Senin, 09 Januari 2017

Prolog


Singkawang, 9 September 1996

SEMUA orang tengah bergembira menyaksikan Intan yang berulang tahun pada hari itu. Sepasang mata gadis kecil yang genap berusia 5 tahun itu tampak bersinar-sinar. Seorang bapak tua yang membawa biola memainkan "Bintang Kecil", lagu kesukaan Intan. Ayah Intan memainkan gitar, mengiringi nada-nada yang teralun lembut dari biola itu. Semua mata menyaksikan Intan, ayahnya, dan bapak tua pemain biola itu dengan hening. Suara biola dan gitar itu terdengar begitu harmonis.
                Terdengar tepuk tangan yang panjang ketika lagu usai dinyanyikan. Ibu Intan berdiri di samping Intan, menyampaikan beberapa hal tentang Intan pada sore yang hampir beranjak malam itu: Intan sudah kelas nol besar, sudah bisa membedakan warna, sudah lancar mengucapkan huruf "r" dan "s", sudah bisa membaca kata-kata seperti "mama", "papi", atau "sapi".
                Hati Intan melimpah dengan sukacita. Lilin merah lima buah di atas kue ulang tahun yang ada di depan Intan berpendar dengan begitu menawan di sepasang mata kecilnya. Lagu "Selamat Ulang Tahun" dinyanyikan bersama-sama. Semua menyanyikannya sambil bertepuk tangan.
                Waktu untuk meniup lilin dan membuat harapan sudah tiba. Hujan mulai turun rintik-rintik.
                Namun, kedua mata Intan tak melihat kue dan lilin-lilin di depannya. Selama beberapa detik dia melihat sesuatu di balik jendela ruang tamu. Di sebuah dahan pohon mangga yang ada di halaman rumahnya, ada seekor merpati biru yang hinggap -- tampaknya hendak berteduh. Beberapa kali merpati itu menggerak-gerakkan kepalanya, membersihkan air yang ada di dekat badannya. Merpati itu terlihat jelas karena ada lampu taman di dekatnya.
                "Hampir malam. Bisakah merpati itu pulang ke rumahnya, Ma?" bisik Intan kepada ibunya di sampingnya.
                Namun, Ibu tak mendengar kata-kata putrinya itu. Ia memegang pundak Intan dan berbisik agar Intan segera meniup lilinnya. Intan meniup lilin ulang tahunnya tanpa membuat harapan apa pun. Setelah meniup lilin, merpati itu sudah berpindah tempat, tidak ada di dahan tadi.
                Acara ulang tahun dilanjutkan dengan tebak-tebakan, menyanyikan lagu-lagu gembira, dan makan bersama. Hujan turun makin deras. Intan selalu melihat ke jendela, mencari-cari merpati itu. Tadi, dia merasa hatinya sedang dipeluk oleh seisi dunia. Tapi, merpati itu membuat hatinya terasa begitu sepi. Saat semua orang sedang makan, minum, dan bertukar cerita, Intan berdiri di depan jendela, memandangi pohon mangga dan hujan yang entah kapan akan berhenti.
                Bapak tua pemain biola melihat kegelisahan di wajah Intan. Dia sedang duduk sendiri sambil minum segelas teh panas. Dia berdiri, menghampiri anak itu, merangkul pundaknya. "Kek," kata Intan kepadanya, "Tadi aku melihat merpati."
                "Terus?"
                "Dia kelihatannya tidak bisa pulang. Dia kelihatannya lagi sembunyi di dalam pohon itu, Kek," kata Intan sambil menunjuk pohon mangga di halaman depan rumahnya, wajahnya cemberut.
                Bapak tua itu mengajak Intan keluar. Hujan masih turun. Ayah Intan sedang berbicara dengan beberapa tamu di ruang tengah, ibunya sedang mondar-mandir ke ruang tamu dan dapur. "Kek, jangan ke pohon itu, hujannya masih deras!" kata Intan begitu melihat kakek itu melipat celana panjangnya.
Bapak tua itu mendengus, mengurungkan niatnya. "Semoga hujan cepat reda, Nak. Sekarang, mari kita masuk ke dalam. Acara ulang tahunmu masih belum selesai."
                Perlahan-lahan hujan reda. Hujan deras itu turun tidak lama, tidak lebih dari 10 menit. Tamu-tamu berpamitan pulang. Intan menyembunyikan kegelisahannya ketika menyalami tamu-tamu itu. Saat tamu-tamu makin sedikit, Intan dan bapak tua pemain biola menuju ke pohon mangga itu.
                 Mereka berdua menggoyang-goyangkan pohon mangga itu. Tidak ada tanda-tanda keberadaan merpati itu. Bapak tua itu berjalan-jalan di sekitar pohon mangga itu sambil terus melihat ke atas. Intan terus menunggu di bawah, mengamati pohon itu.
                "Kelihatannya burung itu sudah pergi, Nak."
                "Semoga dia enggak tersesat ya, Kek," kata Intan sambil merengut.
                Mereka berdua pun kembali ke rumah.
                Saat sampai di depan pintu rumah, Intan membalikkan badannya. Wajahnya yang tadi merengut sekarang tampak begitu cerah. "Kek, lihat itu!" teriaknya dengan mata yang berbinar-binar.
                Intan dan bapak tua pemain biola menyaksikan merpati itu terbang ke angkasa. Mereka berdua melambaikan tangan. Merpati itu lenyap ditelan kegelapan malam.
                "Aku baru saja membuat harapan pada hari ulang tahunku, Kek!" kata Intan dengan berseru.
                "Bolehkah kakek mendengarnya?"
                Bapak tua itu membungkuk hingga telinganya berada cukup dekat dengan wajah Intan. Intan pun berbisik kepada bapak tua pemain biola itu. Bapak tua itu tersenyum. "Ya, ya...," katanya sambil mengangguk-angguk. Dia mencubit pipi Intan dengan lembut. Bapak tua itu menggandeng tangan Intan, masuk kembali ke dalam rumah sambil menyanyikan lagu "Bintang Kecil".

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah mampir, dan sudi berkomentar.