bereees, Mbak Vina cantik!"
"Mmmuach... :-*"
"Iiih, Mbak Vina genit deh!
Wkwkwk...."
"Hahaha...."
Tiba-tiba Intan teringat dengan
cerpen Hendra. Ia pun membuka google.com, lalu mengetikkan judul cerpen itu:
"Suatu Senja di Khatulistiwa". Ia menemukan beberapa hasil pencarian.
Ia meng-klik sebuah link.
"Ups!" katanya agak
keras, membuat orang yang ada di depannya menoleh ke arahnya.
"Sori, Mas," katanya
kepada pria itu.
Suatu
Senja di Khatulistiwa ternyata ditulis oleh seorang yang bernama Manusia
Tanpa Hati. Intan berpikir, mungkinkah Hendra menggunakan nama samaran? Dia
mencari lagi di google.com, mengetikkan kata-kata "cerpen manusia tanpa
hati". Dia menemukan beberapa hasil lainnya. Dia cari lagi "nama asli
penulis manusia tanpa hati hendra" di mesin pencari itu. Tapi, dia tak
menemukan jawaban yang memuaskan.
Intan menggerak-gerakkan jari tangannya
di udara sambil berpikir. Dia mengetik "nama asli manusia tanpa hati"
di google.com. Dia pun menemukan sebuah situs yang mengungkap siapa manusia
tanpa hati itu. Di sana tertulis: "Manusia tanpa Hati adalah nama samaran
dari Anton Setiawan. Ia seorang penulis yang tinggal di Malang, kuliah di
Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang."
Intan pun kembali membuka Facebook-nya.
Dia mengetikkan "Anton Setiawan" dalam kotak pencarian. Intan
menemukan beberapa nama. Dia telusuri satu demi satu, dan akhirnya menemukan Anton
Setiawan yang di profile-nya termuat data: kuliah di Universitas Negeri Malang.
Intan ragu hendak menambahkan Anton
sebagai teman. Sebuah pesan masuk di Facebook-nya, dari Vina: "Balik
yuk!"
Senyum Anton membuat Intan
tersenyum juga.
Dan, cerpen itu, Suatu Senja di Khatulistiwa -- siapakah
yang plagiat? Hendra atau Anton?
Keesokan harinya, dia ke warnet itu
lagi. Dia langsung membuka akun Facebook-nya, dan mencari Anton Setiawan.
Foto-foto profil Anton bisa diakses publik, semua orang yang punya Facebook
bisa melihatnya. Ternyata, Anton adalah seorang pecinta alam. Intan memandangi
foto-foto itu dengan kegembiraan yang besar. Sebuah foto Anton yang disukai
Intan adalah saat dia berada di tepi danau. Dari beberapa komentar yang ada di
sana, foto itu diambil di Ranu Kumbolo, sebuah danau di lereng gunung Semeru.
Danau itu tampak begitu hening di
foto itu. Langit tak begitu cerah, beberapa awan tampak di sana. Anton sedang
melipat kedua tangannya, difoto dari samping. Dia tampak sedang merenungkan
sesuatu sambil memandangi danau yang ada di depannya. "Keren banget,"
bisik Intan.
Setelah melihat foto-foto itu,
Intan memutuskan untuk mengirimi Anton sebuah pesan. Dia menulis demikian:
"Halo, Mas Anton. Kenalin, saya Intan. Saya mahasiswi di Universitas
Merdeka, Malang. Gini, Mas, saya pernah baca satu cerpen, judulnya Suatu Senja
di Khatulistiwa. Itu yang ngarang Mas Anton ya?"
Intan membaca kata-kata yang
ditulisnya itu dua kali. Dia menangkap kesan dirinya terlalu cepat membuka
diri. Dia pun menghapus beberapa bagian dalam pesan itu: "Halo, Mas Anton.
Kenalin, saya Intan. Mas, saya pernah baca satu cerpen, judulnya Suatu Senja di
Khatulistiwa. Itu yang ngarang Mas Anton ya?"
Dia membaca sekali lagi kata-kata yang
sudah diubahnya itu tadi. Dia masih merasa ragu untuk memperkenalkan diri.
Akhirnya, dia pun memilih untuk menulis demikian: "Halo, Mas. Mas, saya
pernah baca satu cerpen, judulnya Suatu Senja di Khatulistiwa. Itu yang ngarang
Mas Anton ya?"
Dia menekan tombol untuk mengirim
pesan itu. Lega rasanya. Setelah mengirim pesan, dia ragu untuk mengirimkan
permintaan pertemanan. Tidak ada teman yang sama di antara mereka berdua. Intan
pun memutuskan untuk hanya mengirimkan pesan. Intan berharap nantinya Anton
yang akan menambah dia sebagai teman di Facebook.
Intan masih memiliki waktu 20 menit
setelah mengirimkan pesan. Dia berharap, barangkali Anton sedang online sekarang, dan langsung membalas
pesannya. Selama 15 menit, dia tak mendapat balasan dari Anton. Waktu Intan
tinggal 5 menit di program pengingat waktu penggunaan warnet -- tadi dia
memasangnya setengah jam. Menjelang tiga menit terakhir, dia melihat ada sebuah
tanda merah di Facebook-nya. Tanda merah itu bukan berada di pesan, tapi
permintaan pertemanan. Intan kaget, siapakah gerangan yang mengajaknya
berteman?
Ternyata, Vina Novelia, teman
kosnya itu.
"Whua!!!" kata Vina yang
muncul tiba-tiba di depannya.
Intan kaget bukan kepalang.
Jantungnya serasa mau copot. "Duh, Mbak Vina... pagi-pagi kok ngagetin
sih!"
"Hehehe... tadi aku ngikutin
kamu waktu ke sini. Aku lho dari tadi duduk di situ," kata Vina sambil
menunjukkan tempat duduknya yang persis di sebelah Intan, tapi dibatasi sekat
papan yang cukup tinggi sehingga tidak kelihatan oleh Intan.
"Iya ya, semalam kita cuma kirim-kirim
pesan, belum berteman. Aku lupa nge-add Mbak Vina. Tapi, aku mau pulang nih,
Mbak. Aku udah setengah jam. Waktuku udah habis, tadi nyetelnya setengah
jam," kata Intan.
"Ih... kok buru-buru pulang.
Kamu ngambek ya?"
"Enggak kok, Mbak," kata
Intan sambil menekan tombol selesai. "Aku mau ke gereja nih. Ibadahnya
mulai setengah jam lagi."
"Lho," kata Vina.
"Kamu ke gereja ternyata?"
Intan mengangguk beberapa kali.
"Iya, Mbak. Memangnya kenapa?"
Vina kembali ke meja komputernya,
dia juga menekan tombol selesai. "Aku ikut kamu ya? Udah lama aku enggak ke
gereja," kata Vina.
Dalam perjalanan pulang, Intan
cukup kaget ketika Vina menggandeng tangannya saat menyeberang jalan. Dia
merasa ada perlindungan dari genggaman tangannya itu. Saat mereka sampai di
kos, Vina mencubit pipinya dengan gemas. "Tunggu aku mandi ya, anak
manis...," katanya sambil bergegas mengambil handuk, sabun, dan
perlengkapan mandi lainnya.
Intan memasang wajah cemberut,
namun hatinya sangat riang. Entah kenapa dia suka disebut "anak
manis". "Cepetan mandinya, awas kalo telat!"
"Bereees, anak manis...,"
kata Vina sambil masuk ke dalam kamar mandi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah mampir, dan sudi berkomentar.