Selasa, 07 Februari 2017

Bab 4: Manusia tanpa Hati

"JADI, malam itu kamu pulangnya gimana?" tanya Feny. Intan telah menceritakan semuanya kepada Feny.
"Di pertigaan, aku bertemu pria asing. Aku minta dia mengantarkan aku sampai terminal kota Batu. Sampai sekarang aku enggak tahu siapa dia. Di terminal, untungnya masih ada angkot yang ke Malang. Dari terminal Batu aku turun di terminal Landungsari. Dari Landungsari aku naik angkot lagi, sampailah aku dengan selamat di sini," kata Intan dengan mata berkaca-kaca.
Feny memeluk Intan dengan erat. "Tan, syukurlah... Tuhan masih melindungimu."
Intan menitikkan air mata. Ia melepaskan pelukan itu. "Makasih, Fen. Aku cuma kuatir Hendra jahanam itu datang lagi ke sini. Gimana ya?"
"Kita laporkan aja ke Mas Yudi, gimana?"
Intan mengangkat bahu. "Tiap kali aku teringat pengalaman itu, rasanya memuakkan banget. Dadaku sesak. Kadang, aku takut dikira cewek murahan kalau cerita ke orang lain tentang hal ini. Bodohnya aku! Tapi, aku juga merasa bertindak keterlaluan. Entahlah, kadang aku juga kasihan dengan Hendra walaupun dia sudah sangat kurang ajar," katanya pelan.
"Gitu ya, Tan?" tanya Feny.
"Ya. Dan, jujur aja, aku sempat jatuh hati sama Mas Hendra, Fen," kata Intan.
"Gara-gara cerpennya itu?"
Intan mengangguk.
"Ya udahlah, Tan. Dijalani aja kehidupanmu yang sekarang. Kamu waspada aja kalau ke mana-mana. Yang penting, jangan hubungi dia lagi. Cari kesibukan lain. Lupakan!"
"Betul, Fen. Dan kurasa, akan mudah melupakan Hendra. Kenal sama dia juga baru sebulan lebih. Aku sudah menghapus nomornya dari hape-ku. Nanti aku juga mau ganti nomor," kata Intan. "Yang lebih susah...."
"Apa, Tan?" tanya Feny dengan wajah penasaran.
"Melupakan cerpennya, Fen. Entah udah berapa kali aku baca cerpen itu. Aku selalu suka dengan cerpennya. Cerpennya mengingatkan aku pada masa kecilku, masa remajaku. Ada cerita tentang ibu yang pergi menjadi TKW, Clara yang hidup bersama seorang kakek... cerpen itu benar-benar membuatku menciptakan bayangan sendiri tentang Hendra. Ceritanya begitu hidup, sampai pernah kukira kalau dia mengisahkan hidupnya sendiri."
Feny mendengus. "Ya udah, singkirkan aja cerpen itu. Nanti malah kamu kangen sama penulisnya. Ya kan?"
Intan mengangguk-angguk. "Ya, nanti malam akan kubakar aja!"

TIGA minggu berlalu sejak malam Minggu kelabu itu. Intan sudah jarang mengingat Hendra. Dia juga tak pernah melihat Hendra di toko fotokopinya. Tiap berangkat ke kampus dia selalu memperhatikan orang-orang yang melintas di sekitarnya. Begitu juga kalau dia pulang dari kampus, mencari makan malam, atau ke mana saja. Dia selalu khawatir Hendra muncul tiba-tiba, melabraknya, atau melakukan hal jahat lainnya kepadanya.
Tugas-tugas kuliah Intan semakin banyak dari hari ke hari. Dia mulai sibuk membagi waktu untuk bekerja, kuliah, mengerjakan tugas, dan istirahat. Nyaris tidak ada waktu untuk bersenang-senang. Dia mengabarkan kepada Om Joni masih belum sempat berkunjung ke Sidoarjo. Bila malam Minggu tiba, dia kadang merindukan ada pria yang menghampirinya di rumah kos. Dia kadang iri melihat teman-teman satu kosnya yang diajak pacar mereka jalan-jalan.
Ada juga teman kos Intan yang suka menghabiskan malam Minggu di Batu, di vila-vila. Kadang, dia juga ke hotel-hotel di Malang. Nama temannya itu Vina. Dia kakak tingkat Intan di kampusnya. Intan mendengar cerita kalau Vina adalah ayam kampus alias wanita panggilan. Tarif Vina cukup tinggi, short time saja, 3 jam, 500 ribu. Kalau semalaman kadang ia minta bayaran 1 sampai 1,5 juta.
Setiap kali memandang Vina, pikirannya segera melayang ke rumah sepupu Hendra di Batu. Kamar Vina ada di sebelah kamar Intan. Intan tak pernah mengajaknya mengobrol berlama-lama karena Vina tampak agak menutup diri. Intan sempat bertanya-tanya, apakah Vina melakukan semuanya karena kekurangan uang? Atau, dia pernah dikecewakan seseorang? Atau, jangan-jangan memang seks itu menyenangkan? Entahlah. Intan selalu memantapkan hatinya agar tujuan hidupnya tidak menyimpang ke kanan dan ke kiri: kuliah sampai selesai. Intan selalu mengingatkan dirinya sendiri bahwa cintanya akan datang pada waktunya.
Suatu malam, Intan mendengar pintu kamarnya diketok. "Tan, Intan...."
Dia bangkit dari tempat tidurnya. "Iya, siapa ya?" katanya sambil menggeser tirai penutup jendela. Intan terkejut, dia melihat Vina.
"Eh, Mbak Vina. Ada apa nih, Mbak? Tumben...."
Vina tersenyum. Intan baru menyadari kalau Vina ternyata cukup ramah. Wanita itu memiliki tahi lalat di dagunya. "Begini, Intan. Mbak lagi bingung sama tugas kuliah, bikin makalah. Mungkin kamu mau bantu-bantu?"
"Oh gitu...," kata Intan. Ia seperti tak percaya dengan apa yang didengarnya malam ini.
"Iya. Aku tadi ketemu sama Mirna, teman sekelasmu itu. Dia bilang katanya kamu pandai kalau diberi tugas menulis atau bikin makalah gitu. Nanti kalau beres kutraktir makan malam. Kamu sibuk enggak?"
"Wah, Mirna bilang gitu?" Intan kaget juga dengan pujian itu.
Vina mengangguk beberapa kali.
"Ya, mungkin memang gitu, kebetulan memang saya hobi menulis, Mbak. Tapi, santai aja, Mbak, nanti saya bantu. Saya lagi enggak sibuk kok."
"Ke kamarku yuk," ajak Vina.
"Oke. Asyik, sekali-sekali mampir ke kamar tetangga."
Intan pun membaca makalah yang dibuat Vina. Intan melihat makalah itu banyak mengandung kesalahan tulis. Setelah mereka berdiskusi sekitar setengah jam, Intan menyarankan kalau sumber atau daftar rujukan makalah ini perlu ditambah. "Enggak harus dari buku, tapi kelihatannya perlu tambahan data, Mbak."
Vina mengangguk-angguk. "Gitu ya? Modemku lagi error, jadi enggak bisa cari sumber atau bahan lain. Lagian, aku kalau sama tugas-tugas begini susah banget nyantolnya."
Sebuah ide muncul di pikiran Intan. "Belum terlalu malam. Gimana kalau kita ke warnet di depan kampus, Mbak?"
"Boleh itu! Yuk, kita ke warnet," Vina tampak bersemangat dengan ajakan itu.
"Mbak enggak keluar kan malam ini?" tanya Intan. Sebenarnya ia agak ragu menanyakan hal itu.
"Mmm... kali ini enggak," kata Vina.
"Tumben. Kan malam Minggu, Mbak?"
"Lagi dapet, Tan," bisik Vina.
Vina dan Intan berada di depan komputer yang berbeda saat di warnet. Mereka duduk agak berjauhan karena tidak ada dua komputer berdekatan yang sama-sama kosong. "Nanti aku bayarin, Tan. Tapi, aku minta tolong, kamu cari artikel yang sesuai dengan makalahku itu, nanti link-nya kamu kirim ke Facebook-ku."
"Oke. Aku carikan, Mbak. Nanti sekalian Mbak ku-add jadi teman di Facebook," kata Intan. "Oh ya, bawa flashdisk kan?"
Vina mengacungkan jempolnya. "Sip."
Mereka masing-masing memasang headset. Intan memutar lagu-lagu Agnes Monica, Padi, dan Dewa. Tidak sampai setengah jam, Intan sudah mendapatkan empat artikel yang berhubungan dengan makalah yang ditulis Vina.
"Gimana, Mbak, udah dibuka link-nya?" tulis Intan di kotak pesan Facebook.
"Udah, ini lagi kubaca sekilas, Tan," balas Vina.
"Kita di sini sampai jam berapa, Mbak?"
"Sekitar setengah jam lagi deh. Habis itu kita cari makan ya?"
"Sip, Mbak. Maacih yaaa... :-)"
"Sama-sama. Nanti malam atau besok aku tolong diajari juga ya gimana artikel-artikel ini kukaitkan dengan makalahku."
"Bereees, Mbak Vina cantik!"
"Mmmuach... :-*"
"Iiih, Mbak Vina genit deh! Wkwkwk...."
"Hahaha...."
Tiba-tiba Intan teringat dengan cerpen Hendra. Ia pun membuka google.com, lalu mengetikkan judul cerpen itu: "Suatu Senja di Khatulistiwa". Ia menemukan beberapa hasil pencarian. Ia meng-klik sebuah link.
"Ups!" katanya agak keras, membuat orang yang ada di depannya menoleh ke arahnya.
"Sori, Mas," katanya kepada pria itu.
Suatu Senja di Khatulistiwa ternyata ditulis oleh seorang yang bernama Manusia Tanpa Hati. Intan berpikir, mungkinkah Hendra menggunakan nama samaran? Dia mencari lagi di google.com, mengetikkan kata-kata "cerpen manusia tanpa hati". Dia menemukan beberapa hasil lainnya. Dia cari lagi "nama asli penulis manusia tanpa hati hendra" di mesin pencari itu. Tapi, dia tak menemukan jawaban yang memuaskan.
Intan menggerak-gerakkan jari tangannya di udara sambil berpikir. Dia mengetik "nama asli manusia tanpa hati" di google.com. Dia pun menemukan sebuah situs yang mengungkap siapa manusia tanpa hati itu. Di sana tertulis: "Manusia tanpa Hati adalah nama samaran dari Anton Setiawan. Ia seorang penulis yang tinggal di Malang, kuliah di Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang."
Intan pun kembali membuka Facebook-nya. Dia mengetikkan "Anton Setiawan" dalam kotak pencarian. Intan menemukan beberapa nama. Dia telusuri satu demi satu, dan akhirnya menemukan Anton Setiawan yang di profile-nya termuat data: kuliah di Universitas Negeri Malang.
Intan ragu hendak menambahkan Anton sebagai teman. Sebuah pesan masuk di Facebook-nya, dari Vina: "Balik yuk!"

INTAN selalu memikirkan Anton malam itu. Setelah menemani Vina makan dan mengerjakan tugasnya, dia tidak bisa tidur hingga lewat tengah malam. Dia ingin kembali lagi ke warnet, melihat foto-foto Anton, atau membaca catatan-catatan yang dibuatnya. Tadi, dia sempat melihat foto Anton yang sedang tersenyum. Anton berambut agak panjang, duduk di sebuah batu yang besar di tepi sungai.
Senyum Anton membuat Intan tersenyum juga.
Dan, cerpen itu, Suatu Senja di Khatulistiwa -- siapakah yang plagiat? Hendra atau Anton?
Keesokan harinya, dia ke warnet itu lagi. Dia langsung membuka akun Facebook-nya, dan mencari Anton Setiawan. Foto-foto profil Anton bisa diakses publik, semua orang yang punya Facebook bisa melihatnya. Ternyata, Anton adalah seorang pecinta alam. Intan memandangi foto-foto itu dengan kegembiraan yang besar. Sebuah foto Anton yang disukai Intan adalah saat dia berada di tepi danau. Dari beberapa komentar yang ada di sana, foto itu diambil di Ranu Kumbolo, sebuah danau di lereng gunung Semeru.
Danau itu tampak begitu hening di foto itu. Langit tak begitu cerah, beberapa awan tampak di sana. Anton sedang melipat kedua tangannya, difoto dari samping. Dia tampak sedang merenungkan sesuatu sambil memandangi danau yang ada di depannya. "Keren banget," bisik Intan.
Setelah melihat foto-foto itu, Intan memutuskan untuk mengirimi Anton sebuah pesan. Dia menulis demikian: "Halo, Mas Anton. Kenalin, saya Intan. Saya mahasiswi di Universitas Merdeka, Malang. Gini, Mas, saya pernah baca satu cerpen, judulnya Suatu Senja di Khatulistiwa. Itu yang ngarang Mas Anton ya?"
Intan membaca kata-kata yang ditulisnya itu dua kali. Dia menangkap kesan dirinya terlalu cepat membuka diri. Dia pun menghapus beberapa bagian dalam pesan itu: "Halo, Mas Anton. Kenalin, saya Intan. Mas, saya pernah baca satu cerpen, judulnya Suatu Senja di Khatulistiwa. Itu yang ngarang Mas Anton ya?"
Dia membaca sekali lagi kata-kata yang sudah diubahnya itu tadi. Dia masih merasa ragu untuk memperkenalkan diri. Akhirnya, dia pun memilih untuk menulis demikian: "Halo, Mas. Mas, saya pernah baca satu cerpen, judulnya Suatu Senja di Khatulistiwa. Itu yang ngarang Mas Anton ya?"
Dia menekan tombol untuk mengirim pesan itu. Lega rasanya. Setelah mengirim pesan, dia ragu untuk mengirimkan permintaan pertemanan. Tidak ada teman yang sama di antara mereka berdua. Intan pun memutuskan untuk hanya mengirimkan pesan. Intan berharap nantinya Anton yang akan menambah dia sebagai teman di Facebook.
Intan masih memiliki waktu 20 menit setelah mengirimkan pesan. Dia berharap, barangkali Anton sedang online sekarang, dan langsung membalas pesannya. Selama 15 menit, dia tak mendapat balasan dari Anton. Waktu Intan tinggal 5 menit di program pengingat waktu penggunaan warnet -- tadi dia memasangnya setengah jam. Menjelang tiga menit terakhir, dia melihat ada sebuah tanda merah di Facebook-nya. Tanda merah itu bukan berada di pesan, tapi permintaan pertemanan. Intan kaget, siapakah gerangan yang mengajaknya berteman?
Ternyata, Vina Novelia, teman kosnya itu.
"Whua!!!" kata Vina yang muncul tiba-tiba di depannya.
Intan kaget bukan kepalang. Jantungnya serasa mau copot. "Duh, Mbak Vina... pagi-pagi kok ngagetin sih!"
"Hehehe... tadi aku ngikutin kamu waktu ke sini. Aku lho dari tadi duduk di situ," kata Vina sambil menunjukkan tempat duduknya yang persis di sebelah Intan, tapi dibatasi sekat papan yang cukup tinggi sehingga tidak kelihatan oleh Intan.
"Iya ya, semalam kita cuma kirim-kirim pesan, belum berteman. Aku lupa nge-add Mbak Vina. Tapi, aku mau pulang nih, Mbak. Aku udah setengah jam. Waktuku udah habis, tadi nyetelnya setengah jam," kata Intan.
"Ih... kok buru-buru pulang. Kamu ngambek ya?"
"Enggak kok, Mbak," kata Intan sambil menekan tombol selesai. "Aku mau ke gereja nih. Ibadahnya mulai setengah jam lagi."
"Lho," kata Vina. "Kamu ke gereja ternyata?"
Intan mengangguk beberapa kali. "Iya, Mbak. Memangnya kenapa?"
Vina kembali ke meja komputernya, dia juga menekan tombol selesai. "Aku ikut kamu ya? Udah lama aku enggak ke gereja," kata Vina.
Dalam perjalanan pulang, Intan cukup kaget ketika Vina menggandeng tangannya saat menyeberang jalan. Dia merasa ada perlindungan dari genggaman tangannya itu. Saat mereka sampai di kos, Vina mencubit pipinya dengan gemas. "Tunggu aku mandi ya, anak manis...," katanya sambil bergegas mengambil handuk, sabun, dan perlengkapan mandi lainnya.
Intan memasang wajah cemberut, namun hatinya sangat riang. Entah kenapa dia suka disebut "anak manis". "Cepetan mandinya, awas kalo telat!"
"Bereees, anak manis...," kata Vina sambil masuk ke dalam kamar mandi.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah mampir, dan sudi berkomentar.