HARI-HARI yang baru tiba. Intan kadang
tidak pernah menyangka dengan apa yang dialaminya saat ini. Dari pagi hingga
siang dia kuliah di kampusnya, menjelang sore hingga malam hari dia bekerja di
toko fotokopi Mas Yudi. Pendapatan yang diterima Intan dari toko fotokopi cukup
untuk membayar uang kos, membeli kosmetik, pulsa ponsel, perlengkapan mandi,
dan sabun cuci. Setelah digunakan untuk membayar kuliah, uang yang diterimanya
dari nenek dipakainya untuk membeli beberapa pakaian dan sepasang sepatu baru.
Intan memperkirakan uang itu masih bisa dipakai untuk membeli makanan sehari-hari
selama setahun jikalau dia pandai berhemat.
Intan merasa
kehidupannya cukup stabil. Kesedihannya mulai sirna. Teman-teman baru di
kampus, teman-teman sekerja, dan aktivitas perkuliahan membuat hari-harinya
penuh warna. Dia pun senang dengan suasana kota Malang yang sejuk, berbeda jauh
dengan Pontianak.
Cuma, di kota
bunga ini, Intan masih merasa kurang memiliki satu hal. Hatinya belum pernah
berbunga-bunga.
Namun, keadaan itu
berubah pada suatu sore.
Intan melihat
sebuah cerpen di tumpukan kertas yang akan difotokopi. Judul cerpen itu
membuatnya kaget, Suatu Senja di
Khatulistiwa. Dia membaca cerita itu beberapa paragraf. Dia terpesona.
"Ini...
kertas milik siapa?" tanya Intan kepada Feny, teman sekerjanya. Feny baru
saja megakhiri jam kerjanya, siap-siap pulang.
"Enggak
tahu tuh. Itu titipan dari Mas Yudi. Baru aja Mas Yudi titip ke aku, terus
bilang kalau kamu yang disuruh fotokopi 4 kali. Katanya besok baru
diambil."
Intan
mengangguk-angguk sambil tersenyum dan mendesahkan napas panjang. Dia senang
mendengar kata "besok". "Besok malam atau siang ya dia ke
sini?"
Feny mengangkat
bahu. "Memangnya kenapa, Tan? Kamu kenal dengan orangnya? Maksudku, dengan
penulisnya?"
Intan
menggaruk-garuk kepalanya. "Enggak sih, aku enggak kenal dengan orang
ini," katanya sambil mengangkat kertas itu. "Tapi, coba kamu lihat
judul cerita ini. Ada kata 'khatulistiwa'. Apa mungkin dia dari Pontianak juga?
Kan Pontianak dijuluki Kota Khatulistiwa?"
Feny
mengangguk-angguk sambil memajukan bibir bawahnya.
"Begini,
Fen. Aku perlu bantuanmu. Kamu kan besok masuk pagi. Nah, kalau dia datang aku
langsung ditelepon ya. Terus, ajak dia ngomong apa gitu, nanti aku segera datang,"
kata Intan.
Feny menyipitkan
mata. Dia memperhatikan Intan dengan tatapan yang aneh. "Hm... memangnya
kenapa sih? Aku jadi curiga... kok kayaknya ada apa-apanya deh...," kata
Feny dengan nada bicara yang menggoda.
Intan
memalingkan wajahnya, menyembunyikan senyumnya. "Kan... siapa tahu dia
penulis terkenal, dari Pontianak juga."
"Iya, Tan.
Beres... gampang kok, nanti kalau lancar aku dapat bakso gratisan semangkok
kan?"
Intan
menjulurkan lidahnya. "Yeee, gitu aja minta bakso!!!"
"Ya udah
kalau enggak mau! Siapa tahu lho, dari sebuah cerita, asmara bisa terjalin
mesra!"
"Awas kamu
yaaa!" kata Intan sambil menggelitiki pinggang Feny.
INTAN masuk ke dalam kamarnya, menyetel
lagu yang lembut dari ponselnya. Ia pun mulai membaca cerita itu perlahan-lahan.
"Ya, Tuhan...," kata
Intan setelah membacanya. Cerpen
yang ditulis Hendra Kurniawan itu begitu dekat dengan masa lalunya. Singkawang, Pontianak, perjalanan
menggunakan kapal—semuanya segera membawa Intan menyusuri lorong waktu. Cerita ini, bagi Intan terjalin sangat indah, sekaligus sangat pedih.
Malam inilah kali pertama Intan lupa berdoa
untuk nenek dan ibunya sebelum tidur. Ia baru bisa tidur di atas jam 2 malam.
Ia sibuk membayangkan seperti apa rupa Hendra Kurniawan!
"SEGERA balik. Ada yg dtg!"
demikian bunyi pesan yang masuk ke ponsel Intan.
Intan langsung berdiri, berjalan ke depan
kelas. Dia meminta izin kepada dosen untuk pergi ke toilet. Keluar dari ruang
kuliah, langkahnya terayun begitu cepat. Saat sampai di tangga, dia menuruni
anak-anak tangga dengan berlari agak kencang.
Dari kejauhan,
Intan melihat seorang pria yang gagah, mengenakan jaket hitam. Dia hanya
melihat pria itu dari belakang, sedang berbicara dengan Feny. Feny tampak tersenyum-senyum
saat berbicara dengan pria itu. Intan mengatur napasnya ketika sudah tidak jauh
dari toko. Dia melangkah agak pelan, lalu masuk ke dalam toko.
Intan pun
melihat wajah pria itu. Dia tampak dewasa, usianya mungkin 30-an tahun. Dia
berkulit agak gelap, memiliki kumis tipis, dan matanya agak sipit.
"Permisi, Bang," kata Intan.
Pria itu
tersenyum agak lebar. "Bang?" tanyanya.
"Oh, saya
selalu memanggil 'bang' semua cowok yang kelihatannya lebih tua. Itu kebiasaan
saya sejak di Pontianak dulu, Bang."
Pria itu
mengangguk-angguk.
"Oh ya,
saya permisi sebentar. Saya perlu ke belakang," kata Feny sambil melirik
kepada Intan. Feny mengedipkan matanya.
"Oh ya,
Bang...."
"Ada
baiknya kamu panggil saya 'mas' aja. Biar kelihatan lebih akrab," potong
Hendra.
"Oh gitu.
Oke, oke...," kata Intan. "Mmm, gini Bang, eh... Mas, saya sempat
baca cerita Mas yang difotokopi di sini kemarin."
"Oh ya?
Cerita yang tentang Clara dan Ilham itu?"
Intan mengangguk
beberapa kali dengan cepat.
Hendra
mendesahkan napas panjang. "Bagaimana menurutmu, bagus apa enggak?"
tanya Hendra.
"Bagus,
Mas. Bagus banget. Dan, saya langsung merasa dekat sekali dengan cerita
itu."
"Merasa
dekat? Maksudnya?"
"Kota
Singkawang, Pontianak, Pelabuhan Tanjungpura... semua itu begitu dekat dengan
kehidupan saya waktu kecil sampai SMA."
Hendra mengangguk-angguk
dengan lambat beberapa kali. "Jadi, dulunya kamu tinggal di
Pontianak?"
"Iya, Mas.
Memangnya Mas juga asli Pontianak atau Singkawang? Dari ceritanya, saya
yakin... iya deh."
"Saya
pernah mampir ke Singkawang, lalu ke Pontianak. Waktu ada di sana saya menulis
cerita itu."
Toko fotokopi
sedang sepi. Intan berpikir obrolan ini bisa berlanjut sampai panjang. Tapi, Intan
teringat kuliahnya. Dia pun mengambil fotokopi cerpen Hendra, memasukkannya ke
dalam plastik. Saat menyerahkan fotokopi itu, Intan mulai merasa nyaman
berbincang-bincang dengan Hendra. Selama beberapa detik dia bimbang hendak
menyatakan sesuatu yang intinya dapat membuat Hendra tak melupakannya.
"Mmm, Mas, kalau ada cerpen lainnya, boleh kan saya membaca lagi?"
Hendra
tersenyum. "Boleh," katanya. "Nanti kalau ada cerita lainnya
saya kabari. Boleh minta nomor hape-mu?"
Selama beberapa
detik Intan ragu memberikan nomor ponselnya. Tapi, akhirnya dia memutuskan
untuk memberikannya. Hendra pun juga memberikan nomor ponselnya.
Hendra
berpamitan. Saat itulah Feny kembali ke ruang toko fotokopi. Mas Yudi juga
muncul -- Intan jadi salah tingkah dengan kemunculannya yang tiba-tiba. Mas
Yudi menatap Hendra di kejauhan. Hendra mengacungkan jempolnya kepada Mas Yudi
sebelum menyalakan mesin motornya.
"Lho, Tan,
kamu enggak kuliah?" tanya Mas Yudi.
Intan melirik ke
arah Feny. Feny hanya mengangkat pundaknya. "Emm... anu, Mas, saya mampir
sebentar, habis ini mau kembali ke kos. Ini pas istirahat, ada buku yang tadi
ketinggalan. Nanti, habis ini saya kembali lagi ke kampus kok."
"Oh...,"
kata Mas Yudi sambil masuk lagi ke ruang di belakang toko. Dia tampaknya tak
mencurigai apa pun.
INTAN kembali lagi ke kampusnya. Dosen
sempat bertanya mengapa dia lama sekali di toilet. Intan menjawab dengan suara
pelan kalau dia lagi sakit perut. Saat perkuliahan berlangsung, Intan tak bisa
melupakan Hendra. Kumis tipisnya, senyumnya, juga kata-kata di dalam ceritanya.
Satu hal yang meresahkan Intan adalah usianya. Bagi Intan, dia bukan tipe pria
idaman. Intan suka pria yang lebih muda, yang mungkin 2 atau 3 tahun lebih tua
darinya. Tapi, hingga saat ini dia belum menemukannya. Di kampus, teman-teman cowok
Intan belum ada yang tampak menarik baginya.
Dan, hal lain
yang meresahkannya adalah: apakah Hendra sudah beristri?
Ponsel Intan
bergetar. Di dalamnya ada pesan pendek -- dari Hendra! "Halo intan. cuma
ngabari kalo ini mas hendra. :-)"
Intan pun
membalas pesan pendek itu. "Iya mas, ini aku lg kul di kampus. Mas lg
apa?"
Lama tak ada
jawaban. Intan pun terus menunggu. Hatinya mulai gelisah. Materi kuliah yang
diberikan dosen tidak ada yang disimaknya. Saat dosen menjelaskan, dia hanya
memandangi cerpen yang ditulis Hendra dan layar ponselnya berganti-ganti.
"Hai intan.
Maaf baru balas. Mas skrg lg ngopi sambil mau ngarang cerita. Km lg apa?"
demikian pesan pendek yang diterima Intan saat hari sudah malam. Intan baru
saja masuk ke dalam kamarnya. Senyumnya langsung mengembang membaca kata-kata
itu.
"Aku lg
santai di kamar. Lg mau ngerjain tugas kul. Mas mau ngarang cerita apa
nih?"
Padahal, Intan hanya
tiduran di atas kasurnya. Dia tidak mengerjakan tugas apa pun. Dia selalu memandangi
layar ponselnya.
"Mas mau
ngarang cerita ttg kamu. Tapi agak bingung mau mulai dari mana." Pesan
pendek ini membuat jantung Intan berdegup lebih kencang.
"Oh ya? Mmgnya
apa yang menarik dr aku?" tanya Intan.
Pesan pendek
terakhir itu tidak dibalas Hendra. Intan berpikir, mungkin pulsanya habis.
Atau, mungkin dia sudah mulai menulis ceritanya. Intan menunggu balasan pesan
pendek itu hingga dia terlelap.
I.ndahnya dunia berasal dari senyuman
N.estapa menjauh dan sukacita tiba
T.iada yang dapat menggantikan intan
A.ngan tentangnya mengusik jiwa
N.amun, apakah ia juga mengangankanku?
Pesan pendek itu
membangunkan Intan pada pagi hari. Senyumnya langsung mengembang ketika
membacanya. Dia tak segera membalas pesan pendek itu. Dia tak mau dikira
terlalu banyak berharap untuk orang yang baginya masih terhitung asing.
Untuk kali pertama Intan merasa dirinya
berbeda. Saat mandi, dia senyum-senyum sendiri. Saat makan, juga begitu.
Bagaimana tidak, seorang pria yang pandai merangkai kata-kata mengangankan
dirinya. Dia melihat bayangan dirinya di cermin. "Cantikkah aku? Maniskah
senyumku?" bisiknya.
Hati Intan begitu bahagia. Dia ingin
senantiasa tenggelam dalam perasaan ini. Dia melangkah ke kampusnya dengan
bangga -- ada seseorang yang kini mengaguminya. Dan, dia bukan orang
sembarangan, tapi seorang juru cerita!
Pada siang hari,
saat istirahat dari kuliah, baru Intan membalas pesan pendek itu. "Makasih
mas untuk puisinya td pagi. Dalem bgt. :-) Mas lg apa skrg?"
Intan menunggu
balasan pesan pendek itu. Ponselnya bergetar. Tapi, bukan pesan pendek yang
diterimanya. Hendra meneleponnya.
"Halo,
Mas," kata Intan.
"Halo, lagi
apa nih?"
"Lagi di
kampus. Lagi nunggu dosen. Mas sendiri lagi apa?"
Hendra bercerita
bahwa dia semalam kesulitan menyelesaikan cerita tentang Intan. Ia seperti tak
memiliki ide untuk menulis. "Begini, Tan. Besok kan hari Sabtu. Mau enggak
kalau kita keluar? Mungkin... kita bisa cerita-cerita. Siapa tahu nanti ada
inspirasi untuk melanjutkan ceritaku tentang kamu yang belum selesai,"
kata Hendra.
Ajakan ini
membuat jantung Intan berdegup kencang. "Gimana ya, Mas? Mmm... kalau Sabtu aku tetap kerja sih. Tapi, nanti
coba aku tanyakan Mas Yudi deh. Nanti aku kabari ya, Mas?"
"Oke.
Kutunggu ya."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah mampir, dan sudi berkomentar.