Jumat, 13 Januari 2017

Bab 1: Meninggalkan Nenek


"SEPERTI apakah rupa cinta?"
Musim kehidupan berganti. Peristiwa ulang tahun Intan yang kelima telah empat belas tahun berlalu. Kini, Intan hidup dalam keadaan yang berbeda. Intan sering merasa dirinya seperti mawar yang senantiasa hidup di bawah terik matahari siang. Dia merindukan tetesan embun penyejuk ketika matahari masih bersembunyi di balik kegelapan; atau seekor kumbang yang datang menyambangi, memberikan sentuhan kesegaran bagi jiwanya yang kering kerontang.
Saat Intan berusia 9 tahun, ayahnya meninggal karena serangan jantung. Kepergiannya begitu mendadak, ibu Intan kalang-kabut dibuatnya. Rumah kontrakan mereka di Singkawang ditinggalkan, ibu pindah ke Pontianak, tinggal serumah dengan nenek Intan.
Namun, ibu Intan tak bertahan lama tinggal bersama ibunya sendiri di Pontianak. Kira-kira setahun sejak ayah Intan meninggal, ibu Intan pergi ke Malaysia, menjadi Tenaga Kerja Wanita (TKW). Nasib ibu tidak jelas sejak ada di Malaysia -- dia beberapa kali pindah tempat kerja. Terakhir, ibu mengabari kepada seorang rekannya yang menjadi TKW juga bahwa dia menikah dengan seorang duda beranak dua asal Taiwan.
Ibu pernah berjanji kepada Intan bahwa suatu hari dia akan kembali. Tapi, entah kapan -- batang hidungnya tak kunjung tampak.
Begitulah, sejak berumur 10 tahun, Intan tinggal dengan neneknya yang berjualan kue-kue. Rumah yang mereka tinggali tidak terlalu jauh dengan Pelabuhan Tanjungpura, Pontianak. Setiap pagi Intan bangun pada pukul 04.30. Dia membantu menitipkan kue-kue buatan neneknya ke beberapa warung makan dan warung kopi dengan bersepeda. Sepulang sekolah atau pada sore hari, Intan juga membantu nenek mengambil hasil jualan. Neneknya membuat kue bakpao, pastel, dan bolu. Nenek menyekolahkan Intan hingga dia tamat SMA. Nenek juga mengelola uang yang mereka berdua dapatkan dengan sangat baik.   
"Intan," kata nenek suatu malam, setelah Intan menerima ijazah. "Kamu sudah tamat SMA sekarang. Seperti yang kamu bilang dulu, selanjutnya kamu mau ke Jawa, mau kuliah."
Intan duduk di samping neneknya. Nenek tampak begitu rapuh. Dia memandangi rambut neneknya yang hampir putih semua. Di depan mereka berdua, terbentang sungai Kapuas yang tampak begitu tenang. Ada beberapa sampan yang melintas, ada yang hanya diam. Ada kapal dan perahu yang baru datang, menuju ke pelabuhan. Ada yang mau pergi, entah ke mana. Bayang-bayang lampu-lampu kapal yang berwarna-warni tampak di permukaan sungai.
"Jadi, nenek sudah pasti akan hidup dengan seorang pembantu?" tanya Intan.
Nenek mengangguk beberapa kali. "Minggu depan dia akan ke sini," katanya dengan suara serak.
Intan merangkul pundak neneknya. "Tapi, Nek, pembantu itu baik kan?"
Nenek meyakinkan Intan agar tidak khawatir. Pembantu itu sudah bekerja di rumah kakak nenek Intan selama 3 tahun. Kakak nenek Intan telah meninggal sebulan yang lalu dan pembantu itu yang meminta agar dia bisa bekerja di rumah nenek Intan. "Jangan bimbang, Intan. Kalau kuliah sudah menjadi tekadmu sejak dulu, lakukanlah," kata nenek sambil beranjak dari kursi, masuk ke dalam kamarnya.
Nenek duduk lagi di samping Intan, membawa sebuah tas. Nenek mengeluarkan uang dari tas itu. Intan tak pernah melihat tas itu sampai hari ini. Dia menahan napas melihat uang yang digenggam nenek.
"Intan, ini adalah tabungan kita bersama, 18 juta. Ini hasil kita bersama, Intan, hasil keringat kita. Nenek menabung sejak ibumu tidak ada lagi di sini. Pakailah ini untuk membeli tiket kapal ke Jawa, mendaftar kuliah, dan lainnya."
"Nek...." Intan merasa matanya tiba-tiba panas.
Nenek menundukkan kepalanya. "Nenek tahu, Tan, kamu punya banyak impian mengenal dunia luar. Ibumu entah kapan akan kembali. Keluarlah dari tempat ini untuk masa depanmu yang lebih baik. Nenek akan tetap hidup bersama kue-kue nenek. Tapi kamu, banyak kesempatan yang terbuka di depanmu."
Intan memeluk neneknya dengan erat -- sangat erat.

MALAM itu, Intan tak bisa tidur. Bagaimana dia dapat melupakan neneknya itu?
Tiap pagi nenek bangun pukul 03.00, menyiapkan kue-kue yang mau dititipkannya pada hari itu. Setelah menitipkan kue-kuenya, nenek berbelanja di pasar, menyiapkan makan siang untuk mereka berdua. Siang hari, setelah memasak, kadang nenek tidur satu dua jam sambil menunggu Intan datang. Pada sore hari, nenek mengambil jualannya.
Pada malam hari, setelah menyiapkan beberapa bahan untuk kue yang akan dibuat keesokan harinya, nenek biasanya menyanyikan kidung-kidung gereja yang disukainya. Intan selalu suka mendengarkan nenek bernyanyi. Suaranya merdu, dulu nenek sering bernyanyi dalam kelompok paduan suara di gereja.
Nenek tidak pandai dalam pelajaran-pelajaran sekolah. Suatu malam, saat Intan masih kelas 6 SD, dia tidak bisa mengerjakan beberapa PR yang diberikan guru Matematika. Saat itu buku paketnya ketinggalan di sekolah. Nenek membantu Intan mengerjakan PR-nya. Hasilnya? Intan mendapat nilai 25.
Intan juga selalu merindukan ibunya. Dia sering berdoa sambil memandangi sungai Kapuas saat malam hari agar ibunya baik-baik saja. Intan sudah lelah memohon kepada Tuhan agar ibunya kembali. Beberapa anak mungkin tidak mengerti apa artinya harapan yang tak kunjung tiba; Intan memahami hal ini dengan baik, dan doa-doanya pun berubah. Dia sudah makin jarang meminta sesuatu di dalam doa. Dia hanya berharap rencana Tuhan yang terjadi. Tak jarang, Intan menaikkan doa-doanya tanpa kata-kata.
Nenek sudah tertidur pulas. Intan tak henti-hentinya mengelus-elus uang yang ada di pangkuannya. Sambil mengelus-elus uang itu, rasa khawatir yang besar memenuhi batinnya: bagaimana bila nenek sakit keras atau meninggal saat aku ada di Jawa?
Hati Intan terbelah dua.
Sebuah perahu kecil melintas di sungai Kapuas, Intan melambaikan tangannya.

DI Pelabuhan Tanjungpura, akhirnya mereka berdua berpisah. Nenek menunggui Intan hingga kapal Lawit yang membawa Intan ke Surabaya tidak tampak lagi di sungai Kapuas. Air mata nenek sudah kering, tangannya sudah letih melambai-lambai. Demikian pula dengan Intan. Dia terus memandangi neneknya dari teras kapal hingga tak kelihatan.
"Kehidupan terus berjalan, Intan. Jangan takut kehilangan apa pun dan siapa pun," demikian kata-kata terakhir nenek di pelabuhan itu.
Nenek kembali ke rumah bersama pembantu barunya. Intan menuju lautan lepas seorang diri. Keduanya, masing-masing berjalan bersama kesedihan dan harapannya.

"SEPERTI apakah rupa cinta?" Intan pernah menuliskan kata-kata itu beberapa bulan lalu di buku hariannya.
Ia kembali ke tempat tidurnya di kapal, mengambil buku itu dari sebuah tas.
"Seperti nenek," tulisnya.

INTAN menumpang kapal Lawit menuju ke Surabaya. Perjalanan yang ditempuhnya selama lebih dari 30 jam telah membuatnya mabuk laut. Dia lebih banyak menghabiskan waktu dengan tidur di sepanjang perjalanan. Dia hanya makan beberapa makanan ringan yang dibawanya dari Pontianak. Dia sempat menulis beberapa catatan pendek tentang neneknya. Begitu sampai di Surabaya, dia begitu lega. Dia menelepon pembantu neneknya, lalu bicara dengan neneknya. Neneknya mengucapkan "puji Tuhan" belasan kali.
Paman Intan telah menunggunya di Pelabuhan Tanjung Perak.
"Halo, Om Joni, saya udah sampai nih. Om di mana?" kata Intan lewat ponselnya.
Paman Intan segera mengarahkan Intan untuk menuju ke sisi timur pelabuhan itu. Di sana mereka berjumpa. Intan tampak bahagia begitu melihat wajah pamannya itu. "Halo Intan!" seru pamannya di kejauhan. Senyumnya begitu lebar saat menghampiri Intan, lalu dia menjabat tangan Intan dengan erat dan merangkul pundaknya.             
Mereka menuju ke tempat parkir, di sana seorang kawan paman Intan sudah menunggu. Mereka bertiga menuju ke rumah paman Intan di Sidoarjo. Sepanjang perjalanan, Intan dan pamannya bertukar cerita tentang kehidupan mereka masing-masing. Mereka juga membicarakan tentang rencana kuliah Intan.
Intan ingin berkuliah di Jawa karena banyak hal. Alasannya yang utama ada dua. Pertama, Om Joni dulu pernah menawarinya saat dia masih kelas 1 SMA. Om Joni berkunjung ke Pontianak waktu itu, dan dia memberikan saran kalau ada baiknya Intan kuliah di Jawa. Nenek Intan tak mungkin mengijinkan Intan kuliah di Jawa kalau tidak ada Om Joni.
Kedua, Intan sejak kecil memiliki rasa ingin tahu yang besar. Sejak kecil dia menyukai petualangan dan perjalanan. Bila liburan sekolah tiba, dia sering bersepeda bersama teman-temannya ke tempat-tempat yang jauh dari kota dan berpemandangan indah. Dia selalu ingin tahu keadaan dunia luar, ingin mengenal kehidupan di Jawa yang menurut beberapa orang lebih maju -- dia ingin tahu seperti apa kehidupan selain di Pontianak dan Singkawang.
"Seperti yang Om bilang dulu, Tan, rencananya kamu kuliah di Malang. Besok coba kita lihat lagi kampus mana yang kira-kira pas buat kamu."
"Iya, Om. Saya maunya di jurusan Akuntansi atau Ekonomi gitu. Atau... jurusan Bahasa Indonesia," kata Intan.
"Bahasa Indonesia? Ya, ya. Om dengar dari nenek kamu suka nulis. Apa kamu memang mau jadi penulis?"
Intan tersenyum tipis mendengar pertanyaan itu. "Ah, enggak, Om. Saya memang suka menulis. Terus, selain itu juga pengen belajar Ekonomi karena waktu SMA masuk IPS. Otak saya enggak kuat belajar di IPA, Om."
Om Joni tersenyum mendengarnya. "Bukan soal kuat apa enggak, mungkin soal minat saja, Tan."
Intan tersenyum kecil mendengar pernyataan itu. Tiba-tiba, dia teringat sesuatu. "Oh iya, Om, soal teman Om yang buka usaha fotokopi itu gimana? Yang katanya perlu karyawan itu? Saya mau bisa kuliah sambil kerja. Ya... buat tambahan uang saku gitu, Om."
"Oh itu! Ya, ya, om ingat. Kelihatannya dia masih perlu karyawan atau karyawati. Nanti coba dihubungi lagi."

INTAN hanya sehari semalam berada di rumah pamannya. Om Joni tidak bertanya banyak soal ibu Intan, kakaknya, yang hingga kini belum ketahuan di mana rimbanya. Paman Intan, istrinya, dan Intan menumpang sebuah bis, pergi ke Malang. Di dalam perjalanan, Intan menggeleng-gelengkan kepala melihat tanggul lumpur yang ada di Porong. Dia terpana waktu mendengar cerita pamannya bahwa ada tiga desa yang tenggelam akibat semburan lumpur panas itu. "Sampai sekarang masih banyak orang yang mengesalkan kejadian ini, Tan. Yang belum dapat ganti rugi karena rumah dan tanahnya terendam lumpur juga banyak," cerita Om Joni.
Saat di Pandaan, dia senang melihat Gunung Penanggungan yang ada di sebelah kanan jalan. Selama tinggal di Pontianak dan Singkawang dia tidak pernah melihat gunung setinggi itu. "Nanti ada gunung Arjuna sekitar satu jam lagi, Tan. Nah, enggak jauh dari sini, di sekitar Malang dan Probolinggo, juga ada tiga gunung yang terkenal: Bromo, Tengger, dan Semeru. Terus, di dekat kota Malang, tepatnya di Batu, juga ada Gunung Panderman," kata istri pamannya.              
Entah kenapa, saat mendengar cerita dari tantenya itu, Intan tiba-tiba menyukai gunung. Dulu dia pernah membayangkan keidupan para pecinta alam yang tampaknya puitis dan penuh tantangan. Dalam hati kecilnya muncul sebuah keinginan -- mendaki gunung.   
Ketika sampai di Malang, mereka bertiga menginap di sebuah penginapan di belakang SMA Katolik Cor Jesu. Paman Intan menyewa dua buah kamar. Paman Intan sudah mencari beberapa informasi tentang beberapa universitas yang ada di Malang. Mereka bertiga merundingkan perguruan tinggi yang cocok dan mencarikan rumah kos untuk Intan.
Pamannya juga akan ke toko fotokopi milik temannya. Temannya itu membutuhkan beberapa karyawan karena baru saja membuka cabang toko fotokopi. Pamannya sempat menanyakan bagaimana kalau Intan juga bekerja untuknya di luar jam kuliah.
Selama dua hari itu, setelah menjajaki beberapa kemungkinan, Intan akhirnya memutuskan untuk berkuliah di jurusan Pariwisata Universitas Merdeka Malang. Kuliah ini jenjangnya D3, 3 tahun. Sebenarnya, dia ingin sekali bisa kuliah S1, empat tahun, terutama di jurusan Bahasa Indonesia.
Tapi, dia khawatir bila terlalu lama di Jawa. Intan memikirkan neneknya. Dia juga harus memutar otak mencari sumber dana tambahan untuk biaya kuliahnya. Uang 18 juta yang diberikan neneknya sudah habis hampir sejuta. Sisanya, 17 juta, nantinya setelah dipakai untuk segala macam biaya perkuliahan, mungkin akan tersisa sekitar 8 juta. Belum biaya rumah kos, biaya makan, dan lain sebagainya. Mengharapkan beasiswa agak mustahil karena sejak SMA Intan merasa prestasi belajarnya tidak terlalu bagus. Itulah sebabnya, ketika pamannya mengajak dia untuk menemui temannya yang membuka usaha fotokopi, dia sangat berharap bisa bekerja di sana.
Lagipula, jurusan Pariwisata tampaknya sesuai dengan jiwanya yang suka berpetualang.

"JADI, ini anaknya yang mau bekerja sama aku, Jon?" kata kawan paman Intan, pemilik usaha fotokopi.
"Ya," kata paman Intan dengan mantap. "Anak ini rajin banget, Mas Yudi. Dulu, waktu SMA tiap pagi dia bangun sebelum jam 5 mengantarkan kue-kue buatan neneknya ke warung-warung untuk dititipkan. Setelah pulang sekolah, dia biasanya enggak langsung pulang. Dia ke beberapa warung, mengambil hasil jualan yang dititipkan tadi pagi."
Intan menunduk mendengar kata-kata pamannya itu.
Mas Yudi mengangguk-angguk sambil memikirkan sesuatu. "Baik, begini saja. Aku training dia seminggu dulu ya, Jon? Nanti kamu kukabari lagi gimana hasilnya."
Om Joni menjabat tangan kawannya itu. "Sip. Aku sangat yakin dia bisa dibimbing."
Intan tersenyum-senyum ketika berpamitan kepada Mas Yudi. Sebuah kekhawatirannya untuk sementara lenyap. Kini, tugas terakhir Om Joni adalah mencarikan rumah kos untuk Intan.
"Oh iya," kata Mas Yudi. "Intan sudah dapat kos?"
"Ini lagi mau cari yang dekat dengan kampusnya," kata Om Joni.
"Memangnya kampus Intan di mana?"
"Di jalan Bandung, Mas Yudi."
"Lho," kata Mas Yudi sambil mengerutkan dahi dan mengangguk-angguk. "Jalan Bandung dari sini cuma dua ratus meter lho! Ini tetanggaku banyak yang terima kos."
"Oh ya?" Kali ini Intan yang berbicara.
Om Joni tersenyum lebar, tampaknya menyadari sesuatu. "Aku ini sudah lama enggak ke Malang. Lupa juga kalau semua ini berdekatan! Nah, Intan... jadi, kampusmu, tempat kerjamu dan tempat kosmu bakal berdekatan!"
Tugas paman Intan pun selesai. Dia menemani Intan selama dua hari di Malang. Intan juga sudah mendapatkan rumah kosnya. Pamannya kembali ke Sidoarjo setelah membantu Intan menyiapkan kamar yang akan ditinggali Intan. Hal-hal lain yang berkaitan dengan pendaftaran kuliah akan diurus Intan sendiri. Dia berpesan agar Intan berkunjung ke Sidoarjo kalau ada kesempatan.
Pada malam hari, saat Intan sendiri di kamar kos, sekali lagi dia menelepon neneknya. Intan ingin mendengar neneknya menyanyikan sebuah lagu untuknya. Neneknya pun bernyanyi di telepon untuk cucu kesayangannya:

Tak kutahu kan hari esok, mungkin langit kan gelap
tapi Dia yang berkasihan melindungiku tetap
meski susah perjalanan, g’lombang dunia menderu
Dipimpin-Nya kubertahan sampai akhir langkahku*)

*)
Dari Nyanyian Kidung Baru 049, "Tuhan yang Pegang", syair: "I Know Who Holds Tomorrow" oleh Ira F. Stanphill, terjemahan K. P. Nugroho.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah mampir, dan sudi berkomentar.