Sabtu, 21 Januari 2017

Bab 2: Cerita Cinta dan Kenangan


HARI-HARI yang baru tiba. Intan kadang tidak pernah menyangka dengan apa yang dialaminya saat ini. Dari pagi hingga siang dia kuliah di kampusnya, menjelang sore hingga malam hari dia bekerja di toko fotokopi Mas Yudi. Pendapatan yang diterima Intan dari toko fotokopi cukup untuk membayar uang kos, membeli kosmetik, pulsa ponsel, perlengkapan mandi, dan sabun cuci. Setelah digunakan untuk membayar kuliah, uang yang diterimanya dari nenek dipakainya untuk membeli beberapa pakaian dan sepasang sepatu baru. Intan memperkirakan uang itu masih bisa dipakai untuk membeli makanan sehari-hari selama setahun jikalau dia pandai berhemat.
Intan merasa kehidupannya cukup stabil. Kesedihannya mulai sirna. Teman-teman baru di kampus, teman-teman sekerja, dan aktivitas perkuliahan membuat hari-harinya penuh warna. Dia pun senang dengan suasana kota Malang yang sejuk, berbeda jauh dengan Pontianak.
Cuma, di kota bunga ini, Intan masih merasa kurang memiliki satu hal. Hatinya belum pernah berbunga-bunga.
Namun, keadaan itu berubah pada suatu sore.
Intan melihat sebuah cerpen di tumpukan kertas yang akan difotokopi. Judul cerpen itu membuatnya kaget, Suatu Senja di Khatulistiwa. Dia membaca cerita itu beberapa paragraf. Dia terpesona.
"Ini... kertas milik siapa?" tanya Intan kepada Feny, teman sekerjanya. Feny baru saja megakhiri jam kerjanya, siap-siap pulang.
"Enggak tahu tuh. Itu titipan dari Mas Yudi. Baru aja Mas Yudi titip ke aku, terus bilang kalau kamu yang disuruh fotokopi 4 kali. Katanya besok baru diambil."
Intan mengangguk-angguk sambil tersenyum dan mendesahkan napas panjang. Dia senang mendengar kata "besok". "Besok malam atau siang ya dia ke sini?"
Feny mengangkat bahu. "Memangnya kenapa, Tan? Kamu kenal dengan orangnya? Maksudku, dengan penulisnya?"
Intan menggaruk-garuk kepalanya. "Enggak sih, aku enggak kenal dengan orang ini," katanya sambil mengangkat kertas itu. "Tapi, coba kamu lihat judul cerita ini. Ada kata 'khatulistiwa'. Apa mungkin dia dari Pontianak juga? Kan Pontianak dijuluki Kota Khatulistiwa?"
Feny mengangguk-angguk sambil memajukan bibir bawahnya.
"Begini, Fen. Aku perlu bantuanmu. Kamu kan besok masuk pagi. Nah, kalau dia datang aku langsung ditelepon ya. Terus, ajak dia ngomong apa gitu, nanti aku segera datang," kata Intan.
Feny menyipitkan mata. Dia memperhatikan Intan dengan tatapan yang aneh. "Hm... memangnya kenapa sih? Aku jadi curiga... kok kayaknya ada apa-apanya deh...," kata Feny dengan nada bicara yang menggoda.
Intan memalingkan wajahnya, menyembunyikan senyumnya. "Kan... siapa tahu dia penulis terkenal, dari Pontianak juga."
"Iya, Tan. Beres... gampang kok, nanti kalau lancar aku dapat bakso gratisan semangkok kan?"
Intan menjulurkan lidahnya. "Yeee, gitu aja minta bakso!!!"
"Ya udah kalau enggak mau! Siapa tahu lho, dari sebuah cerita, asmara bisa terjalin mesra!"
"Awas kamu yaaa!" kata Intan sambil menggelitiki pinggang Feny.

INTAN masuk ke dalam kamarnya, menyetel lagu yang lembut dari ponselnya. Ia pun mulai membaca cerita itu perlahan-lahan.
"Ya, Tuhan...," kata Intan setelah membacanya. Cerpen yang ditulis Hendra Kurniawan itu begitu dekat dengan masa lalunya. Singkawang, Pontianak, perjalanan menggunakan kapal—semuanya segera membawa Intan menyusuri lorong waktu. Cerita ini, bagi Intan terjalin sangat indah, sekaligus sangat pedih.
Malam inilah kali pertama Intan lupa berdoa untuk nenek dan ibunya sebelum tidur. Ia baru bisa tidur di atas jam 2 malam. Ia sibuk membayangkan seperti apa rupa Hendra Kurniawan!
                   
"SEGERA balik. Ada yg dtg!" demikian bunyi pesan yang masuk ke ponsel Intan.
Intan langsung berdiri, berjalan ke depan kelas. Dia meminta izin kepada dosen untuk pergi ke toilet. Keluar dari ruang kuliah, langkahnya terayun begitu cepat. Saat sampai di tangga, dia menuruni anak-anak tangga dengan berlari agak kencang.
Dari kejauhan, Intan melihat seorang pria yang gagah, mengenakan jaket hitam. Dia hanya melihat pria itu dari belakang, sedang berbicara dengan Feny. Feny tampak tersenyum-senyum saat berbicara dengan pria itu. Intan mengatur napasnya ketika sudah tidak jauh dari toko. Dia melangkah agak pelan, lalu masuk ke dalam toko.
Intan pun melihat wajah pria itu. Dia tampak dewasa, usianya mungkin 30-an tahun. Dia berkulit agak gelap, memiliki kumis tipis, dan matanya agak sipit. "Permisi, Bang," kata Intan.
Pria itu tersenyum agak lebar. "Bang?" tanyanya.
"Oh, saya selalu memanggil 'bang' semua cowok yang kelihatannya lebih tua. Itu kebiasaan saya sejak di Pontianak dulu, Bang."
Pria itu mengangguk-angguk.
"Oh ya, saya permisi sebentar. Saya perlu ke belakang," kata Feny sambil melirik kepada Intan. Feny mengedipkan matanya.
"Oh ya, Bang...."
"Ada baiknya kamu panggil saya 'mas' aja. Biar kelihatan lebih akrab," potong Hendra.
"Oh gitu. Oke, oke...," kata Intan. "Mmm, gini Bang, eh... Mas, saya sempat baca cerita Mas yang difotokopi di sini kemarin."
"Oh ya? Cerita yang tentang Clara dan Ilham itu?"
Intan mengangguk beberapa kali dengan cepat.
Hendra mendesahkan napas panjang. "Bagaimana menurutmu, bagus apa enggak?" tanya Hendra.
"Bagus, Mas. Bagus banget. Dan, saya langsung merasa dekat sekali dengan cerita itu."
"Merasa dekat? Maksudnya?"
"Kota Singkawang, Pontianak, Pelabuhan Tanjungpura... semua itu begitu dekat dengan kehidupan saya waktu kecil sampai SMA."
Hendra mengangguk-angguk dengan lambat beberapa kali. "Jadi, dulunya kamu tinggal di Pontianak?"
"Iya, Mas. Memangnya Mas juga asli Pontianak atau Singkawang? Dari ceritanya, saya yakin... iya deh."
"Saya pernah mampir ke Singkawang, lalu ke Pontianak. Waktu ada di sana saya menulis cerita itu."
Toko fotokopi sedang sepi. Intan berpikir obrolan ini bisa berlanjut sampai panjang. Tapi, Intan teringat kuliahnya. Dia pun mengambil fotokopi cerpen Hendra, memasukkannya ke dalam plastik. Saat menyerahkan fotokopi itu, Intan mulai merasa nyaman berbincang-bincang dengan Hendra. Selama beberapa detik dia bimbang hendak menyatakan sesuatu yang intinya dapat membuat Hendra tak melupakannya. "Mmm, Mas, kalau ada cerpen lainnya, boleh kan saya membaca lagi?"
Hendra tersenyum. "Boleh," katanya. "Nanti kalau ada cerita lainnya saya kabari. Boleh minta nomor hape-mu?"
Selama beberapa detik Intan ragu memberikan nomor ponselnya. Tapi, akhirnya dia memutuskan untuk memberikannya. Hendra pun juga memberikan nomor ponselnya.
Hendra berpamitan. Saat itulah Feny kembali ke ruang toko fotokopi. Mas Yudi juga muncul -- Intan jadi salah tingkah dengan kemunculannya yang tiba-tiba. Mas Yudi menatap Hendra di kejauhan. Hendra mengacungkan jempolnya kepada Mas Yudi sebelum menyalakan mesin motornya.
"Lho, Tan, kamu enggak kuliah?" tanya Mas Yudi.
Intan melirik ke arah Feny. Feny hanya mengangkat pundaknya. "Emm... anu, Mas, saya mampir sebentar, habis ini mau kembali ke kos. Ini pas istirahat, ada buku yang tadi ketinggalan. Nanti, habis ini saya kembali lagi ke kampus kok."
"Oh...," kata Mas Yudi sambil masuk lagi ke ruang di belakang toko. Dia tampaknya tak mencurigai apa pun.

INTAN kembali lagi ke kampusnya. Dosen sempat bertanya mengapa dia lama sekali di toilet. Intan menjawab dengan suara pelan kalau dia lagi sakit perut. Saat perkuliahan berlangsung, Intan tak bisa melupakan Hendra. Kumis tipisnya, senyumnya, juga kata-kata di dalam ceritanya. Satu hal yang meresahkan Intan adalah usianya. Bagi Intan, dia bukan tipe pria idaman. Intan suka pria yang lebih muda, yang mungkin 2 atau 3 tahun lebih tua darinya. Tapi, hingga saat ini dia belum menemukannya. Di kampus, teman-teman cowok Intan belum ada yang tampak menarik baginya.
Dan, hal lain yang meresahkannya adalah: apakah Hendra sudah beristri?
Ponsel Intan bergetar. Di dalamnya ada pesan pendek -- dari Hendra! "Halo intan. cuma ngabari kalo ini mas hendra. :-)"
Intan pun membalas pesan pendek itu. "Iya mas, ini aku lg kul di kampus. Mas lg apa?"
Lama tak ada jawaban. Intan pun terus menunggu. Hatinya mulai gelisah. Materi kuliah yang diberikan dosen tidak ada yang disimaknya. Saat dosen menjelaskan, dia hanya memandangi cerpen yang ditulis Hendra dan layar ponselnya berganti-ganti.
"Hai intan. Maaf baru balas. Mas skrg lg ngopi sambil mau ngarang cerita. Km lg apa?" demikian pesan pendek yang diterima Intan saat hari sudah malam. Intan baru saja masuk ke dalam kamarnya. Senyumnya langsung mengembang membaca kata-kata itu.
"Aku lg santai di kamar. Lg mau ngerjain tugas kul. Mas mau ngarang cerita apa nih?"
Padahal, Intan hanya tiduran di atas kasurnya. Dia tidak mengerjakan tugas apa pun. Dia selalu memandangi layar ponselnya.
"Mas mau ngarang cerita ttg kamu. Tapi agak bingung mau mulai dari mana." Pesan pendek ini membuat jantung Intan berdegup lebih kencang.
"Oh ya? Mmgnya apa yang menarik dr aku?" tanya Intan.
Pesan pendek terakhir itu tidak dibalas Hendra. Intan berpikir, mungkin pulsanya habis. Atau, mungkin dia sudah mulai menulis ceritanya. Intan menunggu balasan pesan pendek itu hingga dia terlelap.

I.ndahnya dunia berasal dari senyuman
N.estapa menjauh dan sukacita tiba
T.iada yang dapat menggantikan intan
A.ngan tentangnya mengusik jiwa
N.amun, apakah ia juga mengangankanku?

Pesan pendek itu membangunkan Intan pada pagi hari. Senyumnya langsung mengembang ketika membacanya. Dia tak segera membalas pesan pendek itu. Dia tak mau dikira terlalu banyak berharap untuk orang yang baginya masih terhitung asing.
Untuk kali pertama Intan merasa dirinya berbeda. Saat mandi, dia senyum-senyum sendiri. Saat makan, juga begitu. Bagaimana tidak, seorang pria yang pandai merangkai kata-kata mengangankan dirinya. Dia melihat bayangan dirinya di cermin. "Cantikkah aku? Maniskah senyumku?" bisiknya.
Hati Intan begitu bahagia. Dia ingin senantiasa tenggelam dalam perasaan ini. Dia melangkah ke kampusnya dengan bangga -- ada seseorang yang kini mengaguminya. Dan, dia bukan orang sembarangan, tapi seorang juru cerita!
Pada siang hari, saat istirahat dari kuliah, baru Intan membalas pesan pendek itu. "Makasih mas untuk puisinya td pagi. Dalem bgt. :-) Mas lg apa skrg?"
Intan menunggu balasan pesan pendek itu. Ponselnya bergetar. Tapi, bukan pesan pendek yang diterimanya. Hendra meneleponnya.
"Halo, Mas," kata Intan.
"Halo, lagi apa nih?"
"Lagi di kampus. Lagi nunggu dosen. Mas sendiri lagi apa?"
Hendra bercerita bahwa dia semalam kesulitan menyelesaikan cerita tentang Intan. Ia seperti tak memiliki ide untuk menulis. "Begini, Tan. Besok kan hari Sabtu. Mau enggak kalau kita keluar? Mungkin... kita bisa cerita-cerita. Siapa tahu nanti ada inspirasi untuk melanjutkan ceritaku tentang kamu yang belum selesai," kata Hendra.
Ajakan ini membuat jantung Intan berdegup kencang. "Gimana ya, Mas? Mmm...  kalau Sabtu aku tetap kerja sih. Tapi, nanti coba aku tanyakan Mas Yudi deh. Nanti aku kabari ya, Mas?"
"Oke. Kutunggu ya."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah mampir, dan sudi berkomentar.