"Mas Yudi kenal sama Mas Hendra?" tanya
Intan pada suatu siang.
Mas Yudi tampak terkejut mendengar pertanyaan itu.
"Memangnya kenapa, Tan?"
Intan pun terkejut, Mas Yudi malah balik bertanya. "Saya
kira Mas Yudi kenal."
"Pelanggan kita cukup banyak, Tan. Mas sendiri
lupa... Hendra itu yang mana," katanya.
Intan
kemudian minta izin agar besok, hari Sabtu, dia kerja pagi, tukar jam dengan
seorang karyawan lainnya. Dia juga bercerita bahwa Hendra mengajaknya keluar.
"Jadi, kencan nih ceritanya?" tanya Mas
Yudi dengan nada menggoda.
"Ah, Mas ini," kata Intan dengan
malu-malu. "Ya... bisa dibilang gitu sih. Tapi, enggak juga kali ya? Ya...
hitung-hitung biar saya enggak di kamar kos terus."
"Kencan juga enggak apa-apa kok, Tan,"
kata Mas Yudi. "Siapa tahu cocok."
"Ah, kenal juga baru aja, Mas. Itu pun enggak
sengaja," kata Intan. Intan kemudian menceritakan bagaimana dia bisa
mengenal Hendra di toko fotokopi itu. Selama ini Intan memang kadang menceritakan
beberapa hal kepada Mas Yudi karena Mas Yudi sudah dia anggap sebagai pamannya
sendiri.
"Ya, dijalani aja dulu. Biar waktu yang
berbicara untuk setiap kebimbanganmu. Betul enggak?" kata Mas Yudi dengan
nada bicara yang mirip orang baca puisi.
"Ceile...," kata Intan. "Kok Mas Yudi
yang jadi aneh?"
Mereka berdua tertawa renyah bersama.
"JADI,
nanti malam bisa?" tanya Hendra di telepon.
"Ya, nanti malam aku tunggu di kos. Jam berapa
mau jemput aku, Mas?"
"Jam 5 sore gimana?"
"Kok sore? Memangnya mau ke mana?"
"Ke Batu. Kamu udah pernah ke sana? Di sana ada
tempat favoritku, tempat nongkrongku. Aku sering ke sana kalau mau malam. Pemandangannya
indah. Ikut aja, kamu pasti suka," kata Hendra.
Intan terdiam selama beberapa detik. Dia sungguh
penasaran dengan tempat itu. "Oh gitu. Ya udah, aku tunggu jam 5 ya,
Mas."
Sepanjang siang hingga sore Intan digodai terus oleh
Feny dan Mas Yudi. Intan tak dapat menyembunyikan kebahagiaan yang terpancar
dari wajahnya. "Tan, di Batu suasananya adem lho. Jangan lupa pakai
jaket," kata Mas Yudi.
"Memangnya Batu dari sini jauh ya?"
"Lumayan," kata Feny. "Ya... sekitar
setengah jam kalau enggak macet. Oh ya, jangan lupa cari yang anget-anget lho
di sana."
"Hus, kamu itu kalo ngomong mbok ya jangan ngawur,"
kata Intan setengah membentak. Sekarang dia sudah bisa sedikit-sedikit
menirukan cara bicara orang Malang.
"Maksudku yang anget itu ya makanan anget, minuman
anget. Gitu lho. Kamu itu mesti mikirnya yang aneh-aneh."
Intan meninggalkan toko fotokopi pada pukul 3 sore.
Di kamar kos dia membayangkan apa yang nanti bakal terjadi. Seumur hidupnya, dia
baru dua kali melakukan kencan, waktu SMA dulu. Dua-duanya kurang menarik
karena pria yang mengajaknya kencan terlalu banyak bicara dan suka tertawa
untuk hal-hal yang bagi Intan tidak lucu. Malam ini dia akan bertemu dengan
seorang pria yang romantis. Romantis, tapi masih misterius. Hendra pernah
bercerita lewat telepon bahwa dia masih sendiri, belum punya kekasih. Intan
sempat bahagia mendengarnya, tapi masih ragu untuk mempercayai hal itu
sepenuhnya.
Intan bersiap-siap untuk kencan pertamanya bersama
Hendra. Dia sempat bingung memilih baju yang pantas dikenakan. Pukul setengah
5, dia sudah siap. Dia berkali-kali memandangi ponselnya yang tak kunjung
bergetar.
Pesan pendek yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba. "10
mnt lg aku sampai di kosmu. Tgu ya... :-)"
Intan menunggu Hendra di teras depan rumah kosnya.
Beberapa kali Intan melirik jam di ponselnya. Sudah jam 5 lebih beberapa menit.
Hendra datang jam 5 lebih 5 menit.
INTAN
berharap malam ini merasakan kebahagiaan yang besar. Sepanjang perjalanan,
Hendra tak banyak bicara. Hawa terasa agak sejuk, jalanan tak begitu macet.
"Kita mau ke mana, Mas?"
"Kita mau ke Payung. Di sana banyak warung yang
jualan jagung sama roti bakar. Beberapa warung di situ ada yang asyik banget, dari
situ kita bisa melihat pemandangan yang indah."
Jalan menuju ke Payung berbelok-belok dan mendaki.
Sepanjang perjalanan Intan terkesima dengan pemandangan yang dilihatnya. Baru
pertama kali dia melihat pemandangan di kaki bukit seperti ini dalam hidupnya.
Hendra menghentikan sepeda motornya di sebuah
warung. Di warung lesehan itu, pemandangan tampak begitu luas dan indah. Hendra
bercerita dia sering ke warung ini. "Dari sini tampak kota Batu,
Singosari, hingga gunung Arjuna... yang ada di ujung sana itu."
"Oh, gunung itu!" kata Intan setengah
berseru. "Aku pernah melihatnya waktu naik bis dari Surabaya ke
Malang."
Hendra memesankan minuman dan roti bakar buat mereka
berdua. "Kita akan menunggu langit gelap di sini. Aku sering merasakan
keheningan saat lampu-lampu menyala, langit menjadi jingga bercampur ungu."
"Dan, semoga malam ini cerah, ada
bintang-bintang di langit sana!"
Mereka berdua berbagi cerita tentang kehidupan
masing-masing. Intan menceritakan masa lalunya, neneknya, juga perjalanan hidupnya
hingga bisa kuliah di Malang. Hendra menyimak semua ceritanya dengan penuh
perhatian. Satu hal yang meresahkan Intan adalah asap rokok. Hendra ternyata
suka sekali merokok. Tapi, dia sudah meminta izin kepada Intan untuk merokok.
Hendra kemudian bercerita tentang pekerjaannya. Dia
adalah seorang editor di sebuah penerbitan buku di Malang. Dia biasanya
mengedit buku-buku pelajaran. Sebagai selingan, kadang dia menulis cerita untuk
majalah atau koran. Bagi Hendra, membuat cerita membuat hidupnya jadi lebih
bervariasi. "Kalau cerpen yang kamu baca itu kubuat untuk seorang temanku.
Kisah hidupnya agak mirip dengan yang kuceritakan di situ," katanya tentang
cerpen yang dibaca Intan.
"Teman Mas Hendra orang Pontianak?"
"Yap, betul. Dia juga lama tinggal di
Singkawang."
"Jadi, Mas seperti... menyalin kisah hidupnya,
gitu?" tanya Intan sambil mengacungkan dan menggerakkan kedua telunjuknya
saat menyebut kata "menyalin".
"Bisa dibilang begitu. Tapi... kisah hidupnya
enggak sama persis begitu. Ada bagian yang sama. Ada bagian yang
kukarang."
"Oh...," kata Intan sambil tersenyum
tipis. Dia membayangkan kisah apa yang nantinya akan ditulis Hendra setelah
pertemuan ini. Di sini pun, sosok Ilham dan Clara, begitu juga kisah cinta
mereka yang terjalin manis dan berakhir muram, masih membayanginya.
Langit mulai gelap. "Tan, itu ada satu lampu
yang menyala di sana," kata Hendra sambil menunjuk sebuah tempat.
Mata Intan yang dari tadi memandangi wajah Hendra
langsung mengikuti arah yang dituju telunjuk Hendra. Dia gantian mengangkat
telunjuknya. "Eh, di sana juga ada satu lampu menyala, Mas!" seru Intan.
Semakin lama, semakin banyak lampu menyala. Langit
makin gelap. Intan cukup kaget ketika telapak tangan Hendra mengelus-elusi
punggung tangannya. Intan diam saja selama beberapa saat. Dia menghentikan
elusan itu dengan cara mengambil gelas minumannya.
"Mas," kata Intan. Sebenarnya dia ragu mau
menanyakan hal ini. Tapi, dia merasa ini waktu yang tepat untuk memulainya.
"Ada yang mau kutanyakan."
"Ya, tentang apa? Tentang cerpen yang belum
jadi itu?"
"Bukan, Mas." Intan saling
menggosok-gosokkan kedua tangannya. "Gini, Mas. Mmm... Mas Hendra umurnya
berapa?"
"Aku... sudah 31 tahun, Tan. Kamu
sendiri?"
"Aku baru mau 19 tahun, Mas."
"Kok 19 tahun? Bukannya biasanya orang taman
SMA itu umurnya 17 atau 18 tahun gitu?"
"Aku dulu sempat tidak sekolah setahun setelah
tamat SMP. Nenekku bingung mau menyekolahkan aku sampai SMA atau enggak.
Akhirnya aku sekolah lagi."
Hendra mengangguk-angguk mendengarnya.
"Oh ya, Mas," tanya Intan sambil menarik
napas panjang. Ini hal kedua yang paling ingin ditanyakannya. "Mmm, Mas jujur
ya, Mas memang belum berkeluarga?" tanya Intan.
Hendra menarik napas panjang dan mengeluarkannya
perlahan-lahan. "Belum kok, Tan," katanya sambil meraih gelasnya dan
minum. "Kan dulu udah kuberitahu."
Intan lega sekali mendengar jawaban itu. "Aku
hanya ingin memastikan, Mas."
"Tapi, aku udah pernah menikah," kata
Hendra sambil memutar-mutarkan telunjuknya di bibir gelas. "Kami bercerai
tahun lalu."
Intan ragu hendak menanyakan apa penyebabnya. Dia memandangi
wajah hendra sambil mengerutkan dahi, berharap Hendra yang bercerita.
"Intinya, kami enggak cocok," kata Hendra
sambil menghembuskan asap rokok dari mulutnya. "Selain itu, ada pihak
ketiga di antara kami. Dia dan aku sama-sama memiliki selingkuhan. Dia bertahan
dengan selingkuhannya hingga kini."
"Dan selingkuhan Mas Hendra?" Intan cukup
terkejut dengan pertanyaan yang ia lontarkan.
"Dia sudah pindah ke Madiun. Saat selingkuh
sama aku, dia juga ternyata punya selingkuhan lain. Sekarang dia sudah menikah,
tinggal di Madiun sana," kata Hendra.
"Wah, saling selingkuh. Ngeri juga," kata
Intan sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. "Nah, kalau sekarang gimana?"
tanya Intan.
"Sekarang? Maksudmu gimana?" Hendra
mengerutkan dahinya.
"Sekarang, Mas punya selingkuhan lagi?"
"Hahaha...," Hendra tertawa cukup keras
sampai membuat Intan terkejut. "Sekarang," katanya setelah agak
tenang. "Sekarang, aku sendirian, Tan," kata Hendra.
"Aku enggak percaya. Biasanya, orang yang
pandai merangkai kata-kata punya kekasih gelap di mana-mana. Betul enggak?"
"Belum tentu, Tan," kata Hendra sambil
mengambil sebatang rokok. "Itu prasangka. Setiap orang bebas berprasangka.
Cuma, kita harus tetap memperlakukan orang lain dengan baik sambil menunggu waktu
membuktikan prasangka kita -- benar atau tidak. Ya kan?"
"Iya sih...." Intan bingung hendak
melanjutkan tanggapannya dengan kata-kata apa. Di mata Intan, Hendra tampak
cukup cerdas memberikan jawaban itu, tapi dia masih belum bisa percaya.
Mereka ada di warung itu hampir satu jam. Mereka
membicarakan banyak hal lain, Intan yang lebih banyak bercerita. Perlahan tapi
pasti, Intan mulai merasa makin nyaman dengan pria yang ada di sampingnya kini.
Sebentuk harapan mulai tumbuh dalam hatinya.
HENDRA
mengajak Intan melihat-lihat kota Batu. Intan menyukai suasana kota ini. Banyak
orang yang berdatangan kemari. Hendra menceritakan beberapa tempat wisata yang
terkenal seperti Jatim Park I dan II, Batu Night Spectacular (BNS), Agro
Wisata, dan air terjun Coban Rondo.
Setelah berkeliling kota hampir sejam, mereka
berhenti di tepi sebuah jalan yang hendak menuju ke gunung Panderman. Mereka
berhenti di tepi jalan, Hendra duduk bersandar di kursi sepeda motornya.
"Di sini pemandangannya juga bagus! Enggak
kalah dari warung yang tadi. Keren banget ya kota ini!" kata Intan.
"Ya, kota di kaki bukit memang rata-rata punya
pemandangan bagus seperti ini. Kita sekarang ada di jalan yang sering dilewati
para pendaki gunung. Di sebelah sana," kata Hendra sambil menunjuk ke arah
barat, "ada air terjun Coban Rondo. Kalau kamu mau, besok kita melihatnya."
"Boleh, Mas. Besok aku libur kok. Tapi, kita
pulang dulu ke Malang kan?"
"Mau menginap di sini juga enggak apa-apa,"
kata Hendra sambil menyalakan korek, menyulut rokoknya. "Aku punya sepupu
yang rumahnya kosong. Kita bisa menginap di sana kalau mau."
"Wah, jangan."
"Kenapa, Tan?"
"Kan... di sana enggak ada orang. Masa cuma
kita berdua?"
"Oh, enggak gitu, Tan," kata Hendra dengan
nada bicara yang berusaha menenangkan. "Ada pembantu yang tinggal di rumah
itu kok. Kadang, sepupuku juga tinggal di situ."
"Tapi, kelihatannya lebih baik kita pulang,
Mas," kata Intan dengan wajah cemberut.
"Ya, kita mampir dulu aja sebentar di sana.
Siapa tahu di sana ada orang. Terus terang badanku juga agak capek, seharian
tadi sebelum ke rumah kosmu aku ada banyak pekerjaan. Lagipula, kalau pulang jam
segini, perjalanan ke Malang biasanya macet," kata Hendra sambil
menyalakan mesin motornya.
"Macet, Mas?" tanya Intan.
Hendra tampaknya tak mendengar pertanyaan itu. Dia menyalakan
mesin motornya, lalu menancap gas motornya agak laju. Hawa terasa makin dingin.
Di belakang, Intan mulai berdebar-debar, perasaannya tidak enak. Dia tidak bisa
menikmati lagi pemandangan kota ini.
DI rumah itu, ternyata tidak ada orang sama sekali. Hendra mengangkat ponselnya, menyatakan kepada Intan hendak menelepon sepupunya. Panggilan telepon Hendra tidak diangkat. Intan begitu kaget ketika melihat Hendra mengeluarkan kunci pintu rumah itu dari tas kecil yang dibawanya. "Dua hari yang lalu aku sempat ke sini, Tan. Aku dikasih kunci ini sama sepupuku."
Intan mendesahkan napas panjang ketika Hendra
berkata, "Yuk, masuk."
Intan enggan masuk, tapi bingung harus berbuat apa.
Jantungnya berdegup lebih kencang.
"Paling sebentar lagi sepupuku dan pembantunya
datang kok, Tan. Kamu kalau capek tiduran aja di kamar ini," kata Hendra
sambil membukakan sebuah pintu kamar. Di sana ada ranjang yang sudah tertata
rapi. "Aku mandi dulu, Tan. Kamu nanti kalau mau mandi juga enggak
apa-apa, ada mesin air panas di kamar mandi."
Intan mengangguk dengan malas.
Saat Hendra mandi, pikiran Intan mulai dipenuhi
imajinasi yang tidak-tidak. Hawa dingin kota Batu membuatnya ingin bermesraan.
Dia juga ingin merebahkan badannya. Tapi, dia sedang sangat waspada. Dia merasa
seperti seekor burung yang tengah digiring ke suatu perangkap. Intan
berjalan-jalan di ruang tengah rumah itu, melihat-lihat beberapa lukisan yang
dipajang di situ.
Saat melihat lukisan-lukisan itu, dia teringat
sesuatu. Saat Hendra tadi membukakan pintu kamar untuknya, dia melihat sebuah
potret yang dibingkai dan digantung di dinding kamar. Dia pun bergegas masuk ke
kamar itu. Di sana, Intan melihat Hendra, seorang wanita, dan seorang anak
kecil. "Nah, ketahuan kau sekarang," bisik Intan. Intan juga
terkejut, di meja yang ada di dalam kamar itu, dia melihat beberapa majalah Playboy
dan kaset film biru. Perasaan Intan jadi gelisah bukan main. Ketika membalikkan
badannya hendak keluar kamar, ia nyaris melonjak.
"Tan, menginaplah malam ini di sini," kata
Hendra yang hanya dibalut handuk sambil melipat kedua tangannya. Dari kamar itu
terlihat pintu keluar rumah sudah tertutup. Kuncinya tidak menempel di pintu.
Bola mata Intan bergerak, mencari di mana kunci itu berada.
Sebelum masuk ke rumah, tadi dilihatnya rumah-rumah
tetangga yang jaraknya tidak terlalu dekat dan tampak sepi. Tak ada gunanya
berteriak. Intan mengatur napasnya sambil memikirkan cara untuk keluar dari
sini. Dia tak mau kelihatan langsung memberontak karena Hendra tampak begitu
kuat.
Hendra maju mendekati Intan, dan pelan-pelan dia
menutup pintu kamar itu. Di mata Intan, Hendra yang dulunya berwibawa dan
romanis berubah menjadi sesosok monster yang sedang diliputi nafsu bejat.
"Intan yang manis," bisik Hendra dengan merentangkan kedua tangannya,
"mari nikmati malam ini...."
"Mas," kata Intan dengan wajah memelas.
"Mas tega melakukan ini?"
"Tan, hawa di luar begitu dingin...," kata
Hendra sambil memegangi handuknya. "Ayolah, Tan, kita bercumbu saja, tidak
harus berhubungan intim."
"Mmm... baiklah, Mas," kata Intan.
"Tapi, tolong handuknya enggak usah dilepas."
Hendra menghembuskan napas panjang. "Kenapa?
Takut, Tan?" katanya sambil terkekeh. Saat ini, di mata Intan Hendra
benar-benar sudah berubah jadi pria paling brengsek sedunia -- dia jadi ingin
muntah.
"Mas...," kata Intan sambil berusaha
tersenyum dan menunjukkan minat untuk bercumbu. "Ada baiknya kita bercumbu
ditemani lampu yang remang-remang. Tadi aku lihat ada lampu kecil itu di ruang
tengah."
Hendra memutarkan bola matanya, lalu mengacungkan
jempolnya. "Sip, aku ambil dulu!" katanya dengan penuh semangat.
Di dalam kamar itu Intan melihat ada laptop yang
tertutup. Ia pun segera mengambil laptop itu dan bersembunyi di balik pintu.
Jantung Intan berdegup kencang saat mendengar langkah kaki Hendra yang
mendekatinya. Hendra datang sambil bersiul-siul. Begitu Hendra sampai di depan
pintu kamar, Intan mematikan lampu kamar itu.
"Lho, Tan, ada apa nih kok dimatikan? Sudah
siap bercumbu?"
"Aku lagi mencopot bajuku, Mas," bisik
Intan dengan manja, berpura-pura. Intan yang berada di belakang pintu hampir menjerit
ketika melihat Hendra mencopot handuknya. "Mas tolong pasang lampunya ya,"
kata Intan di balik pintu.
"Tan... malam ini akan menjadi malam yang
ter...."
"Brak!!!" Intan memukulkan laptop itu
sekuat tenaga ke leher Hendra di bagian belakang.
"Sialan kau, Hendra!" kata Intan. Dia pun
mengucapkan makian-makian kasar lainnya.
Hendra tak berdaya, jatuh seketika. Dia merintih
kesakitan. Dia hampir bisa bangkit lagi, namun Intan begitu sigap bertindak.
Dengan kedua tangannya dia meninju pipi dan kening Hendra. Dia lalu berdiri dan
menginjakkan kakinya ke dada Hendra. "Jangan perlakukan aku seperti wanita
murahan!"
Intan pun membiarkan tubuh telanjang itu merintih-rintih
di lantai. "Cari pelacur sana untuk bersenang-senang, jangan aku!"
katanya sambil membanting pintu kamar itu.
Intan berlari ke ruang tamu. Dia mengambil kunci
rumah yang tergeletak di meja tamu. Dia keluar rumah, mengunci rumah itu dari
luar. Tidak ada satu orang pun yang melintas saat itu. Tetangga-tetangga juga
tak ada yang kelihatan. Intan berlari-lari kecil, berusaha tidak menjerit atau
menangis. Intan selalu menoleh ke belakang, memastikan tidak ada yang
mengikutinya. Dia begitu khawatir masalah ini diketahui para tetangga dan dia
yang justru nantinya disalahkan.
Intan terus berjalan sendiri dalam kegelapan malam. Air
mata mulai turun membasahi pipinya. Sampai di pertigaan, dia membuang kunci
rumah itu. "Selamat tinggal, penulis bajingan!" kata Intan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah mampir, dan sudi berkomentar.