Senin, 30 Januari 2017

Bab 3: Kencan Pertama

SEBENARNYA Intan ingin sekali diajak keluar. Tapi, dia seperti ditahan oleh kata hatinya untuk tidak langsung mengiyakan ajakan itu. Intan mengatakan kepada Hendra bahwa dia banyak tugas kuliah. Intan selalu menjaga dirinya agar tak memberi perhatian duluan lewat pesan pendek atau telepon. Namun, Hendra selalu mengirim pesan pendek kepada Intan tiap pagi dan malam. Kadangkala, siang hari dia menelepon Intan. Dia juga beberapa kali mampir ke toko fotokopi Intan.
"Mas Yudi kenal sama Mas Hendra?" tanya Intan pada suatu siang.
Mas Yudi tampak terkejut mendengar pertanyaan itu. "Memangnya kenapa, Tan?"
Intan pun terkejut, Mas Yudi malah balik bertanya. "Saya kira Mas Yudi kenal."
"Pelanggan kita cukup banyak, Tan. Mas sendiri lupa... Hendra itu yang mana," katanya.
 Intan kemudian minta izin agar besok, hari Sabtu, dia kerja pagi, tukar jam dengan seorang karyawan lainnya. Dia juga bercerita bahwa Hendra mengajaknya keluar.
"Jadi, kencan nih ceritanya?" tanya Mas Yudi dengan nada menggoda.
"Ah, Mas ini," kata Intan dengan malu-malu. "Ya... bisa dibilang gitu sih. Tapi, enggak juga kali ya? Ya... hitung-hitung biar saya enggak di kamar kos terus."
"Kencan juga enggak apa-apa kok, Tan," kata Mas Yudi. "Siapa tahu cocok."
"Ah, kenal juga baru aja, Mas. Itu pun enggak sengaja," kata Intan. Intan kemudian menceritakan bagaimana dia bisa mengenal Hendra di toko fotokopi itu. Selama ini Intan memang kadang menceritakan beberapa hal kepada Mas Yudi karena Mas Yudi sudah dia anggap sebagai pamannya sendiri.
"Ya, dijalani aja dulu. Biar waktu yang berbicara untuk setiap kebimbanganmu. Betul enggak?" kata Mas Yudi dengan nada bicara yang mirip orang baca puisi.
"Ceile...," kata Intan. "Kok Mas Yudi yang jadi aneh?"
Mereka berdua tertawa renyah bersama.

"JADI, nanti malam bisa?" tanya Hendra di telepon.
"Ya, nanti malam aku tunggu di kos. Jam berapa mau jemput aku, Mas?"
"Jam 5 sore gimana?"
"Kok sore? Memangnya mau ke mana?"
"Ke Batu. Kamu udah pernah ke sana? Di sana ada tempat favoritku, tempat nongkrongku. Aku sering ke sana kalau mau malam. Pemandangannya indah. Ikut aja, kamu pasti suka," kata Hendra.
Intan terdiam selama beberapa detik. Dia sungguh penasaran dengan tempat itu. "Oh gitu. Ya udah, aku tunggu jam 5 ya, Mas."
Sepanjang siang hingga sore Intan digodai terus oleh Feny dan Mas Yudi. Intan tak dapat menyembunyikan kebahagiaan yang terpancar dari wajahnya. "Tan, di Batu suasananya adem lho. Jangan lupa pakai jaket," kata Mas Yudi.
"Memangnya Batu dari sini jauh ya?"
"Lumayan," kata Feny. "Ya... sekitar setengah jam kalau enggak macet. Oh ya, jangan lupa cari yang anget-anget lho di sana."
"Hus, kamu itu kalo ngomong mbok ya jangan ngawur," kata Intan setengah membentak. Sekarang dia sudah bisa sedikit-sedikit menirukan cara bicara orang Malang.
"Maksudku yang anget itu ya makanan anget, minuman anget. Gitu lho. Kamu itu mesti mikirnya yang aneh-aneh."
Intan meninggalkan toko fotokopi pada pukul 3 sore. Di kamar kos dia membayangkan apa yang nanti bakal terjadi. Seumur hidupnya, dia baru dua kali melakukan kencan, waktu SMA dulu. Dua-duanya kurang menarik karena pria yang mengajaknya kencan terlalu banyak bicara dan suka tertawa untuk hal-hal yang bagi Intan tidak lucu. Malam ini dia akan bertemu dengan seorang pria yang romantis. Romantis, tapi masih misterius. Hendra pernah bercerita lewat telepon bahwa dia masih sendiri, belum punya kekasih. Intan sempat bahagia mendengarnya, tapi masih ragu untuk mempercayai hal itu sepenuhnya.
Intan bersiap-siap untuk kencan pertamanya bersama Hendra. Dia sempat bingung memilih baju yang pantas dikenakan. Pukul setengah 5, dia sudah siap. Dia berkali-kali memandangi ponselnya yang tak kunjung bergetar.
Pesan pendek yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba. "10 mnt lg aku sampai di kosmu. Tgu ya... :-)"
Intan menunggu Hendra di teras depan rumah kosnya. Beberapa kali Intan melirik jam di ponselnya. Sudah jam 5 lebih beberapa menit.
Hendra datang jam 5 lebih 5 menit.

INTAN berharap malam ini merasakan kebahagiaan yang besar. Sepanjang perjalanan, Hendra tak banyak bicara. Hawa terasa agak sejuk, jalanan tak begitu macet.
"Kita mau ke mana, Mas?"
"Kita mau ke Payung. Di sana banyak warung yang jualan jagung sama roti bakar. Beberapa warung di situ ada yang asyik banget, dari situ kita bisa melihat pemandangan yang indah."
Jalan menuju ke Payung berbelok-belok dan mendaki. Sepanjang perjalanan Intan terkesima dengan pemandangan yang dilihatnya. Baru pertama kali dia melihat pemandangan di kaki bukit seperti ini dalam hidupnya.
Hendra menghentikan sepeda motornya di sebuah warung. Di warung lesehan itu, pemandangan tampak begitu luas dan indah. Hendra bercerita dia sering ke warung ini. "Dari sini tampak kota Batu, Singosari, hingga gunung Arjuna... yang ada di ujung sana itu."
"Oh, gunung itu!" kata Intan setengah berseru. "Aku pernah melihatnya waktu naik bis dari Surabaya ke Malang."
Hendra memesankan minuman dan roti bakar buat mereka berdua. "Kita akan menunggu langit gelap di sini. Aku sering merasakan keheningan saat lampu-lampu menyala, langit menjadi jingga bercampur ungu."
"Dan, semoga malam ini cerah, ada bintang-bintang di langit sana!"
Mereka berdua berbagi cerita tentang kehidupan masing-masing. Intan menceritakan masa lalunya, neneknya, juga perjalanan hidupnya hingga bisa kuliah di Malang. Hendra menyimak semua ceritanya dengan penuh perhatian. Satu hal yang meresahkan Intan adalah asap rokok. Hendra ternyata suka sekali merokok. Tapi, dia sudah meminta izin kepada Intan untuk merokok.
Hendra kemudian bercerita tentang pekerjaannya. Dia adalah seorang editor di sebuah penerbitan buku di Malang. Dia biasanya mengedit buku-buku pelajaran. Sebagai selingan, kadang dia menulis cerita untuk majalah atau koran. Bagi Hendra, membuat cerita membuat hidupnya jadi lebih bervariasi. "Kalau cerpen yang kamu baca itu kubuat untuk seorang temanku. Kisah hidupnya agak mirip dengan yang kuceritakan di situ," katanya tentang cerpen yang dibaca Intan.
"Teman Mas Hendra orang Pontianak?"
"Yap, betul. Dia juga lama tinggal di Singkawang."
"Jadi, Mas seperti... menyalin kisah hidupnya, gitu?" tanya Intan sambil mengacungkan dan menggerakkan kedua telunjuknya saat menyebut kata "menyalin".
"Bisa dibilang begitu. Tapi... kisah hidupnya enggak sama persis begitu. Ada bagian yang sama. Ada bagian yang kukarang."
"Oh...," kata Intan sambil tersenyum tipis. Dia membayangkan kisah apa yang nantinya akan ditulis Hendra setelah pertemuan ini. Di sini pun, sosok Ilham dan Clara, begitu juga kisah cinta mereka yang terjalin manis dan berakhir muram, masih membayanginya.
Langit mulai gelap. "Tan, itu ada satu lampu yang menyala di sana," kata Hendra sambil menunjuk sebuah tempat.
Mata Intan yang dari tadi memandangi wajah Hendra langsung mengikuti arah yang dituju telunjuk Hendra. Dia gantian mengangkat telunjuknya. "Eh, di sana juga ada satu lampu menyala, Mas!" seru Intan.
Semakin lama, semakin banyak lampu menyala. Langit makin gelap. Intan cukup kaget ketika telapak tangan Hendra mengelus-elusi punggung tangannya. Intan diam saja selama beberapa saat. Dia menghentikan elusan itu dengan cara mengambil gelas minumannya.
"Mas," kata Intan. Sebenarnya dia ragu mau menanyakan hal ini. Tapi, dia merasa ini waktu yang tepat untuk memulainya. "Ada yang mau kutanyakan."
"Ya, tentang apa? Tentang cerpen yang belum jadi itu?"
"Bukan, Mas." Intan saling menggosok-gosokkan kedua tangannya. "Gini, Mas. Mmm... Mas Hendra umurnya berapa?"
"Aku... sudah 31 tahun, Tan. Kamu sendiri?"
"Aku baru mau 19 tahun, Mas."
"Kok 19 tahun? Bukannya biasanya orang taman SMA itu umurnya 17 atau 18 tahun gitu?"
"Aku dulu sempat tidak sekolah setahun setelah tamat SMP. Nenekku bingung mau menyekolahkan aku sampai SMA atau enggak. Akhirnya aku sekolah lagi."
Hendra mengangguk-angguk mendengarnya.
"Oh ya, Mas," tanya Intan sambil menarik napas panjang. Ini hal kedua yang paling ingin ditanyakannya. "Mmm, Mas jujur ya, Mas memang belum berkeluarga?" tanya Intan.
Hendra menarik napas panjang dan mengeluarkannya perlahan-lahan. "Belum kok, Tan," katanya sambil meraih gelasnya dan minum. "Kan dulu udah kuberitahu."
Intan lega sekali mendengar jawaban itu. "Aku hanya ingin memastikan, Mas."
"Tapi, aku udah pernah menikah," kata Hendra sambil memutar-mutarkan telunjuknya di bibir gelas. "Kami bercerai tahun lalu."
Intan ragu hendak menanyakan apa penyebabnya. Dia memandangi wajah hendra sambil mengerutkan dahi, berharap Hendra yang bercerita.
"Intinya, kami enggak cocok," kata Hendra sambil menghembuskan asap rokok dari mulutnya. "Selain itu, ada pihak ketiga di antara kami. Dia dan aku sama-sama memiliki selingkuhan. Dia bertahan dengan selingkuhannya hingga kini."
"Dan selingkuhan Mas Hendra?" Intan cukup terkejut dengan pertanyaan yang ia lontarkan.
"Dia sudah pindah ke Madiun. Saat selingkuh sama aku, dia juga ternyata punya selingkuhan lain. Sekarang dia sudah menikah, tinggal di Madiun sana," kata Hendra.
"Wah, saling selingkuh. Ngeri juga," kata Intan sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. "Nah, kalau sekarang gimana?" tanya Intan.
"Sekarang? Maksudmu gimana?" Hendra mengerutkan dahinya.
"Sekarang, Mas punya selingkuhan lagi?"
"Hahaha...," Hendra tertawa cukup keras sampai membuat Intan terkejut. "Sekarang," katanya setelah agak tenang. "Sekarang, aku sendirian, Tan," kata Hendra.
"Aku enggak percaya. Biasanya, orang yang pandai merangkai kata-kata punya kekasih gelap di mana-mana. Betul enggak?"
"Belum tentu, Tan," kata Hendra sambil mengambil sebatang rokok. "Itu prasangka. Setiap orang bebas berprasangka. Cuma, kita harus tetap memperlakukan orang lain dengan baik sambil menunggu waktu membuktikan prasangka kita -- benar atau tidak. Ya kan?"
"Iya sih...." Intan bingung hendak melanjutkan tanggapannya dengan kata-kata apa. Di mata Intan, Hendra tampak cukup cerdas memberikan jawaban itu, tapi dia masih belum bisa percaya.
Mereka ada di warung itu hampir satu jam. Mereka membicarakan banyak hal lain, Intan yang lebih banyak bercerita. Perlahan tapi pasti, Intan mulai merasa makin nyaman dengan pria yang ada di sampingnya kini. Sebentuk harapan mulai tumbuh dalam hatinya.

HENDRA mengajak Intan melihat-lihat kota Batu. Intan menyukai suasana kota ini. Banyak orang yang berdatangan kemari. Hendra menceritakan beberapa tempat wisata yang terkenal seperti Jatim Park I dan II, Batu Night Spectacular (BNS), Agro Wisata, dan air terjun Coban Rondo.
Setelah berkeliling kota hampir sejam, mereka berhenti di tepi sebuah jalan yang hendak menuju ke gunung Panderman. Mereka berhenti di tepi jalan, Hendra duduk bersandar di kursi sepeda motornya.
"Di sini pemandangannya juga bagus! Enggak kalah dari warung yang tadi. Keren banget ya kota ini!" kata Intan.
"Ya, kota di kaki bukit memang rata-rata punya pemandangan bagus seperti ini. Kita sekarang ada di jalan yang sering dilewati para pendaki gunung. Di sebelah sana," kata Hendra sambil menunjuk ke arah barat, "ada air terjun Coban Rondo. Kalau kamu mau, besok kita melihatnya."
"Boleh, Mas. Besok aku libur kok. Tapi, kita pulang dulu ke Malang kan?"
"Mau menginap di sini juga enggak apa-apa," kata Hendra sambil menyalakan korek, menyulut rokoknya. "Aku punya sepupu yang rumahnya kosong. Kita bisa menginap di sana kalau mau."
"Wah, jangan."
"Kenapa, Tan?"
"Kan... di sana enggak ada orang. Masa cuma kita berdua?"
"Oh, enggak gitu, Tan," kata Hendra dengan nada bicara yang berusaha menenangkan. "Ada pembantu yang tinggal di rumah itu kok. Kadang, sepupuku juga tinggal di situ."
"Tapi, kelihatannya lebih baik kita pulang, Mas," kata Intan dengan wajah cemberut.
"Ya, kita mampir dulu aja sebentar di sana. Siapa tahu di sana ada orang. Terus terang badanku juga agak capek, seharian tadi sebelum ke rumah kosmu aku ada banyak pekerjaan. Lagipula, kalau pulang jam segini, perjalanan ke Malang biasanya macet," kata Hendra sambil menyalakan mesin motornya.
"Macet, Mas?" tanya Intan.
Hendra tampaknya tak mendengar pertanyaan itu. Dia menyalakan mesin motornya, lalu menancap gas motornya agak laju. Hawa terasa makin dingin. Di belakang, Intan mulai berdebar-debar, perasaannya tidak enak. Dia tidak bisa menikmati lagi pemandangan kota ini.

DI rumah itu, ternyata tidak ada orang sama sekali. Hendra mengangkat ponselnya, menyatakan kepada Intan hendak menelepon sepupunya. Panggilan telepon Hendra tidak diangkat. Intan begitu kaget ketika melihat Hendra mengeluarkan kunci pintu rumah itu dari tas kecil yang dibawanya. "Dua hari yang lalu aku sempat ke sini, Tan. Aku dikasih kunci ini sama sepupuku."
Intan mendesahkan napas panjang ketika Hendra berkata, "Yuk, masuk."
Intan enggan masuk, tapi bingung harus berbuat apa. Jantungnya berdegup lebih kencang.
"Paling sebentar lagi sepupuku dan pembantunya datang kok, Tan. Kamu kalau capek tiduran aja di kamar ini," kata Hendra sambil membukakan sebuah pintu kamar. Di sana ada ranjang yang sudah tertata rapi. "Aku mandi dulu, Tan. Kamu nanti kalau mau mandi juga enggak apa-apa, ada mesin air panas di kamar mandi."
Intan mengangguk dengan malas.
Saat Hendra mandi, pikiran Intan mulai dipenuhi imajinasi yang tidak-tidak. Hawa dingin kota Batu membuatnya ingin bermesraan. Dia juga ingin merebahkan badannya. Tapi, dia sedang sangat waspada. Dia merasa seperti seekor burung yang tengah digiring ke suatu perangkap. Intan berjalan-jalan di ruang tengah rumah itu, melihat-lihat beberapa lukisan yang dipajang di situ.
Saat melihat lukisan-lukisan itu, dia teringat sesuatu. Saat Hendra tadi membukakan pintu kamar untuknya, dia melihat sebuah potret yang dibingkai dan digantung di dinding kamar. Dia pun bergegas masuk ke kamar itu. Di sana, Intan melihat Hendra, seorang wanita, dan seorang anak kecil. "Nah, ketahuan kau sekarang," bisik Intan. Intan juga terkejut, di meja yang ada di dalam kamar itu, dia melihat beberapa majalah Playboy dan kaset film biru. Perasaan Intan jadi gelisah bukan main. Ketika membalikkan badannya hendak keluar kamar, ia nyaris melonjak.
"Tan, menginaplah malam ini di sini," kata Hendra yang hanya dibalut handuk sambil melipat kedua tangannya. Dari kamar itu terlihat pintu keluar rumah sudah tertutup. Kuncinya tidak menempel di pintu. Bola mata Intan bergerak, mencari di mana kunci itu berada.
Sebelum masuk ke rumah, tadi dilihatnya rumah-rumah tetangga yang jaraknya tidak terlalu dekat dan tampak sepi. Tak ada gunanya berteriak. Intan mengatur napasnya sambil memikirkan cara untuk keluar dari sini. Dia tak mau kelihatan langsung memberontak karena Hendra tampak begitu kuat.
Hendra maju mendekati Intan, dan pelan-pelan dia menutup pintu kamar itu. Di mata Intan, Hendra yang dulunya berwibawa dan romanis berubah menjadi sesosok monster yang sedang diliputi nafsu bejat. "Intan yang manis," bisik Hendra dengan merentangkan kedua tangannya, "mari nikmati malam ini...."
"Mas," kata Intan dengan wajah memelas. "Mas tega melakukan ini?"
"Tan, hawa di luar begitu dingin...," kata Hendra sambil memegangi handuknya. "Ayolah, Tan, kita bercumbu saja, tidak harus berhubungan intim."
"Mmm... baiklah, Mas," kata Intan. "Tapi, tolong handuknya enggak usah dilepas."
Hendra menghembuskan napas panjang. "Kenapa? Takut, Tan?" katanya sambil terkekeh. Saat ini, di mata Intan Hendra benar-benar sudah berubah jadi pria paling brengsek sedunia -- dia jadi ingin muntah.
"Mas...," kata Intan sambil berusaha tersenyum dan menunjukkan minat untuk bercumbu. "Ada baiknya kita bercumbu ditemani lampu yang remang-remang. Tadi aku lihat ada lampu kecil itu di ruang tengah."
Hendra memutarkan bola matanya, lalu mengacungkan jempolnya. "Sip, aku ambil dulu!" katanya dengan penuh semangat.
Di dalam kamar itu Intan melihat ada laptop yang tertutup. Ia pun segera mengambil laptop itu dan bersembunyi di balik pintu. Jantung Intan berdegup kencang saat mendengar langkah kaki Hendra yang mendekatinya. Hendra datang sambil bersiul-siul. Begitu Hendra sampai di depan pintu kamar, Intan mematikan lampu kamar itu.
"Lho, Tan, ada apa nih kok dimatikan? Sudah siap bercumbu?"
"Aku lagi mencopot bajuku, Mas," bisik Intan dengan manja, berpura-pura. Intan yang berada di belakang pintu hampir menjerit ketika melihat Hendra mencopot handuknya. "Mas tolong pasang lampunya ya," kata Intan di balik pintu.
"Tan... malam ini akan menjadi malam yang ter...."
"Brak!!!" Intan memukulkan laptop itu sekuat tenaga ke leher Hendra di bagian belakang.
"Sialan kau, Hendra!" kata Intan. Dia pun mengucapkan makian-makian kasar lainnya.
Hendra tak berdaya, jatuh seketika. Dia merintih kesakitan. Dia hampir bisa bangkit lagi, namun Intan begitu sigap bertindak. Dengan kedua tangannya dia meninju pipi dan kening Hendra. Dia lalu berdiri dan menginjakkan kakinya ke dada Hendra. "Jangan perlakukan aku seperti wanita murahan!"
Intan pun membiarkan tubuh telanjang itu merintih-rintih di lantai. "Cari pelacur sana untuk bersenang-senang, jangan aku!" katanya sambil membanting pintu kamar itu.
Intan berlari ke ruang tamu. Dia mengambil kunci rumah yang tergeletak di meja tamu. Dia keluar rumah, mengunci rumah itu dari luar. Tidak ada satu orang pun yang melintas saat itu. Tetangga-tetangga juga tak ada yang kelihatan. Intan berlari-lari kecil, berusaha tidak menjerit atau menangis. Intan selalu menoleh ke belakang, memastikan tidak ada yang mengikutinya. Dia begitu khawatir masalah ini diketahui para tetangga dan dia yang justru nantinya disalahkan.
Intan terus berjalan sendiri dalam kegelapan malam. Air mata mulai turun membasahi pipinya. Sampai di pertigaan, dia membuang kunci rumah itu. "Selamat tinggal, penulis bajingan!" kata Intan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah mampir, dan sudi berkomentar.