Senin, 10 April 2017

Bab 8: Pertemuan Pertama

INTAN begitu senang membaca pesan di Facebook-nya ketika dia pergi ke warnet lagi: "Sori agak lama balas pesanmu. Kalau kamu ada waktu, mungkin kita bisa ketemuan, ngobrol-ngobrol soal Singkawang. Saya suka dengan kota itu."
Kata-kata yang ditulis Anton seketika mendatangkan kelegaan di hatinya. Dia tahu maksud kata "ketemuan" itu, tapi dia menulis begini: "Boleh, Mas. Kalau mau tanya-tanya Singkawang atau Pontianak silahkan. Kirim pesan aja, Mas, nanti saya balas," tulisnya.
Intan menunggu jawaban. Tiga menit kemudian, pesan balasan masuk. "Maksud saya, kapan bisa ngobrol, jumpa darat?"
"Oh gitu... kontak-kontak aja, Mas," balas Intan. Intan mengetikkan kata-kata itu sambil tersenyum lebar.
"Gimana kalo kita ketemuan dua hari lagi, hari Sabtu?"
"Sabtu ini ya? Mmm... bisa kok, Mas. Tapi aku bisanya malam, di atas jam 8."
"Gpp. Paling 1-2 jam aja ngobrol-ngobrol. Kita ketemuan di mana nih?"
Intan mulai bimbang, di mana harus menentukan tempat: di rumah kosnya, di tempat kerjanya, di depan kampusnya, atau di tempat lainnya? "Terserah Mas deh, mau di mana aja enggak apa-apa," tulis Intan.
"Oh gitu. Ya... gini aja. Aku minta nomor hape-mu ya. Nanti kita bahas lagi di mana kita ketemuan. Nanti kutelepon."
Intan pun mengetikkan nomor ponselnya. Satu menit setelah itu, ia mendapatkan panggilan terputus. Tak lama kemudian, muncul lagi pesan di Facebook, "Yang barusan misscall itu aku :-)," tulis Anton.
Intan tak membalas pesan itu, dia melangkah pulang. Dia merasa langkah-langkahnya terayun dengan cara yang lain. Hatinya terasa begitu ringan, mungkin seperti sehelai daun kering kerontang yang terbang terbawa angin. Daun itu kemudian mendarat dengan lembut di sebuah danau yang berair tenang. Tenggelam dalam kesejukan yang membasuh semua kekeringan yang selama ini dideritanya.
Namun, ketika sampai di kamarnya, dia kembali mengingat apa yang dinyatakan Vina: "Cowok memang brengsek semua!"
Ponsel Intan bergetar, ada pesan pendek masuk. "Halo, mksh udah chatting dgn aku ya," tulis Anton.
Intan merasa tak perlu membalas pesan itu. Ia duduk sendirian di depan rumah kosnya. Benaknya diliputi kesunyian yang mendalam. Intan bersyukur merasakan cinta yang datang dengan begitu hening. Rembulan separuh tertutup awan, bintang-bintang hanya sedikit yang tampak. Namun, hatinya tak semendung pemandangan langit malam ini, tapi secerah fajar yang akan disambutnya esok hari.

JUMAT -- seharian ini Intan senyum-senyum sendiri. Beberapa kawannya di kampus menggodanya. Feny yang pada hari ini satu jam kerja dengannya juga sempat bertanya, "Ada apa, Tan? Kamu kelihatan aneh banget, dari tadi senyum-senyum terus?"
"Kamu ini ada-ada aja, Fen, Fen.... Orang cuma senyum kok enggak boleh," kata Intan.
"Tapi, beda banget lho dengan yang kemarin-kemarin. Memangnya ada apa sih?"
Intan menatap wajah Feny. "Masa sih aku kelihatan beda?"
"Yeee... ditanya malah balik nanya. Gimana sih, Tan? Kamu...," kata Feny sambil menggerakkan telunjuknya ke arah Intan, hendak menebak apa yang Intan alami, "lagi jatuh cinta ya?"
"Iiihhh... cinta?" Intan menyatakan itu dengan begitu cepat dan spontan. "Cinta dari mana? Dari Hongkong kaleee.... Orang aku ini sibuk kuliah, kerja, kuliah, kerja, gimana mau cinta-cintaan?"
"Ya... siapa tahu aja kamu lagi ngalami. Cerita dong, Tan. Kan aku penasaran," kata Feny.
"Ntar deh, pasti aku cerita. Tapi enggak hari ini," kata Intan sambil mengedipkan satu matanya dan tersenyum. 
"Ih, dasar genit! Janji lho ya, cerita!"
"Mmmuach," kata Intan kepada Feny.
Feny menggeleng-gelengkan kepalanya. "Oh dunia, dunia.... Apa dosa hamba sehingga teman saya jadi aneh kayak gini?" katanya setengah berteriak.
"Hus! Jangan rame-rame!" kata Intan.
Saat mereka tengah bercanda, sebuah pesan masuk di ponsel Intan. "Halo, tan. Bsk gmn? Bs kutemui di kosmu?"
Intan segera membalas pesan itu, "Halo, mas, blh kok. Tp aku baru ada di kos jam stgh 9 mlm lho. Gmn?"
"Gpp. Kalo kamu capek ya nanti aku sbntr aja di sana."
Intan memberikan alamat rumah kosnya. Anton menulis pesan besok akan meneleponnya bila sudah mau berangkat ke rumahnya. Intan senyum-senyum sendiri membaca pesan itu. Tak disadarinya, sebuah spidol kecil mendarat di kepalanya.
"Cieee... yang lagi kasmaran!" kata Feny.
"Apaan sih, Fen?!"

INTAN mematut dirinya di depan cermin hampir setengah jam. Tak pernah dia sampai sebegitu lama bercermin seperti ini. Dia bimbang harus menambahkan riasan apa pada wajahnya, ada saja yang dirasakannya kurang beres. Dia juga bingung harus mengenakan baju apa. Akhirnya dia menghapus semua riasan itu, menampilkan diri tanpa riasan apa pun. "Mungkin Anton lebih menyukai wanita yang tampil alami," bisiknya sambil tersenyum genit di depan cermin. Malam itu Intan mengenakan baju putih bergambar Helo Kitty dan celana selutut berwarna cokelat muda.
Ponselnya berdering, panggilan dari Anton masuk. Intan menarik napas panjang sebelum mengangkatnya. "Iya, Mas. Halo...."
"Halo, Tan. Lagi apa nih?"
"Aku... baru aja sampai, Mas. Ini lagi tiduran aja kok. Mas udah di mana?"
"Ini aku udah mau berangkat. Kalau dari pom bensin yang ada di jalan Bandung itu, rumah kosmu di mananya?"
"Di belakangnya, Mas. Nanti di situ ada jalan Pekalongan. Alamatku masih disimpan kan?"
"Oh... daerah situ. Ya, ya... aku ngerti. Sepuluh menit lagi aku sampai di sana."
"Oke, Mas. Kutunggu ya...."
"Oke, Tan."
Sepuluh menit kemudian Anton tiba di rumah Intan. Dia mengabari Intan lewat pesan pendek. Intan keluar dari kamarnya. Intan kaget ketika melihat Vina juga keluar dari kamar. "Lho, Mbak, kukira pergi," kata Intan.
"Enggak kok," kata Vina sambil menguap. "Aku ketiduran dari tadi sore."
"Oh gitu," kata Intan. "Aku ke depan sebentar ya."
Vina menyipitkan matanya. "Tumben," katanya dengan nada bicara yang keheranan, "malam ini kamu kelihatan rapi."
"Masa sih, Mbak?" kata Intan.
"Iya. Kamu kelihatan cantik malam ini. Kelihatan lebih ceria gitu deh. Beda dari malam-malam yang lalu. Sungguh."
Intan melambaikan tangannya. "Aku udah ditunggu. Ntar kuceritain, Mbak," kata Intan sambil menuju ke depan rumah.
Vina mengerutkan keningnya. Dia mengucapkan gumaman yang tak didengar oleh Intan.
Intan menarik napas panjang sebelum membuka pintu rumah kosnya. Ketika dia membuka pintu, dia melihat pria itu. Anton masih mengenakan helm, berdiri di samping motornya. Intan menyapanya, "Halo, Mas Anton."
Anton menoleh, melihat Intan yang menyambutnya. Dia sempat memandangi wajah gadis itu beberapa detik sebelum berkata, "Halo, Intan."
"Mas, duduk-duduk dulu yuk di teras," kata Intan.
Anton melepas helmnya, memasuki halaman depan rumah itu. "Suasana di sini enak ya?" katanya sambil duduk di kursi.
"Iya, Mas. Enggak terlalu ramai di sini. Suasananya tenang," kata Intan sambil duduk di kursi.
"Gimana, capek hari ini?" tanya Anton.
"Enggak juga. Hari ini aku enggak kuliah. Cuma dari tadi sore sampai malam aku kerja," kata Intan.
"Kamu kerja? Kerja apa?"
Intan bercerita tentang kesehariannya. Dan dia pun mendapat ide untuk memulai sebuah pembicaraan yang romantis. "Jadi, tiap hari aku memfotokopi banyak kertas. Tapi, suatu hari aku memfotokopi kertas yang lain daripada yang lain," kata Intan.
"Apa itu, Tan?"
"Sebuah cerpen," katanya sambil tertunduk beberapa saat.
Anton tampak agak terkejut. "Suatu Senja di Khatulistiwa?"
Intan mengangguk dengan mantap.
"Siapa yang membawanya ke toko fotokopimu itu, Tan?" tanya Anton.
"Nah, itu dia, Mas. Di kertas itu tertulis, penulisnya adalah seorang pria bernama Hendra. Kertas itu ditinggal di toko fotokopi, fotokopiannya diambil keesokan harinya." Intan berhenti sebentar, berpikir untuk melanjutkan kata-katanya. "Dan, suatu hari aku cari judul cerpen itu di google. Eh, ternyata yang menulis orangnya lain."
"Lho, kok bisa begitu ya?"
Intan mengangkat kedua bahunya. "Entahlah, Mas."
"Terus, kamu sempat bertemu dengan si Hendra itu?"
Wajah Intan berubah, dari yang tadinya tersenyum-senyum, sekarang serius. "Enggak sempat, Mas. Aku enggak ketemu orangnya. Kertasnya diambil waktu aku lagi kuliah."
Anton menghembuskan napas panjang. "Ternyata, ada juga orang yang menyukai cerpenku itu sampai mengaku-ngaku sebagai penulisnya," kata Anton.
Suasana menjadi hening beberapa saat. Perlahan tapi pasti, Intan merasakan ada kemesraan yang merayap di udara. Baginya, sosok Anton begitu menyenangkan buat diajak bicara.
"Mas," Intan hendak menceritakan kalau dia mengarang sebuah cerpen juga, tapi rasanya terlalu cepat, "aku mau tanya, kalo Mas menulis biasanya gimana?"
"Gimana?" kata Anton sambil mengerutkan kening. "Maksudnya gimana yang gimana?"
"Emm... maksudnya, nulisnya malam atau siang, sebulan atau seminggu nulis berapa cerita, atau yang lainnya gitu deh. Pengen tahu gimana kebiasaan atau proses... apa itu istilah yang biasanya disebut dalam membuat karya?"
"Proses kreatif?"
"Ya, itu maksudku. Gimana proses kreatif Mas Anton?"
Anton bersandar lebih rileks di kursi. "Yah... kalo aku sih sederhana aja. Ada ide, aku langsung nulis. Kalau enggak ada... enggak kupaksakan. Yang jelas, aku sendiri berusaha mencari dan menemukan ide. Jadi, tiap minggu paling enggak ada yang kutulis. Aku suka nulis apa aja, enggak melulu cerpen."
"Iya, Mas. Aku sempat baca puisi dan artikel-artikel Mas."
Anton mengangguk-angguk sambil tersenyum. "Di catatan FB?"
Intan mengangguk.
"Contoh puisi atau artikel yang kamu baca apa?"
Intan memejamkan matanya, pura-pura tengah mengingat sesuatu. Padahal, dia hapal dengan beberapa buah puisi pendek Anton.
Intan ingin menceritakan kepada Anton bahwa dia baru saja menulis cerpen, tapi niat itu kembali dia urungkan. Akhirnya, dia menyadari sesuatu. "Mas, mau kubuatkan teh panas? Aku kelupaan lho, Mas, sori banget. Dari tadi kita asyik ngobrol."
"Kelihatannya asyik juga minum teh. Boleh, boleh," kata Anton.
"Tunggu sebentar ya, Mas. Paling lama 10 menit waktunya," kata Intan sambil bangkit dri tempat duduknya.
Intan masuk ke dalam rumah kos, menuju ke dapur. Di dapur dia memasak air setengah liter untuk membuat dua gelas teh. Intan menuju ke kamarnya, membiarkan air itu mendidih sekitar 3-4 menit lagi. Dia hendak mengambil cerpen yang dibuatnya. Saat hendak membuka pintu kamar, Vina muncul dari depan kamarnya.
"Tan, dapat tamu ya?" tanya Vina.
"Iya nih, Mbak," kata Intan. Ia agak terkejut mendengar sapaan itu.
"Tumben. Siapa nih malam Minggu begini datang. Tamu spesial nih kelihatannya?"
"Ada deh," kata Intan sambil masuk ke dalam kamarnya.
"Hm... asyik, asyik. Cowok kan?" kata Vina sambil melangkah menuju kamar Intan.
"Iya. Mau kukenalin, Mbak?" kata Intan dengan setengah berteriak.
"Enggak enak ah. Ntar ngganggu kalian yang lagi asyik."
Intan tampak sibuk mengobrak-abrik beberapa tumpukan kertas. Tampaknya dia tak mendengar kata-kata Vina yang terakhir. Dia teringat sesuatu. "Eh, airnya udah masak," kata Intan.
Vina mengikuti Intan ke dapur. Dia membantu menyiapkan gelas. "Tan, kenalan di mana tuh sama dia?" tanya Vina.
"Panjang ceritanya, Mbak. Tapi nanti aku ceritakan," kata Intan.
"Ya udah," kata Vina sambil meletakkan kedua gelas itu di atas nampan. "Enjoy!"
Intan menyambut nampan yang diberikan Vina kepadanya. "Thanks, Mbak," katanya sambil melangkah keluar rumah kos.
Di luar, Anton tampak sedang mengirim pesan pendek kepada seseorang. "Mas, lama ya nunggunya?" tanya Intan.
"Ah, enggak kok," kata Anton sambil melihat jam.
Intan mengamati asap yang keluar dari dua gelas teh itu, meliuk-liuk di udara, persis seperti hatinya -- meliuk senang, meliuk kecewa. Ya, Intan kecewa selama beberapa saat karena tidak menyiapkan cerpennya sebelum bertemu Anton. "Mas, gimana? Masih penasaran dengan Singkawang atau Pontianak?"
Anton yang baru saja mengambil gelas tehnya mengurungkan niat untuk menyeruputnya. "Iya, Tan. Lumayan penasaran. Banyak yang ingin kupelajari lagi soal kota-kota itu, masyarakatnya, budayanya," katanya.
"Oh ya? Kenapa Mas begitu tertarik?"
"Gini, Tan... aku dipengaruhi oleh puisi seorang penyair Prancis, namanya Arthur Rimbaud. Suatu ketika dia pernah menulis puisi tentang petualangannya. Saat penyair ini berusia dua puluhan tahun, dia tergila-gila berkelana ke mana-mana, hingga ia akhirnya meninggal di Marseille pada tahun 1891."
Intan suka sekali mendengar cerita ini. "Lalu, gimana kelanjutannya, Mas?"
"Nah, Arthur Rimbaud pernah nyasar ke Indonesia!" kata Anton dengan bersemangat.
"Nyasar? Maksudnya, mampir ke sini?"
"Ya, begitulah. Apa yang mendorong dia ke Indonesia hingga kini masih samar-samar. Diduga, dia mendengar cerita-cerita tentang Hindia-Belanda waktu bekerja sebagai kuli di pelabuhan. Pada tahun 1876, waktu dia sampai di Indonesia, dia sempat ada di Jakarta dan di Salatiga. Nah, katanya dia enggak cocok tinggal di tangsi militer. Mungkin jiwanya gundah. Penyair ini tidak betah. Ya, seperti yang kubilang tadi, dia nyasar. Diam-diam dia meninggalkan Indonesia dan kembali ke negerinya, Prancis."
"Wow," kata Intan. "Mas kelihatannya tahu banyak dengan kehidupan dia."
"Enggak juga sih. Itu hanya sepenggal aja, Tan. Yang menarik adalah puisinya. Itu yang sampai sekarang membuat aku suka ke mana-mana."
"Mas hapal kata-katanya?" kata Intan sambil menyipitkan matanya.
Anton mengangguk sambil tersenyum. "Sebagian, tapi itu pun yang terjemahan. Aku enggak bisa bahasa Prancis, Tan."
"Mmm... boleh aku mendengarnya?"
Anton menarik napas panjang. "Perlu ada upaya melihat / upaya melihat dengan menjungkirbalikkan segala makna yang sudah ada / untuk sampai pada yang tak dikenal / hidup sejati yang berada di tempat lain." (*)
Saat Anton selesai mengucapkan puisi itu, pintu samping rumah kos terbuka. Intan dan Anton sama-sama menoleh. Ternyata Vina yang keluar. Dan, Intan menangkap kesan yang lain ketika Anton melihat Vina. Tatapan Anton terhadap Vina sangat tepat bila ditafsirkan sebagai bentuk kekaguman yang sangat besar. Bahkan, Intan sempat melihat mulut Anton ternganga beberapa detik.
Vina tersenyum dan mengangguk kepada sepasang manusia itu. "Silahkan dilanjut," katanya. "Saya mau ke warung depan sebentar, mau beli sabun cuci."
"Mbak, kenalin dong. Ini Anton," kata Intan.
Vina menyalami Anton yang berdiri menyambutnya. "Saya Vina, kakaknya Intan," kata Vina.
"Kakakmu beneran?" tanya Anton kepada Intan.
Intan tertawa kecil. "Kakak ketemu gede, Mas."
"Hehehe... saya cuma guyon kok, Mas. Oke, saya tinggal dulu ya? Silahkan dilanjut ngobrolnya," kata Vina sambil meninggalkan mereka berdua.
Anton kembali duduk. Intan melihat wajah Anton yang tampak sedang memikirkan sesuatu. Intan hendak menanyakan sesuatu kepada Anton, tapi menahannya. Entah kenapa, hatinya diliputi rasa cemburu.
Sebelum Vina kembali, Anton minta izin pulang. "Kita tetap kontak-kontak ya, Tan?"
Intan mengangguk. "Makasih, Mas, udah mau mampir ke rumah malam ini."
"Met istirahat ya, Tan," kata Anton.
"Sampai jumpa lagi, Mas," kata Intan. Sedetik kemudian ia baru sadar telah menyatakan harapannya dengan lebih gamblang.

(*) Puisi ini termuat dalam buku Orang Indonesia dan Orang Prancis dari Abad XVI sampai dengan Abad XX, Bernard Dorleans, terjemahan Parakitri T. Simbolon, KPG, 2006.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah mampir, dan sudi berkomentar.