Kata-kata yang
ditulis Anton seketika mendatangkan kelegaan di hatinya. Dia tahu maksud kata
"ketemuan" itu, tapi dia menulis begini: "Boleh, Mas. Kalau mau
tanya-tanya Singkawang atau Pontianak silahkan. Kirim pesan aja, Mas, nanti
saya balas," tulisnya.
Intan menunggu
jawaban. Tiga menit kemudian, pesan balasan masuk. "Maksud saya, kapan
bisa ngobrol, jumpa darat?"
"Oh gitu...
kontak-kontak aja, Mas," balas Intan. Intan mengetikkan kata-kata itu
sambil tersenyum lebar.
"Gimana kalo
kita ketemuan dua hari lagi, hari Sabtu?"
"Sabtu ini
ya? Mmm... bisa kok, Mas. Tapi aku bisanya malam, di atas jam 8."
"Gpp. Paling
1-2 jam aja ngobrol-ngobrol. Kita ketemuan di mana nih?"
Intan mulai
bimbang, di mana harus menentukan tempat: di rumah kosnya, di tempat kerjanya,
di depan kampusnya, atau di tempat lainnya? "Terserah Mas deh, mau di mana
aja enggak apa-apa," tulis Intan.
"Oh gitu.
Ya... gini aja. Aku minta nomor hape-mu ya. Nanti kita bahas lagi di mana kita
ketemuan. Nanti kutelepon."
Intan pun
mengetikkan nomor ponselnya. Satu menit setelah itu, ia mendapatkan panggilan
terputus. Tak lama kemudian, muncul lagi pesan di Facebook, "Yang barusan
misscall itu aku :-)," tulis Anton.
Intan tak membalas
pesan itu, dia melangkah pulang. Dia merasa langkah-langkahnya terayun dengan
cara yang lain. Hatinya terasa begitu ringan, mungkin seperti sehelai daun kering
kerontang yang terbang terbawa angin. Daun itu kemudian mendarat dengan lembut
di sebuah danau yang berair tenang. Tenggelam dalam kesejukan yang membasuh
semua kekeringan yang selama ini dideritanya.
Namun, ketika
sampai di kamarnya, dia kembali mengingat apa yang dinyatakan Vina: "Cowok
memang brengsek semua!"
Ponsel Intan
bergetar, ada pesan pendek masuk. "Halo, mksh udah chatting dgn aku
ya," tulis Anton.
Intan merasa tak
perlu membalas pesan itu. Ia duduk sendirian di depan rumah kosnya. Benaknya
diliputi kesunyian yang mendalam. Intan bersyukur merasakan cinta yang datang
dengan begitu hening. Rembulan separuh tertutup awan, bintang-bintang hanya
sedikit yang tampak. Namun, hatinya tak semendung pemandangan langit malam ini,
tapi secerah fajar yang akan disambutnya esok hari.
JUMAT -- seharian ini Intan senyum-senyum
sendiri. Beberapa kawannya di kampus menggodanya. Feny yang pada hari ini satu
jam kerja dengannya juga sempat bertanya, "Ada apa, Tan? Kamu kelihatan
aneh banget, dari tadi senyum-senyum terus?"
"Kamu ini
ada-ada aja, Fen, Fen.... Orang cuma senyum kok enggak boleh," kata Intan.
"Tapi, beda
banget lho dengan yang kemarin-kemarin. Memangnya ada apa sih?"
Intan menatap
wajah Feny. "Masa sih aku kelihatan beda?"
"Yeee...
ditanya malah balik nanya. Gimana sih, Tan? Kamu...," kata Feny sambil
menggerakkan telunjuknya ke arah Intan, hendak menebak apa yang Intan alami,
"lagi jatuh cinta ya?"
"Iiihhh...
cinta?" Intan menyatakan itu dengan begitu cepat dan spontan. "Cinta
dari mana? Dari Hongkong kaleee.... Orang aku ini sibuk kuliah, kerja, kuliah,
kerja, gimana mau cinta-cintaan?"
"Ya... siapa
tahu aja kamu lagi ngalami. Cerita dong, Tan. Kan aku penasaran," kata
Feny.
"Ntar deh,
pasti aku cerita. Tapi enggak hari ini," kata Intan sambil mengedipkan
satu matanya dan tersenyum.
"Ih, dasar
genit! Janji lho ya, cerita!"
"Mmmuach,"
kata Intan kepada Feny.
Feny
menggeleng-gelengkan kepalanya. "Oh dunia, dunia.... Apa dosa hamba
sehingga teman saya jadi aneh kayak gini?" katanya setengah berteriak.
"Hus! Jangan
rame-rame!" kata Intan.
Saat mereka tengah
bercanda, sebuah pesan masuk di ponsel Intan. "Halo, tan. Bsk gmn? Bs kutemui
di kosmu?"
Intan segera
membalas pesan itu, "Halo, mas, blh kok. Tp aku baru ada di kos jam stgh 9
mlm lho. Gmn?"
"Gpp. Kalo
kamu capek ya nanti aku sbntr aja di sana."
Intan memberikan
alamat rumah kosnya. Anton menulis pesan besok akan meneleponnya bila sudah mau
berangkat ke rumahnya. Intan senyum-senyum sendiri membaca pesan itu. Tak
disadarinya, sebuah spidol kecil mendarat di kepalanya.
"Cieee...
yang lagi kasmaran!" kata Feny.
"Apaan sih,
Fen?!"
INTAN mematut dirinya di depan cermin
hampir setengah jam. Tak pernah dia sampai sebegitu lama bercermin seperti ini.
Dia bimbang harus menambahkan riasan apa pada wajahnya, ada saja yang
dirasakannya kurang beres. Dia juga bingung harus mengenakan baju apa. Akhirnya
dia menghapus semua riasan itu, menampilkan diri tanpa riasan apa pun.
"Mungkin Anton lebih menyukai wanita yang tampil alami," bisiknya
sambil tersenyum genit di depan cermin. Malam itu Intan mengenakan baju putih
bergambar Helo Kitty dan celana selutut berwarna cokelat muda.
Ponselnya
berdering, panggilan dari Anton masuk. Intan menarik napas panjang sebelum
mengangkatnya. "Iya, Mas. Halo...."
"Halo, Tan.
Lagi apa nih?"
"Aku... baru
aja sampai, Mas. Ini lagi tiduran aja kok. Mas udah di mana?"
"Ini aku udah
mau berangkat. Kalau dari pom bensin yang ada di jalan Bandung itu, rumah kosmu
di mananya?"
"Di
belakangnya, Mas. Nanti di situ ada jalan Pekalongan. Alamatku masih disimpan
kan?"
"Oh... daerah
situ. Ya, ya... aku ngerti. Sepuluh menit lagi aku sampai di sana."
"Oke, Mas.
Kutunggu ya...."
"Oke,
Tan."
Sepuluh menit
kemudian Anton tiba di rumah Intan. Dia mengabari Intan lewat pesan pendek.
Intan keluar dari kamarnya. Intan kaget ketika melihat Vina juga keluar dari kamar.
"Lho, Mbak, kukira pergi," kata Intan.
"Enggak
kok," kata Vina sambil menguap. "Aku ketiduran dari tadi sore."
"Oh
gitu," kata Intan. "Aku ke depan sebentar ya."
Vina menyipitkan
matanya. "Tumben," katanya dengan nada bicara yang keheranan,
"malam ini kamu kelihatan rapi."
"Masa sih,
Mbak?" kata Intan.
"Iya. Kamu
kelihatan cantik malam ini. Kelihatan lebih ceria gitu deh. Beda dari
malam-malam yang lalu. Sungguh."
Intan melambaikan
tangannya. "Aku udah ditunggu. Ntar kuceritain, Mbak," kata Intan
sambil menuju ke depan rumah.
Vina mengerutkan
keningnya. Dia mengucapkan gumaman yang tak didengar oleh Intan.
Intan menarik
napas panjang sebelum membuka pintu rumah kosnya. Ketika dia membuka pintu, dia
melihat pria itu. Anton masih mengenakan helm, berdiri di samping motornya.
Intan menyapanya, "Halo, Mas Anton."
Anton menoleh,
melihat Intan yang menyambutnya. Dia sempat memandangi wajah gadis itu beberapa
detik sebelum berkata, "Halo, Intan."
"Mas,
duduk-duduk dulu yuk di teras," kata Intan.
Anton melepas
helmnya, memasuki halaman depan rumah itu. "Suasana di sini enak ya?"
katanya sambil duduk di kursi.
"Iya, Mas.
Enggak terlalu ramai di sini. Suasananya tenang," kata Intan sambil duduk
di kursi.
"Gimana,
capek hari ini?" tanya Anton.
"Enggak juga.
Hari ini aku enggak kuliah. Cuma dari tadi sore sampai malam aku kerja,"
kata Intan.
"Kamu kerja?
Kerja apa?"
Intan bercerita
tentang kesehariannya. Dan dia pun mendapat ide untuk memulai sebuah
pembicaraan yang romantis. "Jadi, tiap hari aku memfotokopi banyak kertas.
Tapi, suatu hari aku memfotokopi kertas yang lain daripada yang lain,"
kata Intan.
"Apa itu,
Tan?"
"Sebuah
cerpen," katanya sambil tertunduk beberapa saat.
Anton tampak agak
terkejut. "Suatu Senja di Khatulistiwa?"
Intan mengangguk dengan
mantap.
"Siapa yang
membawanya ke toko fotokopimu itu, Tan?" tanya Anton.
"Nah, itu
dia, Mas. Di kertas itu tertulis, penulisnya adalah seorang pria bernama
Hendra. Kertas itu ditinggal di toko fotokopi, fotokopiannya diambil keesokan
harinya." Intan berhenti sebentar, berpikir untuk melanjutkan
kata-katanya. "Dan, suatu hari aku cari judul cerpen itu di google. Eh,
ternyata yang menulis orangnya lain."
"Lho, kok
bisa begitu ya?"
Intan mengangkat
kedua bahunya. "Entahlah, Mas."
"Terus, kamu
sempat bertemu dengan si Hendra itu?"
Wajah Intan
berubah, dari yang tadinya tersenyum-senyum, sekarang serius. "Enggak
sempat, Mas. Aku enggak ketemu orangnya. Kertasnya diambil waktu aku lagi
kuliah."
Anton
menghembuskan napas panjang. "Ternyata, ada juga orang yang menyukai
cerpenku itu sampai mengaku-ngaku sebagai penulisnya," kata Anton.
Suasana menjadi
hening beberapa saat. Perlahan tapi pasti, Intan merasakan ada kemesraan yang
merayap di udara. Baginya, sosok Anton begitu menyenangkan buat diajak bicara.
"Mas,"
Intan hendak menceritakan kalau dia mengarang sebuah cerpen juga, tapi rasanya
terlalu cepat, "aku mau tanya, kalo Mas menulis biasanya gimana?"
"Gimana?"
kata Anton sambil mengerutkan kening. "Maksudnya gimana yang gimana?"
"Emm...
maksudnya, nulisnya malam atau siang, sebulan atau seminggu nulis berapa
cerita, atau yang lainnya gitu deh. Pengen tahu gimana kebiasaan atau proses...
apa itu istilah yang biasanya disebut dalam membuat karya?"
"Proses
kreatif?"
"Ya, itu
maksudku. Gimana proses kreatif Mas Anton?"
Anton bersandar
lebih rileks di kursi. "Yah... kalo aku sih sederhana aja. Ada ide, aku
langsung nulis. Kalau enggak ada... enggak kupaksakan. Yang jelas, aku sendiri
berusaha mencari dan menemukan ide. Jadi, tiap minggu paling enggak ada yang
kutulis. Aku suka nulis apa aja, enggak melulu cerpen."
"Iya, Mas.
Aku sempat baca puisi dan artikel-artikel Mas."
Anton
mengangguk-angguk sambil tersenyum. "Di catatan FB?"
Intan mengangguk.
"Contoh puisi
atau artikel yang kamu baca apa?"
Intan memejamkan
matanya, pura-pura tengah mengingat sesuatu. Padahal, dia hapal dengan beberapa
buah puisi pendek Anton.
Intan ingin menceritakan kepada Anton bahwa dia
baru saja menulis cerpen, tapi niat itu kembali dia urungkan. Akhirnya, dia
menyadari sesuatu. "Mas, mau kubuatkan teh panas? Aku kelupaan lho, Mas,
sori banget. Dari tadi kita asyik ngobrol."
"Kelihatannya
asyik juga minum teh. Boleh, boleh," kata Anton.
"Tunggu sebentar
ya, Mas. Paling lama 10 menit waktunya," kata Intan sambil bangkit dri
tempat duduknya.
Intan masuk ke
dalam rumah kos, menuju ke dapur. Di dapur dia memasak air setengah liter untuk
membuat dua gelas teh. Intan menuju ke kamarnya, membiarkan air itu mendidih
sekitar 3-4 menit lagi. Dia hendak mengambil cerpen yang dibuatnya. Saat hendak
membuka pintu kamar, Vina muncul dari depan kamarnya.
"Tan, dapat
tamu ya?" tanya Vina.
"Iya nih,
Mbak," kata Intan. Ia agak terkejut mendengar sapaan itu.
"Tumben.
Siapa nih malam Minggu begini datang. Tamu spesial nih kelihatannya?"
"Ada
deh," kata Intan sambil masuk ke dalam kamarnya.
"Hm... asyik,
asyik. Cowok kan?" kata Vina sambil melangkah menuju kamar Intan.
"Iya. Mau
kukenalin, Mbak?" kata Intan dengan setengah berteriak.
"Enggak enak
ah. Ntar ngganggu kalian yang lagi asyik."
Intan tampak sibuk
mengobrak-abrik beberapa tumpukan kertas. Tampaknya dia tak mendengar kata-kata
Vina yang terakhir. Dia teringat sesuatu. "Eh, airnya udah masak,"
kata Intan.
Vina mengikuti
Intan ke dapur. Dia membantu menyiapkan gelas. "Tan, kenalan di mana tuh
sama dia?" tanya Vina.
"Panjang
ceritanya, Mbak. Tapi nanti aku ceritakan," kata Intan.
"Ya
udah," kata Vina sambil meletakkan kedua gelas itu di atas nampan.
"Enjoy!"
Intan menyambut
nampan yang diberikan Vina kepadanya. "Thanks, Mbak," katanya sambil
melangkah keluar rumah kos.
Di luar, Anton
tampak sedang mengirim pesan pendek kepada seseorang. "Mas, lama ya
nunggunya?" tanya Intan.
"Ah, enggak
kok," kata Anton sambil melihat jam.
Intan mengamati
asap yang keluar dari dua gelas teh itu, meliuk-liuk di udara, persis seperti
hatinya -- meliuk senang, meliuk kecewa. Ya, Intan kecewa selama beberapa saat
karena tidak menyiapkan cerpennya sebelum bertemu Anton. "Mas, gimana?
Masih penasaran dengan Singkawang atau Pontianak?"
Anton yang baru
saja mengambil gelas tehnya mengurungkan niat untuk menyeruputnya. "Iya,
Tan. Lumayan penasaran. Banyak yang ingin kupelajari lagi soal kota-kota itu,
masyarakatnya, budayanya," katanya.
"Oh ya?
Kenapa Mas begitu tertarik?"
"Gini, Tan...
aku dipengaruhi oleh puisi seorang penyair Prancis, namanya Arthur Rimbaud.
Suatu ketika dia pernah menulis puisi tentang petualangannya. Saat penyair ini berusia
dua puluhan tahun, dia tergila-gila berkelana ke mana-mana, hingga ia akhirnya
meninggal di Marseille pada tahun 1891."
Intan suka sekali
mendengar cerita ini. "Lalu, gimana kelanjutannya, Mas?"
"Nah, Arthur
Rimbaud pernah nyasar ke Indonesia!" kata Anton dengan bersemangat.
"Nyasar?
Maksudnya, mampir ke sini?"
"Ya,
begitulah. Apa yang mendorong dia ke Indonesia hingga kini masih samar-samar.
Diduga, dia mendengar cerita-cerita tentang Hindia-Belanda waktu bekerja
sebagai kuli di pelabuhan. Pada tahun 1876, waktu dia sampai di Indonesia, dia
sempat ada di Jakarta dan di Salatiga. Nah, katanya dia enggak cocok tinggal di
tangsi militer. Mungkin jiwanya gundah. Penyair ini tidak betah. Ya, seperti
yang kubilang tadi, dia nyasar. Diam-diam dia meninggalkan Indonesia dan
kembali ke negerinya, Prancis."
"Wow,"
kata Intan. "Mas kelihatannya tahu banyak dengan kehidupan dia."
"Enggak juga
sih. Itu hanya sepenggal aja, Tan. Yang menarik adalah puisinya. Itu yang
sampai sekarang membuat aku suka ke mana-mana."
"Mas hapal
kata-katanya?" kata Intan sambil menyipitkan matanya.
Anton mengangguk
sambil tersenyum. "Sebagian, tapi itu pun yang terjemahan. Aku enggak bisa
bahasa Prancis, Tan."
"Mmm... boleh
aku mendengarnya?"
Anton menarik
napas panjang. "Perlu ada upaya melihat / upaya melihat dengan
menjungkirbalikkan segala makna yang sudah ada / untuk sampai pada yang tak
dikenal / hidup sejati yang berada di tempat lain." (*)
Saat Anton selesai
mengucapkan puisi itu, pintu samping rumah kos terbuka. Intan dan Anton
sama-sama menoleh. Ternyata Vina yang keluar. Dan, Intan menangkap kesan yang
lain ketika Anton melihat Vina. Tatapan Anton terhadap Vina sangat tepat bila
ditafsirkan sebagai bentuk kekaguman yang sangat besar. Bahkan, Intan sempat
melihat mulut Anton ternganga beberapa detik.
Vina tersenyum dan
mengangguk kepada sepasang manusia itu. "Silahkan dilanjut," katanya.
"Saya mau ke warung depan sebentar, mau beli sabun cuci."
"Mbak,
kenalin dong. Ini Anton," kata Intan.
Vina menyalami
Anton yang berdiri menyambutnya. "Saya Vina, kakaknya Intan," kata
Vina.
"Kakakmu
beneran?" tanya Anton kepada Intan.
Intan tertawa
kecil. "Kakak ketemu gede, Mas."
"Hehehe...
saya cuma guyon kok, Mas. Oke, saya tinggal dulu ya? Silahkan dilanjut
ngobrolnya," kata Vina sambil meninggalkan mereka berdua.
Anton kembali
duduk. Intan melihat wajah Anton yang tampak sedang memikirkan sesuatu. Intan
hendak menanyakan sesuatu kepada Anton, tapi menahannya. Entah kenapa, hatinya
diliputi rasa cemburu.
Sebelum Vina
kembali, Anton minta izin pulang. "Kita tetap kontak-kontak ya, Tan?"
Intan mengangguk.
"Makasih, Mas, udah mau mampir ke rumah malam ini."
"Met
istirahat ya, Tan," kata Anton.
"Sampai jumpa
lagi, Mas," kata Intan. Sedetik kemudian ia baru sadar telah menyatakan
harapannya dengan lebih gamblang.
(*) Puisi ini
termuat dalam buku Orang Indonesia dan Orang Prancis dari Abad XVI sampai
dengan Abad XX, Bernard Dorleans, terjemahan Parakitri T. Simbolon, KPG, 2006.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah mampir, dan sudi berkomentar.