Singkawang, 9
September 1996
SEMUA orang tengah bergembira menyaksikan Intan yang
berulang tahun pada hari itu. Sepasang mata gadis kecil yang genap berusia 5
tahun itu tampak bersinar-sinar. Seorang bapak tua yang membawa biola memainkan
"Bintang Kecil", lagu kesukaan Intan. Ayah Intan memainkan gitar,
mengiringi nada-nada yang teralun lembut dari biola itu. Semua mata menyaksikan
Intan, ayahnya, dan bapak tua pemain biola itu dengan hening. Suara biola dan
gitar itu terdengar begitu harmonis.
Terdengar
tepuk tangan yang panjang ketika lagu usai dinyanyikan. Ibu Intan berdiri di
samping Intan, menyampaikan beberapa hal tentang Intan pada sore yang hampir
beranjak malam itu: Intan sudah kelas nol besar, sudah bisa membedakan warna,
sudah lancar mengucapkan huruf "r" dan "s", sudah bisa
membaca kata-kata seperti "mama", "papi", atau
"sapi".
Hati
Intan melimpah dengan sukacita. Lilin merah lima buah di atas kue ulang tahun
yang ada di depan Intan berpendar dengan begitu menawan di sepasang mata
kecilnya. Lagu "Selamat Ulang Tahun" dinyanyikan bersama-sama. Semua
menyanyikannya sambil bertepuk tangan.
Waktu untuk
meniup lilin dan membuat harapan sudah tiba. Hujan mulai turun rintik-rintik.
Namun,
kedua mata Intan tak melihat kue dan lilin-lilin di depannya. Selama beberapa
detik dia melihat sesuatu di balik jendela ruang tamu. Di sebuah dahan pohon
mangga yang ada di halaman rumahnya, ada seekor merpati biru yang hinggap -- tampaknya
hendak berteduh. Beberapa kali merpati itu menggerak-gerakkan kepalanya,
membersihkan air yang ada di dekat badannya. Merpati itu terlihat jelas karena
ada lampu taman di dekatnya.
"Hampir
malam. Bisakah merpati itu pulang ke rumahnya, Ma?" bisik Intan kepada
ibunya di sampingnya.
Namun, Ibu
tak mendengar kata-kata putrinya itu. Ia memegang pundak Intan dan berbisik
agar Intan segera meniup lilinnya. Intan meniup lilin ulang tahunnya tanpa
membuat harapan apa pun. Setelah meniup lilin, merpati itu sudah berpindah
tempat, tidak ada di dahan tadi.
Acara
ulang tahun dilanjutkan dengan tebak-tebakan, menyanyikan lagu-lagu gembira,
dan makan bersama. Hujan turun makin deras. Intan selalu melihat ke jendela,
mencari-cari merpati itu. Tadi, dia merasa hatinya sedang dipeluk oleh seisi
dunia. Tapi, merpati itu membuat hatinya terasa begitu sepi. Saat semua orang
sedang makan, minum, dan bertukar cerita, Intan berdiri di depan jendela,
memandangi pohon mangga dan hujan yang entah kapan akan berhenti.
Bapak
tua pemain biola melihat kegelisahan di wajah Intan. Dia sedang duduk sendiri
sambil minum segelas teh panas. Dia berdiri, menghampiri anak itu, merangkul
pundaknya. "Kek," kata Intan kepadanya, "Tadi aku melihat
merpati."
"Terus?"
"Dia
kelihatannya tidak bisa pulang. Dia kelihatannya lagi sembunyi di dalam pohon
itu, Kek," kata Intan sambil menunjuk pohon mangga di halaman depan
rumahnya, wajahnya cemberut.
Bapak
tua itu mengajak Intan keluar. Hujan masih turun. Ayah Intan sedang berbicara
dengan beberapa tamu di ruang tengah, ibunya sedang mondar-mandir ke ruang tamu
dan dapur. "Kek, jangan ke pohon itu, hujannya masih deras!" kata
Intan begitu melihat kakek itu melipat celana panjangnya.
Bapak tua itu mendengus,
mengurungkan niatnya. "Semoga hujan cepat reda, Nak. Sekarang, mari kita
masuk ke dalam. Acara ulang tahunmu masih belum selesai."
Perlahan-lahan
hujan reda. Hujan deras itu turun tidak lama, tidak lebih dari 10 menit. Tamu-tamu
berpamitan pulang. Intan menyembunyikan kegelisahannya ketika menyalami
tamu-tamu itu. Saat tamu-tamu makin sedikit, Intan dan bapak tua pemain biola
menuju ke pohon mangga itu.
Mereka berdua menggoyang-goyangkan pohon
mangga itu. Tidak ada tanda-tanda keberadaan merpati itu. Bapak tua itu
berjalan-jalan di sekitar pohon mangga itu sambil terus melihat ke atas. Intan
terus menunggu di bawah, mengamati pohon itu.
"Kelihatannya
burung itu sudah pergi, Nak."
"Semoga
dia enggak tersesat ya, Kek," kata Intan sambil merengut.
Mereka
berdua pun kembali ke rumah.
Saat
sampai di depan pintu rumah, Intan membalikkan badannya. Wajahnya yang tadi
merengut sekarang tampak begitu cerah. "Kek, lihat itu!" teriaknya
dengan mata yang berbinar-binar.
Intan
dan bapak tua pemain biola menyaksikan merpati itu terbang ke angkasa. Mereka
berdua melambaikan tangan. Merpati itu lenyap ditelan kegelapan malam.
"Aku
baru saja membuat harapan pada hari ulang tahunku, Kek!" kata Intan dengan
berseru.
"Bolehkah
kakek mendengarnya?"
Bapak
tua itu membungkuk hingga telinganya berada cukup dekat dengan
wajah Intan. Intan pun berbisik kepada bapak tua pemain biola itu. Bapak tua itu tersenyum. "Ya, ya...," katanya
sambil mengangguk-angguk. Dia mencubit pipi Intan dengan lembut. Bapak tua itu
menggandeng tangan Intan, masuk kembali ke dalam rumah sambil menyanyikan lagu
"Bintang Kecil".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah mampir, dan sudi berkomentar.